132.

Suara langkah kaki berlari memasuki gedung pencangkar langit. Ia terus menerus menatap ke arah jam dior kecil pemberian kedua orang tuanya. Waktu menunjukkan 09.30 wib.

Langkah kakiknya terhenti ketika di depan pintu lift yang akan membawanya ke lantai 15 gedung ini. Langkah kaki itu tak lain adalah Anindira. Ia masih menunggu pintu lift terbuka.

Dengan pakaian yang cantik dan anggun namun sederhana ia tak luput jadi perhatian. Anindira merasa risih karena orang-orang di sekitarnya terus menatap dirinya.

“Ini orang-orang gak ada kerjaan apa ya selain natap gua” celetuk Anindira dalam hati.

Kini tatapannya beralih pada layar ponsel layar sentuh yang sudah kembali pada tangannya. Ia begitu bodoh kenapa bisa kemarin ia salah mengambil ponsel orang lain.

Anindira yang masa bodo dengan orang-orang yang membicarakan dia. Kini matanya telah kembaki tertuju pada pintu lift yang telah terbuka. Ia mulai melangkahkan kakinya masuk ruangan yang tak luas itu.

Tak selang beberapa lama, lift yang akan membawanya sudah berhenti di lantai tujuannya. Anindira dengan bersusah payah keluar dari lift.

“Gimana sih orang-orang gak ada perasaan banget” protesnya sambil membenarkan pakaiannya.

Anindira mulai kembali berjalan menuju meja resepsionis di lantai 15. Ia bertanya kepada resepsionis dan mengikuti langkah resepsionis menuju ruang kerja yang ia tak tahu siapa.

“Kalau bukan karena kakak sama papa. Gua ogah kerja disini” celetuknya tanpa mengetahui ada seseorang yang mendengar pembicaraan dirinya.

“Kalau tidak mau kerja disini tidak usah kerja”

Pemilik suara itu tak lain adalah Kavin, seorang pria gagah berjas yang masuk diikuti dengan asisten pribadinya. Dengan gaya dingin dan coolnya ia mulai duduk di kursi kerjanya sambil menatap ke arah Anindira yang masih mematung.

“Tapi saya harus tetap kerja disini karena ayah dan kakak saya yang memaksa” jawab Anindira tak kalah galak.

“Baik kalau begitu. Anda boleh duduk. Aarav coba perlihatkan kontrak kerjanya”

“Jadi saya langsung kerja hari ini?” Anindira terkaget karena Kavin yang langsung berbicara soal kontrak kerja.

Kavin diam tak menjawab pertanyaan Anindira. Ia mulai berdiri dari duduknya sambil melangkahkan kakinya mendekati Anindira yang masih mematung dengan wajahnya yang tak suka pada pria di depannya itu. Kavin mengambil berkas di tangan asistennya dan memberikan kepada perempuan di depannya.

Anindira mangambil berkas dan mulai menjauhkan diri dari hadapan Kavin yang berjarak dekat dengannya. Karena risih, ia mulai duduk di sofa yang telah disediakan di ruang kerja. Anindira membuka map berwarna hitam yang berisi kontrak kerjanya bersama perusahaan.

Kontrak Kerja : Saya yang bertanda tangan di bawah ini, pada hari ini menyatakan bahwa saya akan mematuhi aturan kontrak kerja sama dengan Abiputra Company dibawah ini : 1. Harus siap di hubungi jika di butuhkan 2. Tidak boleh mencampuri urusan pribadi dengan urusan kerja 3. Tidak boleh banyak berbicara ketika sedang kerja 4. Pakaian dan make up disediakan dari perusahaan 5. Harus mau menuruti apa kata staff dan atasan 6. Jika melanggar akan di denda dan di tuntut

“Bagaimana? Mengerti” Kavin kini sudah duduk di depan Anindira yang masih membaca kontrak kerja dengan seksama. Anindira menganggukan kepalanya mengerti.

“Ok. Saya sanggup” seru Anindira menyanggupi kontrak kerjanya.

“Ini untuk pulpennya. Silahkan tanda tangani” Aarav memberikan pulpen ke meja Anindira dan memberikan perintah pada Anindira.

Tanpa berlama-lama, Anindira mulai menandatangani berkas kontrak kerjanya. Ia kini kembali menatap ke arah Kavin yang juga ikut menatap ke arah perempuan di depannya itu.

“Kalau begitu sekarang mbak boleh ikut dengan saya” Aarav mulai mengintruksi Anindira untuk mengikuti dirinya karena hari ini adalah hari pertama dirinya bekerja. Dengan percaya diri ia berdiri dan mulai mengikuti Aarav.

“Semoga suka kerja disini” seru Kavin dengan dingin.

“Terima Kasih bapak Kavin yang terhormat” Anindira menoleh ke arah Kavin untuk berterima kasih dan ia kembali berjalan mengikuti Aarav berjalan. “Dingin banget ngomongnya. Beda banget sama ketiga anaknya” gumamnya pelan agar tak di dengar Kavin.

Di dalam hatinya ia begitu tidak ingin bertemu lagi dengan atasannya itu sampai kapan pun. Walaupun Anindira tahu itu semua mustahil untuk diwujudkan.