Ginela Sadar

Langkah kaki panjang yang terlihat gusar terus menerus menerobos semua orang yang berlalu lalang di lantai gedung rumah sakit. Terpancarkan wajah ke khawatiran di sana, langkah kaki itu milik seorang pria yang berperawakan tinggi dengan badan yang atletis.

Pria itu tak lain adalah Arseno, kali ini dirinya merasakan khawatir yang amat mendalam ketika sang Mama mengirimkan pesan singkat mengenai sang istri. Nafasnya tidak beraturan, di dalam otaknya hanya terpikirkan Ginela seorang. Pintu kamar suite terbuka dengan lebar, nafas Arseno tersendat-sendat sambil menatap ke arah tempat tidur yang terlihat sang istri tengah menggendong bayi yang terbalut bedongan kain.

“Ngapain kamu matung di situ. Sini!!” perintah Yunita yang melihat anaknya masih mematung di dekat pintu kamar mandi.

Arseno tak bergeming, ia berjalan ke arah keduanya tanpa berbicara sama sekali. Terlihat wajahnya berbinar mengetahui sang istri sudah bangun dari tidur panjangnya. Tak pernah membayangkan jika perempuan yang dicintainya itu kini ada di hadapannya, tersenyum padanya.

“Hai, ayah dari mana aja. Arga nungguin ayah,” ujar Ginela berbicara seperti anak bayi.

“Ela, ini kamu kan?” Tanya Arseno meyakinkan.

Ginela kesal karena Arseno tak percaya pada dirinya yang sudah sadar. Dengan lemah mencubit suaminya, membuat sang empu mengaduh kesakitan dan menatapnya dengan aneh.

“Aww.. Yang, sakit,”

“Sakit kan? Aku udah sadar. Kamu jangan berisik, nanti Arga bangun,”

Arseno menatap ke arah Ginela sambil berjongkok, “Kamu nggak apa-apa aku kasih namanya Arga?” Yunita yang masih ada di sana menatap ke arah sang anak yang tengah mengenggam tangan Ginela hanya menggelengkan kepalanya. Lalu tak segan-segan menjitak kepala sang anak.

“Kamu itu salam dulu sama Mommy,” ucap Yunita kesal.

“Mommy sakit.” Arseno memajukan bibirnya sambil menatap ke arah Ginela seperti mengadu, namun bukan Ginela namanya jika harus mengadahkan aduan sang suami. Perempuan itu malah tertawa, mengerjainya. “Kok malah ketawa,” lanjut Arseno mengeluh.

“Abisnya kamu tuh lucu banget, Mommy sama Daddy di anggurin.” Yunita ikut tertawa ketika melihat wajah sang anak yang terlihat masam, merah padam karena kedua orang tua dan sang istri yang menggodanya.

Arseno nyengir ke arah sang mama dan istri secara bergantian. Tiba-tiba saja matanya tertuju pada sang anak yang bangun dengan mata indahnya bergerak mengitari dengan indahnya, membuat semua orang yang ada di sana terlihat gemas.

“Anak ayah.. Ouuu..” Arseno kembali berjongkok sambil mengeluskan pipi sang anak. “Mirip kamu,”

“Kamu juga.” Ginela mengelus tangan Arseno secara tiba-tiba, membuat sang empu terkejut namun seketika membalasnya dengan lembut. Terpancarkan mata keduanya menggebu-gebu bahagia. Baik Arseno maupun Ginela sama-sama bahagia karena bisa berkumpul kembali bersama.

Terutama Arseno, ia sangat bersyukur dengan anugrah yang di berikan sang pencipta. Karena tanpa itu semua, Arseno tak tahu apa jadinya jika sang istri masih dalam kondisi belum sadarkan diri.

“Mau gendong?” Tawar Ginela karena mata Arseno tak ada hentinya menatap sang anak. Arseno menggelengkan kepalanya, “Nggak berani yang.” tolak Arseno cepat.

“Cemen, tadi daddy aja berani.” Harish menyombongkan dirinya yang berani untuk menggendong sang cucu yang baru berusia 30 hari.

“Tetep aja takut, Dad,”

“Nggak ada salahnya mencoba, Sen.”

Mata Arseno langsung tertuju pada arah pandang Ginela, dengan keberanian meminta izin kepada perempuan itu. Sang empu yang di tatap, seolah-olah mengerti, melukiskan senyumnya sambil menganggukan kepalanya sebagai jawaban.

Arseno yang belum memiliki pengalaman dalam hal menggendong bayi, dengan rasa cemas dan gelisah bersiap untuk menggendong sang anak. Senyumannya berbinar ketika sang anak yang kini ada di depan matanya.

Dengan hati-hati Arseno menerima gendongan sang anak—Arga. Iya tepuk-tepuk pantat anaknya dengan tangan sebelah kanan dan tangan sebelah kirinya bertumpu untuk menahan kepala sang anak yang masih lentur.

Arseno yang merupakan ayah sambung menatap bola matanya tak ada hentinya memutar seperti senang berada di pelukan itu.

Mungkin jika diungkapkan dengan kata-kata, sang anak sangat bahagia ketika orang yang tepat yang sekarang menggendongnya. Tak jauh berbeda dengan Arseno, ini adalah hal pertama yang menurutnya paling ia banggakan, sebab tidak ada pernah terlintas di otaknya akan menjadi seorang ayah. Arseno berjanji pada dirinya, akan selalu membahagiakan anak dan istrinya, tak akan ada sedikit pun kesalahan yang akan ia lakukan. Walaupun ia tahu jika dirinya tidaklah sempurna, tapi sebisa mungkin ia akan bertanggung jawab pada keluarga barunya.

•••••