100.
Teeng ... Bunyi lonceng pintu kaca terbuka oleh seseorang perempuan yang mulai melangkahkan kakinya memasuki sebuah cafe yang tak begitu ramai pengunjung.
Penjaga cafe mulai menyapa sang empu yang kini sudah berada di depan kasir tengah membaca menu minuman yang akan ia pesan.
“Saya mau strawberry smothies sama kebab premiumnya 1” pinta perempuan itu kepada sang kasir.
“Anindiraaaa Daviraaaaa” wanita yang dipanggil namanya lengkap menoleh ke arah sumber suara.
“Azzahra Adiwangsaaaa” balasnya girang. Anindira menarik tangannya mengajak seorang wanita di sampingnya untuk menuju lantai dua.
“Mbaa nanti anterin ke atas biasa”
Anindira, ia sang empu yang sedari tadi tengah memesan makanan dan minuman yang akan ia santap siang hari yang begitu panas. Anindira dan Azzahra mulai menaiki tangga menuju lantai dua tempat mereka menikmati pemandangan hiruk pikuk kota Jakarta yang begitu penuh dengan lautan manusia.
Anindira Davira, sesosok perempuan berbadan ideal, tinggi bak model yang sering muncul di tv. Nama yang begitu cantik sama seperti dirinya. Kini mereka berdua sudah duduk dengan santai saling berhadapan. Azzahra tersenyum menatap sahabat kecilnya dengan perasaan bertanya-tanya.
“Dir, jadi maksud lu di chat grup apa”
Anindira menggelengkan jawabannya sebagai jawaban, “Bukan apa-apa ra”
“Lu mah rahasiaan”
“Serius kaga ada ra. Karena sifatnya rahasia, jadi gua harus nyimpen baik-baik”
“Kaga asyik lu” protes Azahra. Anindira hanya nyengir dengan perasaan bersalah karena ucapannya di grup bersama kedua sahabatnya. Ia mengutuk pada dirinya kenapa begitu ceroboh akan hal rahasia yang ia tahu dengan sahabat laki-lakinya, Arkana.
“Si Arkana lagi di jalan kesini ra”
Azzahra mengangguk sebagai jawaban. Tak selang beberapa lama pelayan cafe datang dengan membawa nampan gelas dan makanan. Pelayan itu menghampiri meja Anindira dan Azzahra yang tengah duduk bersantai.
“Makasih mas” ujar Anindira sopan.
“Mas pesen matcha latte sama sandwich nya 1” celetuk Azahra pada pelayan di depannya.
“Baik kak. Ada lagi? Azzahra menggelengkan kepalanya dan tersenyum sebagai jawaban.
Ia kembali menoleh ke arah sahabatnya yang tengah asyik menyantap makanan tanpa berbicara. Anindira yang merasa di tatap oleh sahabatnya mulai menoleh dan bertanya dalam diam kepada sahabatnya itu.
“Kenapa lu natap-natap gua” protes Anindira.
“Jangan ada rahasia dir di antara kita” Azzahra masih menatap mata sahabatnya itu sinis yang kemudian tak lama ia kembali terdiam.
Azzahra tak lagi bertanya kepada sahabatnya perihal obrolan di grup. Ia mulai asyik menatap ke arah luar cafe yang memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit.
“Ia a makanya kita harus cari calon buat ayah atuh a”
Azzahra menatap ke arah sumber suara yang tak lain adalah Jafin Gabriel Abiputra, anak laki-laki dengan baju lengan pendek dan celana jeans santai yang ia kenakan berkesan sangat tampan dan tak lama diikuti oleh sesosok laki-laki dengan jaket kulitnya yang berwarna hitam dan topi dan masker yang menutupi wajahnya sehingga ia tak begitu jelas siapa laki-laki yang tengah bersama Jafin.
Azzahra yang kaget dan mulai memberikan kode kepada sahabatnya untuk melihat ke arah mata yang ia tuju. Sang empu yang ia berikan kode hanya mengaduh protes sebagai jawaban sahabatnya yang berisik.
“Apaan sih”
“Itu ada Jafin anaknya om Kavin tapi gak tau itu cowok yang di depannya tuh” Azzahra masih menatap ke arah sumber yang ia maksud.
“Siapa? Mana?” tanya Anindira ke arah berlawanan. Azzahra hanya menghela nafas, “Ke arah jam 12 di belakang lu”
“Terus gua harus apa?” Anindira menoleh ke arah seseorang yang sahabatnya maksud. Ia sangat cuek dan tidak peduli pada Azzahra yang begitu antusias akan kehadiran anak dari Ceo tampan yang selama ini jadi idolanya.
Anindira hanya menggelengkan kepalanya. Ia begitu heran kepada sahabat di depannya itu yang begitu senang dan terus menatap ke arah bangku anak sang idola.
“Kaga usah lu tatap terus anjir, ra” ucap seorang laki-laki coba menghalangi pandangan Azzahra.
Azzahra menoleh ke arah sumber suara. Tangannya mencoba mendorong badan laki-laki yang masih enggan pergi dari hadapan Azzahra.
“Minggir Arkana!!”
“Kaga ada minggir. Geseer” Arkana mendorong badan Azzahra dengan kuat dan tak berapa lama ia mulai duduk di samping perempuan yang membuat ia jatuh hati padanya.
“Bucin maunya duduk berdua mulu” ledek Anindira.
Arkana murka, ia menatap ke arah Anindira dengan mata melototkan matanya memberikan kode agar sahabatnya itu diam.
Namun bukan Anindira namanya jika dia tidak ceroboh. Anindira hanya terkekeh sambil menutup mulutnya sebentar kemudian kembali beralih ke arah jendela cafe.
“Gua memang bucin pak Kavin, dir”
“Udah berisik lu ah ra nyebut nama dia mulut. Masih gantengan gua” protes Arkana pada Azzahra yang masih tak henti menatap ke arah Jafin.
Sumber yang Azzahra tatap menoleh sebentar dan tersenyum. Yang tak lain adalah Jafin. Azzahra yang terkaget mendapatkan senyuman dengan wajahnya yang memerah ia langsung membenamkan wajahnya di bahu Arkana
“Kan, itu anaknya pak Kavin natap ke arah gua. Malu gua” Aninindira mencoba menoleh ke arah sahabatnya itu. Ia tertawa dan meledek sahabatnya. Anindira tak habis pikir pada Azzahra sahabatnya itu yang kini tengah menutul wajahnya karena malu di tatap oleh sumbernya.
“Makanya lu kaga usah ngadi-ngadi. Eh bentar Kavin? Abiputra itu?”
“Iya dir. Kavin Ardana Abiputra pemilik Abiputra Company” jawab Azzahra menoleh ke arah Anindira.
Anindira menepuk jidatnya sendiri dan memperlihatkan chat ayahnya kepada kedua sahabatnya. Azzahra yang melihat isi chat dari ayahnya Anindira malah ikut terkejut dan menyenderkan punggungnya ke sofa cafe.
“Sumpah gua iri sama Diraa”
“Sabar ya ra. Gua bilang apa mending sama gua. Oh iya, kapan lu mulai kerja?” tanya Arkana.
“Senin gua kerja. Besok balik. Pengen gitu ada yang gantiin. Tapi kaga apa2 demi duit” jawab Anindira sambil menggeluh.
“Bersyukur itu penting dir” ujar Arkana sambil menatap ke arah sahabatnya yang menggeluh.
Azzahra yang sedari tadi mendengarjan namun matanya sibuk memainkan hpnya, tiba-tiba membuat kedua sahabatnya itu terkejut dan menoleh ke arahnya, “Anjir dir sumpah. Lu harus liat”
“hmm” balas dira sambil meminum minuman pesanannya.
Tak lama dari itu Azzahra memperlihatnya ponsel layar sentuh miliknya pada sahabatnya.
“Dari kemaren perasaan berita Kavin, Kavin, Kavin mulu”
Azzahra kembali menyimpan kembali ponsel miliknya dan mematikan layar ponselnya agar sahabatnya tidak protes lagi.
“Iya udah kaga nih dir. Jangan ngambek lagi”
“Iya santai. Eh ra gua kayanya kaga bisa lama-lama harus cabut, baru inget harus packing meski balik bekasi. Dadah, Traktir ya. Belum gua bayar soalnya.”
“Perasaan baru juga dateng gua. Udah ditinggal lagi” protes Arkana menatap ke arah Anindira yang sedang membereskan barang bawaannya.
“Lah kan dia yang ngajak kan kenapa kita yang ditinggal” Azzahra menatap ke arah sahabatnya yang tergesa-gesa.
Anindira berjalan meninggalkan kedua sahabatnya tergesa-gesa dan menuruni tangga cafe untuk menuju pintu keluar. Ia tak menyadari jika ada seorang laki-laki yang menenteng kantung kresek dan ponsel di tangannya ada di depannya. Keduanya saling bertubrukan sehingga barang keduanya berantakan ke lantai.
Anindira yang tergesa-gesa hanya menundukan kepalanya sedikit sebagai permintaan maaf sambil membereskan tas selempang yang ia bawa dan mengambil salah satu ponsel yang memiliki case yang berbeda dengan miliknya. Ia tak ambil pusing lagi langsung bergegas pergi meninggalkan laki-laki itu.
“Eeh mbaak hpnyaa ketuke..r”