Belajar di Rumah Ardan
Mobil hitam milik Ardan berhenti tepat di depan halaman rumah miliknya. Sebelum turun, keduanya masih terdiam di dalam mobil. Kalana masih belum tersadar menatap ke sekeliling rumah Ardan yang lebih besar dari rumahnya. Jarak antara pagar rumah dan halaman depan rumahnya pun begitu jauh. Kalana tertegun tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.
“Ayo turun, jangan diem aja!” Akhirnya suara Ardan mampu membuyarkan lamunan Kalana.
Tanpa mau menjawab, Kalana membuka pintu mobil dengan mata tak lepas dari pandangan taman rumah Ardan yang luas. Disana ia melihat mobil terjejer begitu rapih dari yang sedan hingga jeep pun ada.
Ardan menatap Kalana. Wajahnya tersenyum sambil mengenggam tangan Kalana tak mau melepaskan sama sekali. Langkah kakinya terhenti ketika melihat seorang perempuan yang tengah membuka pintu rumah bernuansa modern itu. Perempuan itu tak lain adalah Adena. Ardan yang mengetahui kakaknya sudah ada di rumah terlebih dahulu mendenguskan nafasnya kesal. Kehadiran kakaknya itu begitu menganggu baginya.
“Ehh Kalana yang suka di ceritain Ardan ya?!” Tanya Adena ramah.
Kalana yang begitu asing dengan Adena hanya menganggukan kepalanya sambil mengayunkan tangannya untuk salam pada Adena. “Iya, teh.”
“Ayo masuk atuh, biarin si Ardan mah, kamu sama teteh aja.” ujar Adena merangkul bahu Kalana dan meninggalkan Ardan sendirian mematung.
“Teh, anjir kan Ardan mau belajar!” Ardan pun berlari masuk ke dalam rumah, mengikuti Adena dan Kalana yang sudah berjalan terlebih dahulu.
“Kalana duduk disini ya, teteh suruh bibi bawa minum dulu!”
“Eh teh gak usah ngerepotin,”
“Udah sana anjir! Gua mau belajar!”
“Belajar apa belajar.” Ledek Adena yang kabur dari Ardan karena takut adiknya itu akan marah seperti biasanya. Kalana yang masih berdiri dan melihat keributan Kakak dan beradik itu hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya tak heran. Karena hal itu sama percis seperti keadaan dirinya dan sang adik.
“Ya udah ayo katanya mau ajarin Lana mata kuliah matbis,” ujar Kalana pada Ardan.
“Ya udah duduk dulu. Ardan ganti baju dulu, gerah.” Belum juga Kalana menjawab. Ardan sudah melenggang pergi menghilang dari tempat ia berada. Mungkin ini dinamakan ruang tamu karena ukurannya begitu luas.
Tak lama Kalana menunggu, Ardan kembali datang sambil membawa beberapa buku dan buku memo berwarna hitam. “Loh gak duduk?” Tanya Ardan yang sudah duduk di sofa kursi yang menghadap keluar pintu rumah.
“Sambil liat-liat. Ya udah ayo ajarin!” Balas Kalana yang kini sudah duduk di sofa panjang samping Ardan duduk.
“Ini contoh soalnya yang mana ya?” Tanya Kalana sambil membuka buku paket yang tertera bertuliskan Matematika Bisnis.
“Halaman 203. Disitu ada soalnya,”
“Oh ini dapet. Ardan ngerti?” Ardan menganggukan kepalanya, tangannya mengeluarkan buku catatan berwarna hitam yang isinya lengkap lembar jawaban dari soal buku paket.
“Lah, Ardan udah ngerjain? Ajarin dong!” Pinta Kalana membuat jantung Ardan begitu kencang. Bagaimana tidak jarak di antara keduanya begitu dekat. Duduk berdampingan di lantai sambil wajah Kalana menampilkan wajah yang begitu menggemaskan baginya.
“Iya boleh, tapi jangan deket gini. Ardan susah!”
“Oh hehehe maap lupa.”
“Sama kaya tadi Bu Aida jelasin. Ini no 1 menurut Kalana apa maksudnya?” Ardan menyodorkan soal pada Kalana. Kalana sedari tadi menyimak langsung mengambil buku dan mulai membacanya.
“Ini tuh nilai rata-rata kan. Terus abis gitu di cari nilai untuk penambahan datanya. Benerkan?” Jawab Kalana sambil kembali melontarkan pertanyaan pada laki-laki di sampingnya.
Ardan menganggukan kepalanya sebagai jawaban. “Ya udah coba sekarang Kalana kerjain sampe no 3. Kalo nggak bisa tanya aja.” Kalana tak menjawab perintah Ardan, tapi dirinya langsung mengambil pensil dan kertas kosong untuk mengerjakan soal apa yang di perintahkan oleh Ardan.
Ardan terus menyimak memperhatikan setiap jengkal mata Kalana yang sangat fokus pada soal didepannya. Dirinya terus bermonolog jika saja tak ada kejadian dua tahun lalu, mungkin ia sudah menjadikan perempuan itu adalah miliknya seutuhnya.
Lamunan Ardan tersadar ketika Kalana menghembuskan nafasnya seperti sedang kelelahan karena mengerjakan matematika. Pelajaran yang paling di bencinya.
“Fiuh.. Susah juga, mending ngerjain PKN aja. Soal UAS besok susah gak yaa?” keluh Kalana dengan ekspresi yang sedih.
“Ini mah gampang. Lagian soal UAS nanti nggak kan beda jauh kayanya.” Tukas Ardan sambil menarik kertas di depan Kalana.
Ardan menyipitkan matanya waktu menatap jawaban yang ditulis Kalana. Begitu terheran dengan jawaban yang ada pada kertas. Bukannya menjawab, tapi Kalana hanya menulis kata-kata yang membuat semua orang geleng-geleng kepala. Sang pelaku yang kini berada di samping Ardan hanya nyengir tanpa ada rasa berdosa, wajahnya yang begitu gemas membuat lelaki itu mabuk kepayang dibuatnya.