007

Suasana di rumah sakit kala malam itu mulai sepi, hiruk pikuk manusia mulai menghilang. Terlihat sepasang netra sayu memandang ke arah pintu berwarna putih di depannya yang masih tertutup dengan rapat. Tak ada lagi senyuman yang ia torehkan dari wajah manisnya setibanya di sana. Tirta, pria pemilik netra itu tak berhenti berucapkan doa untuk Jeandra Radhika Abimanyu—anaknya—yang kini berada di dalam ruang operasi pasca kecelakaan beberapa jam yang lalu. Tak hanya Tirta yang ada di sana, Jeremi dan anak bungsunya setia menemani.

Tak selang beberapa lama, seorang pria berbadan tegap dengan pakaian biru muda keluar dari ruang operasi. Tirta menghampiri dokter dengan berharap mendapatkan hasil yang baik. Helaan nafas yang keluar dari mulut dokter ketika membuka masker membuat Tirta bertanya-tanya.

“Gimana keadaan Jean?” Tanya Tirta tak sabar.

“Operasi berjalan lancar, pendarahan di otaknya bisa dihentikan.” Dokter memegang bahu Jeremy. “Tapi, kondisi Jean belum bisa dikatakan stabil akibat benturan di kepalanya.” lanjut sang Dokter dengan wajah ibanya.

Darah yang berdesir tiba-tiba saja terhenti dari dalam tubuh Tirta ketika mendengar penuturan sang dokter, membuat pria itu menjatuhkan dirinya ke belakang. Jeremy yang berada tak jauh darinya, dengan cepat menahan badan pria manis itu agar tak jatuh ke lantai.

Calvin yang melihat kedua orang tuanya pergi dari sana dengan cepat mengambil alih atensinya pada dokter yang masih di sana.

“Aku mohon lakukan yang terbaik untuk Kak Jean, Paman,” pinta Calvin sambil memegang tangan dokter tersebut.

Sang dokter tersenyum ramah. “Paman akan berusaha melakukan yang terbaik untuk kakak kamu.”

“Harus Paman,” tungkas Calvin cepat.

“Kalau begitu paman permisi, mau memindahkan kakak kamu ke ICU,” pamit sang dokter meninggalkan Calvin yang menatapnya dengan haru.

Setelah kepergian dokter, Calvin baru menyadari jika orang tuanya entah di mana keberadaannya. Ia melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit. Hingga pada akhirnya pijakan kakinya terhenti di ruangan yang berukuran 12 meter.

Di sisi lain, terlihat seorang lelaki yang berjalan gontai keluar dari pintu ruang operasi. Coat dan kaos coklat senada dengan celana jeans hitam panjang membaluti badan tegapnya. Kakinya terus melangkah dengan wajah kebingungan.

Ketika sedang asyik berjalan, tiba-tiba saja atensinya tertuju pada orang-orang dengan pakaian serba putih berkerumunan mengintip pada celah pintu kamar yang tak tertutup rapat. Karena penasaran, lelaki itu langsung menghampirinya dan ikut melirik ke dalam. Hingga netranya tak sengaja melihat sesorang yang di kenalinya.

“Ada Papa di sana, kenapa Bubu di infus? Calvin juga ada di dalam. Sebenarnya ada apa ini?” Tanyanya penasaran. “Ini orang-orang ngehalangin aja, gua mau masuk.” gerutunya sambil berkacak pinggang.

“Permisi pak. Itu orang tua saya ada di dalam, saya mau lewat.” Lelaki itu mencoba menegur pria yang ada di depannya, tapi tak ada respon sama sekali.

“Woy! Awas gua mau masuk!” Teriak lelaki itu kesal karena pria didepannya sama sekali tak mengubris. “Astaga, pak saya mau lewat.” Kini suaranya melembut setelah kesekian kali orang yang ada di depannya tak juga menyingkir. Percuma mau bagaimana pun suaranya, pria tersebut tak akan terdengar.

Detik berikutnya lelaki itu bisa bernafas lega karena pintu terbuka. Betapa terkejutnya ia ketika salah seorang dari mereka bisa menembus badannya. Bukan hanya itu saja, keanehan bertambah lagi pada saat lelaki itu mencoba menempelkan tangannya ke tembok, tapi setengah badannya menembus.

“Nggak mungkinkan, ini nggak mungkin! Pak, halo pak Bapak bisa liat saya, kan?” Lelaki itu mencoba bertanya pada pria di sampingnya, berharap dugaannya salah. Bukannya menjawab, pria itu malah melenggang pergi. Lalu, lelaki itu mencoba untuk menyakinkan dirinya kembali. Ia masuk ke dalam kamar menghampiri Calvin yang duduk di sofa panjang bersama Jeremy. “Dek, ini gua. Lu bisa liat gua, kan?”

Lelaki itu mencoba menyentuh Calvin, tapi tak bisa. Gagal mendapatkan respon dari sang Adik, ia berbalik ke arah Jeremy.

“Papa, Jeandra di sini. Kalian kenapa diem aja?” Tanya Lelaki itu lagi.

Lelaki yang memanggil namanya Jeandra mehembuskan nafasnya kesal, lalu mengalihkan pandangannya pada pria yang terbaring di ranjang Rumah sakit. Lelaki itu mencoba menyentuh tangan sang empu, tapi responnya masih sama.

Jeandra bingung, sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa semua orang tidak bisa melihat dirinya? Ia melihat pada tangannya sendiri tak ada yang salah. Namun, kenapa ia tidak bisa menyentuh badan orang lain?

Tiba-tiba telinga Jeandra mendengung, kepalanya memutar 360 derajat dan matanya terpejam seraya merasakan rasa sakit. Lelaki itu mencoba mengerjapkan matanya, walaupun sangat sulit. Jeandra terkejut tangan, kaki dan menjalar ke seluruh badannya mulai menghilang secara perlahan. Lelaki itu berharap jika saat ini ada yang bisa menolongnya dari rasa sakit ini. Hanya itu harapannya.

•••••