Dua buah mobil berhenti tepat di depan halaman yang begitu indah. Terlihat jelas disana ada banyak bunga-bunga bermacam warna. Tidak lupa juga terlihat anak-anak yang tengah bermain bersama teman-teman sebayanya.
Papan tulisan terpampang dengan jelas bertuliskan 'Yayasan Alfario'. Narendra turun dari mobilnya dan menatap ke arah sekitar gedung Panti Asuhan. Ia sungguh tidak asing dengan tempat ini.
Bagaimana tidak? Panti Asuhan ini, tempat ia dibesarkan. Tempat ia berkeluh kesah.
“Selamat Datang di Yayasan Alfario Tuan Muda Narendra.” sapa salah seorang wanita paruh baya yang tengah membawa kalung bunga ditangannya.
Narendra tersenyum, “Ibu Nirman!” Narendra menundukkan kepalanya agar Ibu Panti bisa mengalungkan bunganya sambil kembali menatap ke arah Ibu Nirman, “Apa Kabar ibu?” Lanjut Narendra dengan bertanya kepada wanita paruh baya didepannya.
“Baik Nana. Oh Iya sampai lupa Ibu. Selamat Datang kembali Pangeran Jevano.”
“Terima Kasih Ibu Nirman,”
“Ayo kita masuk ke dalam!” Ibu Nirman berjalan sambil mengenggam lengan Narendra dan mengapitnya agar masuk ke dalam Rumah Panti. Begitu juga dengan Jevano dengan senyuman khasnya ikut memasuki Rumah Panti.
Kini baik Narendra, Jevano dan Ibu Nirman telah duduk di ruang kantor Panti Asuhan. Mereka bertiga bercanda bersama, tidak lupa juga di luar ruangan sudah ada bodyguard yang menjaga.
“Bagaimana Nana kabar kamu dan orang tua angkatmu?” Tanya Ibu Nirman.
“Baik Ibu. Anak-anak Panti apa kabar?” Narendra menatap ke arah sekitar gedung Panti Asuhan yang masih sama tidak ada yang berbeda.
“Baik Na. Ibu Nirman terkejut ketika mendengar Nana menikah dengan Pangeran Jevano.”
Jevano yang berada disana melayangkan senyuman ramah kepada Ibu Nirman dan Narendra bergantian.
“Kalian itu memang ditakdirkan bersama.”
“Maksud Ibu Nirman gimana?”
“Kamu lupa Na kalau Jevano ini sering main bersama dengan kamu ketika kamu kecil dulu?” Jelas Ibu Nirman dengan semangat.
Narendra yang lupa akan masa kecilnya dan mencoba kembali menginggatnya. Akan tetapi otaknya sama sekalu tidak berjalan semestinya. Lelaki itu benar-benar lupa jika ia kenal dengan Jevano dari semasa kecil.
Jevano menatap ke arah Narendra. Entah kenapa ia berharap jika suaminya itu menginggat dirinya.
“Pangeran Jevano juga dulu selalu mencari kamu.” Kata Ibu Nirman sambil menatap ke arah Jevano. “Padahal saat itu kamu sudah tidak lagi di panti.” Lanjutnya membuat Jevano terdiam.
“Apa betul Ibu, jika Narendra itu teman masa kecil saya dahulu?” Tanya Jevano penasaran.
“Aha, Nana inget. Jevano dulu yang selalu nemenin Nana kan waktu kecil.” Narendra memotong pertanyaan Jevano yang membuat suaminya itu sadar, memang betul lelaki manis itu memang teman masa kecilnya dahulu.
“Ternyata itu kamu, Na.” Jevano tidak begitu terkejut karena dirinya sudah tahu jika memang ternyata Narendra adalah temannya.
“Bu, apa Nana boleh melihat kamar Ibu Hassan? Tiba-tiba Nana merindukannya.” Izin Narendra dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Tentu Na, ayo Ibu antarkan.” Ibu Nirman mempersilahkan Narendra.
Entah kenapa hari itu, Narendra ingin selalu mengenang Ibu Panti yang selalu menemani dirinya. Setelah, mendapatkan izin dari sang empu, lelaki itu berdiri dari duduknya dan mulai berjalan menuju ruangan yang ia yakini masih sama seperti dahulu.
Jevano yang berada disana hanya menatap ke arah Narendra tanpa mau menyusul suaminya karena dirinya yakin, jika lelaki manis itu membutuhkan ruang untuk menyendiri tanpa ada gangguan.
Mungkin nanti akan ada saatnya ia menanyakan kepada suaminya itu. Narendra membuka kunci yaang sudah terpasang di knop pintu. Ia mulainberjalan memasuki kamar itu. Kenangan disana masih begitu terasa hingga saat inu. Bagaimana tidak? Sejak kecil ia tidak bisa tidur sendirian. Sehingga membuat Ibu Hassan yang membawa dia tidur bersama disana.
“Sudah lama ya Ibu. Nana merindukan Ibu.” suara netra itu mulai terdengar serak. Matanya mulai mengeluarkan bulir air mata.
Narendra duduk di kursi dekat tempat tidur yang sudah sedikit rusak seperti tidak terawat. Tangannya mengelus ke arah bantal sambil matanya menatap ke arah sekitar.
“Nana sudah bahagia, Bu. Ibu harus bahagia disana.” Narendra mulai terisak karena mengenang masa-masa dimana ia dirawat ketika sedang sakit, ia juga sering di marahi oleh Ibu Hassan karena bandel. Saat ini, ia benar-benar merindukan sosok itu.
Narendra membaringkan dirinya di sisi tempat tidur hingga tak terasa ternyata dirinya terlelap. Isakan tangisnya terasa menggema di kamar yang masih terawat itu.
Jevano menyadari jika suaminya itu masih belum kembali ke tempat ia dan Ibu Nirman berbincang. Dengan tatapan khawatir mata elangnya terus menatap ke arah pintu Narendra tadi berjalan. Namun karena tidak mau menunggu lama lagi, Jevano melangkahkan kakinya ke kamar yang ia tuju. Langkah demi langkah lelaki itu terus berjalan hingga sampai di sebuhah pintu berwarna hitam pekat yang tidak tertutup. Jevano melirik ke dalam kamar terlihat Narendra yang tengah tertidur.
Senyumannya menggembang dengan netranya tidak pernah lepas dari wajah Narendra. Dihampirinya suaminya itu, tidak mau membangunkan sesosok didepannya. Jevano mulai mengangkat badan Narendra dengan ala bridal style. Tangannya mengalungkan lengan suaminya itu pada lehernya sehingga tidak ada jarak di antara mereka berdua.
Mungkin bisa saja ia meninggalkan suaminya disana dan memerintah para bodyguardnya untuk membangunkannya. Tapi lantas entah kenapa Jevano sungguh ingin sekali dirinya yang membawa Narendra untuk pulang.
Ibu Nirman yang menatap Jevano mengangkat badan Narendra hanya tersenyum sipu. Karena ia juga yakin, jika kedua orang yang ada didepannya itu memang ditakdirkan untuk bersama.
•••••