Kantin
Seorang anak lelaki dengan keringat bercucuran membasahi kaos oblong dan celana pendek yang tak terlalu pendek berwarna putih miliknya. Dengan gagah dan penampilannya yang terkesan amat tampan ia kembali melakukan dribble dan memasukkan bola ke ring basket sehingga membuat para siswi yang masih duduk di bangku penoton bersorak kembali.
Anak lelaki itu adalah Ardan. Para idola siswi-siswi di sekolah SMAN NEO CULLTURE, bahkan sudah terkenal pula ia di mata sekolah-sekolah lain karena kepiawannya bermain basket. Ia pernah mengharumkan nama sekolahnya dengan membawa ratusan medali emas dan juara olimpiade pertandingan basket. Bukan hanya itu saja, ia pun menjuarai dalam lomba arsitektur.
“ARDAN!!” Teriak seorang anak lelaki dengan pakaian seragam mendekati ke arah Ardan.
Dengan seketika Ardan menghentikan aktivitasnya, ia berlanjut menghampiri sumber suara yang tak lain adalah Harshil temannya. Ardan melemparkan bola basket pada teman kelasnya yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri. Dengan wajah yang ketakutan teman sekelasnya menganggukkan kepalanya pelan menuruti perintah lelaki itu.
“Udah beres lu olahraganya?” tanya Harshil santai.
Ardan mengangguk, “Kantin yuk!”
“Ayoo, sekalian kan Kalana mau traktir gua makanan.” Perkataan Harshil berhasil membuat langkah kaki Ardan berhenti.
“Bisa kaga usah ngomongin dia,”
“Cemburu ye lu.” seru Harshil.
“Apaan anjir,” tukas Ardan kembali berjalan mendahului ke empat sahabatnya.
Harshil menggelengkan kepalanya sambil tersenyum menatap ke arah Ardan yang telah jauh berada darinya. Begitu pula para sahabatnya yang lain hanya menggelengkan kepalanya dan melangkahkan kakinya mengikuti ketua mereka. Ardan dan Barudak Neo untuk panggilan geng mereka mulai memasuki kantin. Kantin begitu ramai hari itu membuat dirinya makin di teriaku oleh para siswi disana. Bukannya membalas sapaan, Ardan dengan cueknya duduk di salah satu bangku kantin yang biasa mereka duduki.
“Pesen sana!!” perintah Ardan kepada Harshil.
“Duluan aja, gua masih nungguin Kalana,”
Kamal yang tengah duduk samping Ardan kembali berdiri, “Lu yang traktir kan, Dan?”
Ardan menganggukan kepalanya dengan begitu cuek. Matanya masih mengitari kantin yang banyak jajanan yang membuat semua orang yang berada di sana menjadi lapar mata dan ingin memesan segalanya.
“Pesenin gua Nasi soto, minumnya biasa es jeruk dingin,” ujar Ardan pada Kamal spontan.
“Gua mau ya, Dan” Raka ikut-ikutan minta di traktir oleh sahabatnya itu. Ia mencoba menggoda Ardan, dengan tatapan yang sangat dibenci oleh Ardan.
“Lu bisa beli sendiri ya anjir.” protes Ardan.
“Pelit amat lu.”
“Kalana!!” panggil Harshil dengan kedua matanya mengitari seorang anak perempuan yang baru memasuki area Kantin. Ardan menoleh ke arah sumber suara dan matanya kini ikut tertuju pada anak perempuan yang tak lain adalah Kalana.
Kalana tersenyum sambil mendudukan dirinya di samping Harshil duduk. Dengan santainya ia mengajak kedua temannya duduk di samping dirinya.
“Ada yang lain juga ternyata. Udah pesen makanan?” tanya Kalana ramah.
Harshil menggelengkan kepalanya, “Belum. Nungguin lu, gak ada duit gua,”
“Halah belaganya gak ada duit. Bohong dia mah,”
“Biasanya juga malakin gua.” celetuk Raka dengan menatap ke arah Kalana.
Kalana tertawa karena candaan teman-teman Harshil. Dan kini matanya tertuju pada seorang lelaki yang tentunya – Ardan. Lelaki yang mulai ia kagumi dan mungkin mulai ia sukai ketika dinyatakan ia akan berada di kelas X-B. Kalana hanya bisa menganggumi dan menyukai Ardan dalam diam, ia tidak boleh memperlihatkan jika dirinya itu suka itu saja.
“Ya udah lu pesen aja, nanti gua yang bayar. Sesuai janji.” Kalana melanjutkan perkataan dirinya yang sempat tertunda tadi.
“Yess, gua di traktir wleee.” ledek Harshil ke arah Ardan.
Sang empu yang Harshil ledeki hanya terdiam cuek matanya fokus pada makanan yang tengah ia santap. Ardan mendengar apa yang sahabatnya ledeki tanpa mau peduli apa yang sahabatnya ucapkan. Ia menganggap itu adalah hal seperti anak kecil.
“Dasar bocah,” gumamnya di dalam hati.
Harshil dengan buru-buru berdiri dan berlari menuju area kantin untuk memesan makanan, namun tak lama ia sudah kembali dan diikuti ibu kantin yang membawa beberapa makanan yang entah untuk dirinya atau siapa.
Ibu kantin mulai menyimpan nampan di atas meja dan mulai memindahkan kedua mangkuk ke arah depan Harshil. “Ini untuk lu, Kal. Soalnya udah traktir gua.” Raka menjitak tengkuk kepala Harshil, “Bego lu. Kan Kalana yang traktir,”
“Sakit bego,” Harshil mengaduh kesakitan.
“Udah berisik makan atau gak gua ambil makanannya?!” ucap Kamal yang mencoba mengambil mangkuk makanan milik Harshil.
“Cicing anjir, dahareun aing. (diem anjir, makanan gua)” protes Harshil langsung menyantap makanannya tanpa mau berbagi pada Kamal.
Semua yang ada disana tertawa karena tingkah laku Harshil. Seperti tak ada jarak di antara mereka. Namun, tak terkecuali Ardan yang masih asyik dengan ponsel milik pribadinya. Ia mencoba berpura-pura untuk memainkan ponsel miliknya. Akantetapi sedari tadi ia masih mendengar candaan dari para sahabatnya dan teman-teman Kalana yang ikut bergabung. Kalana pun ikut tertawa.
“Kenapa gua harus diem begini ya,” gumam Ardan di dalam hatinya yang kalut dengan perasaannya sendiri. “Udahlah gua pergi aja. Canggung gua disini.” lanjut Ardan masih bergumam dengan dirinya sendiri.
Ardan mulai menegakkan badannya, masih di tempat yang sama. Ia mengeluarkan dompet hitam miliknya dari saku celana pendek, tak lupa juga ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu yang kemudian di simpan di atas meja dengan agak kencang.
Semua orang yang berada di sepanjang bangku kantin langsung terdiam menatap ke arah Ardan. Suasana menjadi tegang kembali ketika Ardan berjalan lunglai meninggalkan uang dan teman-temannya yang masih terpaku.
“Dan kemana lu?” teriak Rajendra sambil menunjukkan beberapa lembar uang yang Ardan simpan tadi.
“Ke kelas, ngantuk.” balas Ardan tak kalah meneriaki dan kini badannya sudah hilang tak terlihat dari arah Kantin.