Ardan Sadar
Cahaya Matahari menyinari sebuah ruangan yang lumayan besar dari sela-sela jendela. Disana terdapat seorang lelaki yang tengah terbaring lemah dengan tabung oksigen yang menempel pada hidung mancungnya. Wajahnya begitu tampan, putih bersih, bulu matanya yang panjang dan terlihat sangat lentik membuatnya sangat disayangkan harus terus terbaring lemah.
Ardan — anak lelaki yang terbaring lemah tak berdaya itu masih tak ada tanda-tanda akan bangun. Disana dirinya tak sendirian, ada empat orang anak lelaki yang masih memakai seragam putih abu tengah tertidur pulas di sofa tak jauh dari Ardan yang masih terbaring.
Tak selang beberapa lama, tangan Ardan bergerak dengan begitu lemah. Matanya pun terbuka secara perlahan seperti kebingungan sedang berada dimana dirinya? Begitu terkejutnya Ardan yang melihat terdapat ke tiga sahabatnya yang tertidur di sofa dan ada seorang lelaki yang tertidur dengan menyenderkan kepalanya di samping Ardan terbaring.
“Har!” Suara paraunya mencoba membuka tabung oksigen, namun tangannya begitu lemah sehingga membuatnya tangannya membentur kepala lelaki yang terlelap disampingnya.
“Anjing, Raka man..” Harshil mengerjapkan matanya sambil melihat ke arah sumber yang tangan yang tak sengaja menjitak kepalanya. Betapa terkejutnya dirinya mendapati sahabatnya itu sudah membuka matanya setelah tidur panjang semua orang nantikan.
“Ardan! Geus hudang maneh. Mana nu nyeuri?” tanya Harshil khawatir.
“Gak ada. Gua dimana? Kenapa gua disini?” Ardan menghujani Harshil dengan sejuta pertanyaan di dalam otaknya. Ia kebingungan, kenapa ketika bangun tidur sudah ada di kamar rumah sakit. Bukan di kamar besar kebangaan dirinya.
Kamal yang sedang mengeliat ikut terkejut melihat sahabatnya itu sudah membuka matanya. Hal yang paling ditunggu oleh semua orang kerabat termasuk keluarganya adalah ketika Ardan membuka matanya.
“Kalem urang panggil dokter, Raka, Rajendra hudang iyeuh. Hey hudang, si Ardan geus sadar!!” Ujar Kamal berusaha membangunkan kedua sahabatnya. Bukannya bangun, kedua sahabatnya itu malah asyik dengan mimpinya tanpa memperdulikan Ardan yang sudah sadar.
Selang beberapa menit, dokter memeriksa keadaan Ardan dari mulai kondisi kesehatan kepalanya hingga kesehatan mental pun. Kini tak ada lagi selang oksigen yang meliputi wajah tampannya. Yang ada hanya selang infus masih tertancap dengan begitu jelas di lengan sebelah kanannya.
“Hasilnya bagus. Sebuah keajaiban kamu bisa bangun, Ardan.” Sang dokter mengusap bahu Ardan sambil menatap ke arah semua yang ada disana.
Pintu ruangan terbuka dengan lebar, seorang pria dengan pakaian berjas diikuti dengan dua orang perempuan di belakangnya. Yang kita tahu salah satunya adalah Adena — kakaknya Ardan. Namun, tak tahu siapa perempuan jangkung dengan penampilan pakaian serba putih dan heels lima senti yang mempercantik kaki jenjangnya.
“Gimana keadaan Ardan?” Tanya Dimas dengan wajah yang penuh dengan kekhwatiran terhadap anaknya.
“Hasil check up nya bagus, Dim. Sebuah keajaiban Tuhan Ardan bisa bangun dari komanya dan untuk sekarang Ardan harus istirahat dulu.” Jelas Dokter yang tak luput dengan senyuman ramah yang ia lontarkan dari wajah tampannya.
“Ok, kalau begitu saya permisi dulu. Istirahat, Dan!” Dokter menepuk bahu Dimas dan berlalu keluar dari ruangan rawat inap rumah sakit.
“Gimana keadaan kamu? Ada yang sakit?” Adena menghampiri adiknya yang kini tengah menyandarkan punggungnya pada ranjang rumah sakit yang di angkat sehingga pasien dapat duduk dengan nyaman.
Ardan memegang kepalanya yang masih di baluti perban dan menatap ke arah Adena, “Ini sakit, Teh. Gua kenapa sebenernya?” Tanya Ardan penasaran dengan keadaannya yang sekarang. Keadaan yang membuat seluruh orang menjadi khawatir.
“Gak apa-apa. Sekarang lu istirahat!”
“Belum mau.”
“Tidur!!”
“Masih mau nanya banyak teh,”
“Besok aja, TIDUR!!” Adena berteriak ke arah Ardan. Ardan yang sedikit takut karena suara teriakkan kakaknya itu tanpa berbasa-basi lagi langsung menjatuhkan kepalanya di atas bantal yang lembut dan nyaman untuk kepalanya yang masih memerlukan perawatan.
Ardan mulai memejamkan matanya. Semua orang yang ada di ruangan mulai meninggalkan Ardan sendirian. Namun bukannya tidur, dirinya kembali mengerjapkan matanya, masih penasaran dengan mimpi seorang perempuan yang selalu memanggil namanya.
••••