Atensi sesosok laki-laki tak berhenti memutar. Ia terkejut dengan keadaan rumah yang ada di depannya. Gerbang berwarna besar dengan tinggi sekitar 15 meter menutupi bangunan di dalamnya. Bahkan di sisinya tembok-tembok putih susu menghiasi seluruhnya yang terkesan sangat mewah.

Naufal, sesosok tadi masih mematung di sana. Ia tak seorang diri, ada seorang lelaki yang menemaninya di sana.

“Ini serius rumah orang tua lu?” Tanya Naufal ragu.

“Yuk masuk.” Jeandra menembuskan badannya pada tembok, ia lupa jika Naufal masih tak tahu cara untuk masuk ke dalam sana.

Naufal berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya heran pada Jeandra yang tak memikirkannya. Bola matanya berputar mencari sesuatu yang bisa membuat pagar terbuka. Mata lelaki manis itu menangkap benda kecil tertempel di sana, ia langsung menekannya.

“Hello, with Abiputra Family here. Can I help you?”

“Mampus, pake bahasa inggris. Hmm ... Can i meet with Jeandra Parents?” balas Naufal terbata-bata.

Tak ada lagi suara dari arah benda tersebut. Cukup lama lelaki itu menunggu, hingga akhirnya pintu gerbang terbuka dengan sendirinya. Naufal segera melangkah masuk, takut tak bisa lagi masuk jika di nanti-nanti. Itu pikirnya.

Di sisi lain, Jeandra yang sudah berada di dalam rumah. Menatap nanar ke arah kedua orang tuanya yang tampak tak berhenti bersedih. Sungguh ia menyesal tak mengindahkan ucapan sang Papi pada saat itu. Jeandra marah pada dirinya sudah membuat Papa dan Papinya sakit seperti ini. Ketukan pintu rumah memecahkan lamunan Jeandra dan kedua orang tuanya. Pelayan yang berada di sana langsung membukakan pintu yang menghubungkan menuju ruang tamu rumah tersebut. Naufal masuk lalu di sambut senyuman dari sang pemilik rumah termasuk arwah yang meminta bantuan padanya. “Permisi, maaf menganggu,” ujar Naufal sopan.

“Silahkan duduk dahulu.” Naufal duduk pada sofa tak jauh dari keduanya lalu di belakangnya terdapat Jeandra yang sedari tadi bergumam. Naufal menghela nafas merasa gugup untuk berbicara. “Kedatangan saya kemari karena atas perintah Jeandra.”

“Anda siapanya Jeandra?” Tanya pria yang tak lain Jeremy.

“Saya temannya Jeandra. Kami bertemu karena dia sering datang ke cafe tempat saya bekerja,” jawab Naufal mencoba meyakinkan kedua orang di depannya. “Jika boleh saya ingin ke kamar mandi?” Tanya Naufal balik.

“Papi bukannya temannya Jeandra itu hanya Marsha dan Lucy?” Jeremy bertanya sambil menatap ke arah pria yang berada dalam pelukannya.

“Huum ... Mungkin teman baru,” balas pria yang tak lain adalah Tirta.

“Kamu perlu uang?” Jeremy spontan mengatakan uang. Memang keluarga Abiputra adalah keluarga terkaya no 1 menurut majalah Porbes. Namun, untuk Naufal uang bukanlah segala hal. Ia juga sangat membutuhkan itu, tapi hati nuraninya berkata untuk tidak melakukan yang tidak-tidak.

“Maaf tapi saya kemari bukan untuk meminta uang!!” cicit Naufal sedikit kesal.

“Jika tidak ada lagi yang dibutuhkan, tolong kamu keluar dari rumah kami. Sudah banyak yang mengaku teman-temannya Jeandra. Kami hanya kenal Marsha dan Luca. Pergi!!” usir Jeremy dengan nada tingginya. Naufal menatap ke arah Jeremy. “Jeandra bilang dia rindu pada kalian.”

Perkataan Naufal membuat sontak keduanya berhenti, melirik ke arah Naufal dan sang istri bergantian. Namun, karena Jeremy tak merasa mengenali Naufal, ia tetap mengusir lelaki yang terasa asing di matanya itu. “Papa, Tolong bantu Jeandra,” ulang Naufal.

“Kami tidak akan mempercayai kamu. Pergi!” usir Jeremy pada Naufal. Naufal menatap sendu ke arah Jeandra yang sedari tadi menahan tangis karena tak bisa menggapai sang ayah. Lelaki manis itu ingin sekali memberi tahu jika anaknya ada di sini sekarang. Tapi, Jeremy sama sekali tak mempercayainya.

Tak apa jika hari ini Naufal di usir. Mungkin besok lelaki itu akan kembali mencoba agar orang tua percaya padanya. Bagaimana pun caranya ia akan coba demi uang dan juga rasa kemanusiaan.

Naufal berfikir, mungkin juga besok orang tua Jeandra akan percaya padanya.

•••••