Di taman Rumah Sakit
BUGH Suara pukulan yang dilayangkan oleh seseorang begitu jelas terdengar, dan hal itu membuat semua orang yang berada disana panik. Orang-orang tidak mencoba meleraikan, karena takut dengan keadaan kedua lelaki yang tengah di sulut emosi.
“Sini lu anjing!” Teriak seorang lelaki diantaranya menyeret kerah jaket lelaki didepannya menjauh dari taman yang banyak orang berlalu lalang disana. Mereka tak hanya berdua, ada ketiga temannya yang mencoba untuk menahan tahan lelaki tersebut. Akan tetapi hasilnya nihil. Bukan melerai tapi mereka malah tersungkur ke tanah.
“Narendra udah anjir nar,” ucap Harshil mencoba melerai perkelahian dua orang laki-laki yang tak lain teman-temannya.
“Lu udah bikin Kalana di tusuk. Dan sekarang Kalana kritis juga karena lu.”
“Emang gua mau Kalana begini? Gak anjing, lu kalau jadi gua, mau gimana ayo jawab hah?!!” Ardan ikut tersulut emosi dan mencoba melepaskan tarikan kedua tangan Narendra pada kerah jaketnya.
Harshil mencoba menarik tangan Ardan menjauh dari Narendra. Bukannya menjauh, tapi lelaki itu malah membuat Harshil kembali tersungkur untuk kedua kalinya.
Bukannya Ardan tak mau berhenti untuk tidak memukul Narendra. Perkataan Narendra mampu membuat dirinya emosi. Bagaimana tidak? Ia selalu disalahkan oleh laki-laki yang juga merupakan sepupu jauhnya itu.
Ardan tak salah. Ia juga tak mau kejaduan seperti ini terjadi, semua yang terjadi hari ini adalah kehendak Tuhan. Kita tak bisa memungkiri itu semua. Rajendra yang baru saja datang memasuki halaman rumah sakit, betapa terkejutnya dirinya melihat Ardan dan Narendra tengah beradu tonjok. Ia langsung menghampiri mereka berdua san berusaha untuo menahan badan Ardan yang lebih kuat dibandingkan Narendra.
“Udah anjir. Teu kieu carana, anjing! Ayeuna mah doakeun si Kalana. Lain kalahkan pasea!!”
“Heeuh bener ceuk si Harshil, pasea moal matak jadi hudang si Kalana,” ucap Rajendra yang mencoba menenangkan Ardan dan Narendra.
Ardan bungkam. Dirinya terhenti setelah mendengar perkataan Harshil dan Rajendra. Tangannya mulai terlepas dari keras kemeja yang digunakan Narendra. Hatinya tersayat oleh ucapan Harshil. Benar saja perkelahian tak akan membuat Kalana bangun, ini sama saja akan memperkeruh suasana.
Air matanya kembali keluar. Wajahnya tertunduk lemah, dirinya terisak karena menginggat Kalana yang masih dalam keadaan kritis. Narendra yang berada di hadapannya menatap penuh dengan kebencian ke arah Ardan, seolah-olah ingin membunuh lawannya. Perkataan temannya itu benar, seharusnya ia tak menghabiskan tenaga untuk hal yang percuma.
“Nggak perlu lu nangis gak jelas. Jelasin sekarang sama kita disini,” ujar Narendra dengan penuh penekanan. Harshil, Rajendra dan Raka yang berada disana ikut menatap ke arah Ardan, mereka ingin mendengar penjelasan mengapa Kalana bisa tertusuk? Apa ada hal Ardan sembunyikan dari mereka?
“Jangan diem aja!! Jelasin semuanya!!” Teriak Narendra lagi tak terima karena Ardan hanya diam saja. Narendra sedang beruntung saat ini, taman begitu sepi sehingga tak ada yang melihatnya berteriak.
Harshil menatap ke arah Narendra sambil tangannya mencoba untuk menahan tangan lelaki didepannya agar tidak ada kejadian yang tak diinginkan terjadi lagi. “Gua sama Kalana, kemaren malem lagi jalan mau balik ke rumah. Abis jalan dari alun-alun. Di tengah jalan yang gua gak tahu ada dimana. Tiba-tiba dua motor ngehadang mobil gua. Gua gak tahu siapa mereka. Dan apa tujuannya ngehadang gua?” Akhirnya Ardan membuka suaranya, ia mulai menjelaskan kejadian saat malam tahun baru bersama Kalana.
“Orang itu pake sorban dan gua gak liat matanya karena samar-samar. Tapi jelas banget suaranya bilang, dia pengen gua mati,” lanjut Ardan menjelaskan kejadian saat Kalana tertusuk.
“Terus, kenapa Kalana bisa ketusuk?” tanya Raka masih dengan rasa penasaran. Ardan menarik nafasnya pelan, “Salah satu dari mereka tiba-tiba ngeluarin pisau kecil dari sakunya, gua yang gak peka masih berantem sama yang lainnya. Kalana manggil nama gua dan reflek noleh ke arah dia yang lari ke depan gua. Sampe akhirnya dia ketusuk di pelukan gua. Gua bodoh, kenapa gak gua aja yang ketusuk.” Ardan menjelaskan dengan perasaan yang begitu prustasi. Baru kali ini dirinya begini.
“Gak, dan. Lu gak salah. Ini semua udah ditakdirkan tuhan.” Raka mengusap punggung Ardan dan berusaha menenangkannya. Tidak dapat dipungkiri Ardan bisa bersalah atau tidak karena semua hanya Ardan dan Tuhan yang tahu.
“Bener sih, kenapa gak lu aja yang ketusuk.”
“Nar, cukup anjing. Gua tau lu marah tapi gak disaat kaya gini.” sanggah Rajendra menatap ke arah Narendra yang masih tersulut emosinya.
Narendra tak ingin mendengarkan celotehan Rajendra dan yang lainnya lagi. Ia mulai berdiri dari duduknya, berlanjut pergi begitu saja berjalan meninggalkan Ardan, Harshil, Raka dan Rajendra yang masih memikirkan siapa pelaku penusukan semalam.
Kamal yang baru saja datang dengan menenteng dua kantung kresek berwarna hitam menatap ke arah Narendra yang berjalan melewati dirinya. Ia hanya menggarukkan tengkuk kepalanya yang tak gatal itu dengan rasa kebingungan atas yang terjadi pada teman-temannya.
•••••