Di UKS

Kalana melangkahkan kakinya dengan begitu malas menuju lorong tempat dimana ia harusnya berada. Ia memasuki lorong dengan terdapat blok demi blok pintu kayu yang berwarna coklat tua. Wajahnya menunjukkan rasa malas ketika langkah kakinya mendekati sebuah pintu yang bertuliskan UKS.

“Kalau bukan karena Harshil males banget gua kesini!!” gumam Kalana berbicara pada dirinya sendiri.

Dengan begitu pelan dan hati-hati, Kalana mengetuk pintu UKS. Pandangan matanya menyita seluruh ruangan UKS yang tak begitu besar dan juga tak begitu kecil. Seorang lelaki tengah duduk di ranjang kecil dengan kaki yang mengeluarkan darah segar dengan luka yang membuat kakinya terlihat begitu membesar.

“Kalana udah dateng .. Segera obatin lukanya Ardan.” perintah kakak dokter yang ada di UKS.

“Loh kakak ada disini, kata Harshil uks gak ada yang jaga?”

“Hah? Kakak keluar sebentar tadi. Pas balik kesini Ardan udah duduk di ranjang,” jelas Kakak dokter yang jaga uks. “Dia gak mau kalo bukan kamu yang obatin.” Lanjutnya menberikan kotak P3K pada Kalana.

Kalana ingin protes tapi tak bisa. Pasalnya sang dokter sudah menyerahkan kotak obat yang seolah-olah dirinya yang harus mengobati luka Ardan. Kalana mendenguskan nafasnya tak suka namun harus ia segera mengerjakannya. Kini dirinya telah berada didepan Ardan yang masih sibuk meniup luka di lututnya yang masih mengeluarkan darah segar. Tak lama kemudian lelaki itu mendongakkan kepalanya sambil menatap ke arah Kalana. Ia mengernyitkan keningnya heran atas kehadiran Kalana di sini.

“Kenapa lu ada disini?” tanya Ardan heran.

Kalana masih terdiam dan malah memberikan kotak P3K pada lelaki didepannya. Dan menatap lelaki itu dengan begitu malas.

“Ada apa ini?”

“Harshil suruh gua kasihin ini ke lu. Nih udah kan?” ucapnya memberikan kotak ke pangkuan Ardan.

“Tunggu dulu!”

“Kenapa lagi?” tanya Kalana yang hendak pergi.

“Tangan gua kesusahan, bantuin gua lah.” Ardan menunjukkan kedua tangannya yang kotor. Bukan hanya kaki, akan tetapi lutut dan lengannya pun terdapat luka lembam membiru.

“Kenapa harus gua? Ada Kakak dokter.” protes Kalana.

“Lu aja, dia sibuk.” tunjuk Ardan pada Kakak dokter yang lumayan sibuk tengah membawa obat-obatan dari dalam lemari.

“Tungguin aja. Nanti juga gak sibuk.” balas Kalana mengelak.

“Kalana Pranika!” Ardan memanggil nama Kalana, dengan sombong dan sekuat tenaga dirinya mencoba berdiri, namun pijakannya goyah dan malah menarik tangan Kalana sehingga dirinya menjatuhkan badan Kalana membuat jarak wajah di antara keduanya begitu dekat, seperti tak ada yang mau saling melepaskan satu sama lain. Namun dengan cepat Kalana tersadar, tangan kecilnya langsung mendorong badan Ardan agar kembali duduk di ranjang kecil.

“Kalo gak bisa jalan, jangan dipaksain.”

“Gua bisa ...”

“Apa?!”

Ardan bungkam. Ia kembali duduk dengan wajahnya yang masam sambil menatap ke arah Kalana yang tengah membuka alat P3K dan mencari obat merah di dalamnya. Tangannya begitu terampil mengobati luka di kaki Ardan yang masih mengeluarkan darah segar. Ardan mengernyit kesakitan. Kalana yang kesal menatap ke arah mata Ardan dengan tatapan dingin.

“Bisa diem gak kakinya?” Kalana memprotes karena Ardan yang terus menerus tak mau diam.

“Sakit bego,”

“Sabar. Katanya gentle, sakit segini doang cengeng. Makanya kalo tanding itu gak usah pake emosi,” gumam Kalana penuh dengan penekanan.

Ardan melototkan matanya, “WOYY!!”

Kalana menyunggingkan senyuman jahilnya, ia malah mengabaikan teriakan Ardan yang kesakitan akibat perlakuan dirinya yang tengah mengobati luka di beberapa titik tubuh lelaki itu. Dengan bersusah payah, Kalana membaluti perban di lutut kaki Ardan. Namun karena dirinya kesal dengan tingkah Ardan, ia malah menepuk luka lelaki itu dan membuatnya kembali menjerit kesakitan.

“Udah beres.”

“Udah? Cepet amat!” jawab Ardan sombong.

“Jangan sombong. Mau gua tambahin lukanya?” tawar Kalana yang bersiap melayangkan tangannya hendak memukul lutut Ardan.

“Gak.”

“Oke. Udah kan? Gua gak dibutuhin lagi?” Kalana mulai membenarkan posisinya, dengan tangannya yang lihai ia membereskan kotak P3K dan menyimpannya di meja samping ranjang UKS. Ia rasa tak lagi ia dibutuhkan di sini. Namun, perkiraannya salah. Lelaki itu malah menatap ke arah Kalana dengan tatapan yang menyeramkan.

“Siapa bilang? Tuntun gua ke koridor, gua mau liat anak-anak main.” sanggah Ardan memerintah Kalana dengan melayangkan tangannya meminta untuk di papah.

“Hah? Lu nyuruh gua?”

“Selain lu yang ada disini, siapa lagi?” Ardan malah kembali bertanya, “Cepetan bantuin gua.” Lanjutnya tanpa aba-aba dari sang empu ia malah menarik tangan Kalana.

Kalana yang masih mempunyai hati nurani. Ia mulai menggalungkan lengan Ardan pada bahunya. membantu agar lelaki di depannya itu bisa berdiri dan berjalan. Ia mengikuti langkah Ardan berjalan dengan pelan dan sabar keluar ruang UKS tanpa mengubris beberapa orang yang ada di dalam ruangan tersebut menatap ke arah mereka berdua.