114.

Davin, Ardan dan Jafin tengah duduk santai di cafe Starla tempat mereka janji bertemu dengan Anindira untuk menukar ponsel milik Jafin dan ponsel milik Anindira.

Tak selang beberapa lama, terlihat sesosok Anindira datang menghampiri ketiga lelaki tampan yang tengah menikmati musik di cafe tersebut. Ia tersenyum ke arah Jafin, Ardan dan Davin.

“Sorry ya gua lama” sapa Anindira yang masih berdiri.

Davin menggelengkan kepalanya, “Gak kok kita juga baru sampe”

“Lumayan lama kita. Pegel nih lama” celetuk Ardan menggeluh dengan candaan.

“Gak kok kak santai aja. Jangan di dengerin Ardan mah. Ayo duduk dulu. Kita udah pesenin minum. Gak tau kesukaan kakak apa jadinya yang ada aja”

Anindira tersenyum sebagai jawaban, ia mulai duduk di samping Jafin duduk. Jafin terus menatap ke arah Anindira karena kecantikan perempuan di sampingnya tanpa sadar membuat Anindira menjadi salah tingkah.

“Cantik” celetuk Jafin pelan.

“Dek gak usah gitu liatin cewek nya. Kasian salting tuh” canda Ardan.

Anindira hanya menundukkan kepalanya malu. Ia mengeluarkan ponsel milik Jafin dan menyimpan di meja depan Ardan duduk. Ardan masih terdiam dan menatap ke arah Anindira yang menyimpan ponsel milik adiknya di depan dirinya. Ia memberikan kode kepada adiknya untuk memperkenalkan diri pada Anindira agar tidak salah paham.

“Oh iya aku lupa ngenalin diri. Aku Jafin kak, ini aa Ardan terus ini kakak tertua Davin” Jafin mulai memperkenalkan kedua kakaknya kepada Anindira.

“Maaf, saya gak tau. Nama saya Anindira Davira. Panggil aja Dira” Anindira tersenyum malu ke arah mereka bertiga sambil memperkenalkan diri. Ardan dan Davin hanya tersenyum tipis membalas sapaan Anindira. Suasana kembali hening, mereka berempat terdiam karena rasa canggung. Begitu pula Jafin yang hanya menatap ke arah Anindira tanpa melewati setiap titik yang ada pada Anindira.

“Nggak perlu formal dir sama kita” Akhirnya Davin mencoba membuka topik pembicaraan pada perempuan di depannya. “Dek kasihin ponselnya” lanjut Davin sambil memberi perintah ke arah adiknya.

“Oh iya lupa apin” Jafin mulai menggeluarkan ponsel milik Anindira dan menaruh ponselnya di meja depan Anindira duduk.

Anindira mengangguk, “Maaf yaa masih belum biasa kalau sama orang baru”

“Nggak apa-apa kak. Santai aja. Hmm.. Kakak asli orang Jakarta?” tanya Jafin santai. “Iya. Gua asli orang Jakarta, betawi. Lahir di Jakarta dan dari kecil di Jakarta” jawab Anindira mencoba dengan informal namun masih sopan.

“Di Jakarta kuliah apa Kerja?” Davin kini ikut bertanya.

“Lagi pengangguran aja dan punya hobby ngelukis. Jadinya keseharian ngelukis”

Jafin, Ardan dan Davin hanya menganggukan kepalanya. Kini suasana kembali sunyi karena masing-masing tengah menikmati hidangan cafe. Anindira hanya menatap mata ketiga para lelaki di depannya secara bergantian.

“Kalian asli Jakarta?” tanya Anindira akhirnya. Ardan menggelengkan kepalanya dan mencoba mengakrabkan diri, “Nggak. Gua adek gua sama abang gua pindahan dari Bandung ikut ayah”

“Ooh.. Seru ya Bandung. Dingin, gak kaya Jakarta panas” celetuk Anindira mencoba ramah.

“Iya kak dingin banget loh di Bandung. Kapan-kapan kakak harus ikut kita ke Bandung” Jafin ikut menanggapi obrolan Anindira.

“Ok kapan-kapan ikut ya. Hmm.. Memangnya Bandungnya dimana?” lanjut Anindira coba membuka lagi topik.

Jafin yang senang dengan Anindira malah mendekatkan kursinya ke arah kursi perempuan di sampingnya. Anindira hanya tersenyum dan mencoba untuk mengeluarkan ekspresi wajah tanpa rasa terkejut.

“Dek, woy deket-deket amat anjir. Dira nya ketakutan” larang Ardan.

“Gak apa-apa. Santai aja” “Bandungnya daerah Sarijadi Regency kak. Kakak pernah ke Bandung?”

“Pernah tapi cuman lewat doang” ujar Anindira coba mengakrabkan diri.

Jafin dan Davin tertawa ketika mendengar jawaban Anindira yang tak sengaja melakukan pertunjukan komedi untuk para lelaki di depannya.

“Hahaha. Terus-terus kalau lewat doang kakak mau kemana?” Jafin ikut kembali bertanya.

Ardan yang penasaran mencoba ikut mendekatkan diri ke arah perempuan di depannya. “Pasti ke Lembang” Ardan ikut menebak jawaban Anindira yang mereka tunggu tunggu.

“Bentar kenapa kita jadi kaya pelawak gini”

Davin, Jafin begitu pula Ardan ikut tertawa dengan celotehan yang sepontan di lontarkan oleh Anindira. Mereka begitu kompak seolah-olah sudah tidak bertemu lama. Mereka kini sudah tak canggung lagi dan saling melontarkan candaan satu sama lainnya.

“Hmm.. Jafin”

Jafin menganggukan kepalanya, “Iya kak. Aku Jafin, ada apa?”

“Ok Jafin ya. Masih sekolah atau udah lulus?”

“apin masih SMA kelas 3 kak” jawab Jafin sambil menunjukkan jari nya ke arah Anindira.

“Kalian udah lama di Jakarta?”

“2 minggu kak. Ikut abang kerja” jelas Ardan.

“Abang kuliah di penerbangan dulu. Sekarang kerja di soetta jadi pilot. Tapi katanya mau keluar aja. Capek mending kerja di perusahaan ayah” celetuk Jafin bercanda.

“Hahaha. Gimana gak capek, 24 jam diem di pesawat doang”

Anindira yang melihatnya tertawa karena tingkah Jafin yang begitu menggemaskan untuk dia. Begitu pula kedua kakaknya yang senang karena bisa terhibur akan kehadiran adik bungsunya. Kini mereka bertiga mulai mengakrabkan diri pada Anindira, mereka senang dan nyaman berada dengan perempuan yang baru saja mereka temui tanpa harus ada rasa takut.

“Kapan-kapan anterin kita keliling Jakarta ya”

“Kalian bisa keliling Jakarta tanpa gua, ok” Davin menolak permintaan sang adiknya Jafin.

Jafin mendelik ke arah Davin karena kakak tertuanya itu tidak setuju dengan permintaan sang adik. “Biarin nanti aja apin aja sama kak Dira. Aa mau ikut gak?”

Ardan mengangguk, “Ikut gua. Kebetulan kuliah gua free. Tinggal skripsi mah gampang”

“Oh Ardan masih kuliah? Jurusan apa?”

“Manajemen bisnis di ITB” jawab Ardan sombong.

“Sombong. Apin juga bentar lagi lulus SMA. Mau lanjut jakarta aja. Pengen masuk ui” balas Jafin ikut menyombongkan dirinya.

Anindira mengacungkan jempolnya tanda setuju pada Jafin dan Ardan. Ia begitu nyaman berada dekat dengan ketiga lelaki didepannya ini. Tanpa ada rasa canggung, ia banyak melontarkan candaan.

Begitu pula sebaliknya dengan Jafin, Ardan dan Davin yang langsung akrab dan terlihat nyaman ketika dekat dengan Anindira. Padahap terkenal sekali Ardan dan Jafin sangatlah cuek kepada semua perempuan yang mencoba mendekatinya.

Tak selang beberapa lama mereka berada di cafe. Anindira menatap ke arah jam tangan di tangan kanan miliknya yang selalu ia pakai kemana pun. Waktu menunjukkan pukul 6 sore. Tak terasa 5 jam sudah ia ikut berkumpul bersama ketiga para lelaki tampan anak dari Abiputra Company.

“Jafin, Ardan, Davin” panggil Anindira mencoba menghentikan aktivitas para lelaki di depannya. Ketiga anak laki-laki itu masih fokus dengan aktivitasnya masing-masing yang ricuh karena memainkan game yang di ponsel Anindira. Anindira mencoba mengetuk meja di depan mata mereka.

Davin yang sudah berhenti dari aktivitasnya, mulai menyadari Ardan yang tengah main game dari ponsel milik Anindira. “Hmm.. Kayanya gua meski pulang duluan deh. Soalnya meski balik ke Bekasi” ujar Anindira mulai menggemasi handphonenya ke dalam tas selempang yang sering ia bawa.

“Kok cepet amat sih kak. Kan Jafin masih mau main sama kak Anindira” seru Jafin memanyunkan bibirnya.

“Gua juga lagi asyik main gamenya” Ardan ikut memprotes.

“Iya.. Kapan-kapan bisa main lagi oke. Oh iya ini makannya berapa? Biar kakak bayar” seru Anindira basa basi.

Davin menggelengkan kepalanya, “Gak usah Dir, biar kita aja yang bayar”

“Iya gak apa2 biar kita aja yang bayar. Kakak hati-hati ya nanti chat Jafin kalau udah sampe rumah”

Ardan mencoba menyenggol kaki Jafin untuk diam tidak macam-macam pada perempuan di sampingnya itu. Jafin yang tak mengerti kode dari Ardan hanya tersenyum kepada Anindira yang telah berdiri dan siap-siap bergegas.

“Oke, kalau gitu gua duluan ya”

Senyuman tak luput dari wajah Anindira sambil melayangkan tangannya memberikan salam kepada ketiga laki-laki tampan di depannya. Dengan langkah yang terburu-buru ia langsung berjalan meninggalkan cafe.

Jafin ikut tersenyum dan menatap kedua kakak kandungnya. Davin dan Ardan hanya menggedikkan bahunya tanda tak mengerti maksud dari adiknya itu.

Di dalam otaknya, Jafin telah menyusun sebuah rencana siapa wanita yang pantas yang akan dijodohkan dengan ayahnya itu. Ia sudah memiliki rencana yang pasti akan di setujui oleh kedua kakaknya.

“Apin ada ide aa, abang”