Langit sore hari kini telah berganti menjadi gelap gulita, menandakan hari telah berganti menjadi malam. Semua manusia yang tadi beraktivitas kini saling beramai-ramai untuk pulang serta istirahat di rumah. Begitu juga dengan Arseno dengan dasi yang sudah terbuka, rambut berantakan bahkan kedua lengan kemeja yang ia gulungkan. Terlihat wajahnya yang gusar, gelisah, entah apa yang tengah dipikirkan lelaki itu. Haikal—sang asisten pribadinya yang berada di bangku samping kemudi hanya menatap ke arah atasannya dengan penuh kekhawatiran. Manik matanya tak ada henti-hentinya menatap ke arah spion yang mengarahkan pada Arseno. “Oboss besok pagi ada rapat lagi dengan Pak Ridwan,” “Hmm. Lu atur aja, Kal.” “Siap pak boss. Oh iya Pak Boss, Pak Ridwan Kamil minta bertemu.” “Pak Ridwan Kamil gubernur kota kita?” tanya Arseno memastikan. “Sumuhun, Boss.” Jawab Haikal. Arseno menganggukan kepalanya, “Kalau bisa sebelum rapat tahunan. Lu hubungin lagi,” lalu memerintah Haikal. “Siap Oboss.” Namun, suasana mobil kembali hening. Manik mata Arseno kembali tertuju pada luar jendela yang memperlihatkan lampu-lampu yang menyoroti jalanan. Hingga akhirnya ketika lampu merah tiba, mata lelaki tampan itu menatap ke arah Toko Perlengkapan bayi. Entah kenapa batinnya seperti menarik Arseno untuk pergi kesana. “Haikal!” panggil Arseno dengan lirih. “Muhun Pak Boss, ada yang bisa saya bantu?” Sahut Haikal. Arseno tak menanggapi dan menatap ke arah toko perlengkapan bayi yang tak jauh dari lampu merah, “Kita berhenti dulu di toko perlengkapan bayi itu.” “Baik Pak Boss. Ayo mang ujang,” suruh Haikal pada pria paruh baya yang tengah mengemudikan mobil itu. Mobil terarah menuju parkiran mobil perlengkapan bayi, Arseno tersenyum bahagia ketika mendapati mobilnya sudah sampai di parkiran. Lelaki tampan itu langsung keluar dari mobil tanpa menunggu Haikal membuka kan pintu. Arseno sangat antusiah untuk melihat barang-barang lucu yang ada di dalam toko. Hingga tak mau menunggu lama lagi, ia melangkahkan kakinya masuk yang langsung di sambut dengan baik oleh pelayan. “Selamat datang Pak, ada yang bisa di bantu.” Arseno menganggukan kepalanya, “Ada.” •••••

Dua manusia tengah duduk saling berhadapan tanpa berbicara sama sekali. Yang perempuan, menatap lelaki di depannya dengan rasa malas seperti tak ingin memperlihatkan wajahnya sama sekali. Berbeda dengan lelaki, manik matanya memutar bola matanya dari kepala sampai tatapan perut besar itu. Ginela—tak percaya sama sekali jika laki-laki yang ada di depannya ini datang kembali. Di saat ia sudah bisa melupakan dan lebih memilih kehidupannya yang baru. Akan tetapi, sekarang Ghazi—lelaki itu ada di sini sekarang. “Apa kabar?” tanya Ghazi sumringah. “Baik. Kamu?” tanya Ginela balik. Ghazi menganggukan kepalanya, “Baik juga.” “Syukurlah.” “Gimana kabar anak kita? Sudah besar ya dia,” Kata Ghazi basa basi. Ginela tak bergeming. Tiba-tiba saja air matanya keluar begitu saja ketika pikirannya terlintas kejadian saat acara pernikahan tujuh bulan lalu. Hati nya begitu sakit jika menginggatnya, Ghazi sama sekali tidak hadir di sana. Padahal ia sangat menginginkan. sesosok itu. “Aku minta maaf bey.” “Minta maaf untuk?” Ginela bingung saat Ghazi mengatakan itu. Lelaki itu tiba-tiba saja meminta maaf. “Kamu nggak ada salahkan. Untuk apa minta maaf,” lanjut Ginela. Ghazi menghela nafas karena menganggap Ginela seolah-olah tidak peduli sama sekali. “Masalah pernikahan.” “Aku nggak mau bahas itu,” sanggah Ginela langsung. “Oke, kita jangan bahas itu. Tapi aku mohon izin sama kamu untuk mendengarkan penjelasan dariku.” Balas Ghazi lagi. “Silahkan.” Kata Ginela cuek. Ghazi menghelas nafas memulai pembicaraan, “Saat pernikahan kita waktu itu kenapa aku nggak hadir. Bukan tanpa alasan, aku sampai nggak hadir ke sana.” Kata Ghazi. Ginela menyimak penuturan lelaki didepannya yang terlihat sangat serius. Mencoba mencernanya. Ia harus mendengarnya hingga sampai penjelasannya selesai. “Aku malu sama diri aku. Malu karena berani bertanggung jawab, tapi belum punya pekerjaan sama sekali. Nggak lucu kan anak kita nanti nggak bisa makan yang enak. Dan sekarang aku kembali untuk memperbaiki semuanya, karena aku udah punya kerjaan.” lanjut Ghazi lagi. “Kenapa baru sekarang?” sanggah Ginela menyentak. Tangannya sibuk mengelus perut besar, berusaha agar ia bisa menahan emosinya yang bisa saja tiba-tiba keluar tanpa di sengaja. “Aku udah jelasin tadi, aku masih takut bey. Belum Mama menuntut aku harus nerusin perusahaan Daddy. Dan aku belum siap untuk ngelakuin itu.” balas Ghazi tenang. “Huh. Lalu sekarang apa mau kamu?” Ghazi menatap Ginela, “Aku mau bahas soal chat kemaren. Aku serius ingin kita kembali seperti dahulu. Apa masih bisa, bey?” lanjutnya berpindah duduk ke samping Ginela. DEG Detak jantung Ginela tiba-tiba berhenti begitu saja. Ia tidak mengerti dengan dirinya malah berekasi seperti ini. Seharusnya perempuan itu bahagia ketika Ghazi—sosok yang ia cintai ingin mencoba memperbaiki kesalahannya yang lalu. Kemudian Ginela melepas genggaman tangan Ghazi, “Maaf.” Hatinya menolak, entah kenapa sekarang Ginela malah memikirkan sesosok lain. Sesosok yang hadir selama tujuh bulan ini sudah menemani ketika dirinya kesulitan. Ghazi yang menerima perlakuan itu merasa aneh ketika perempuan yang pertama berada di hatinya malah melepaskan genggaman tangannya. Namun tak ingin memikirkan lebih jauh, kini ia hanya ingin fokus pada perempuan didepannya. Tanpa memikirkan hal lain. “Aku nggak akan maksa kamu untuk jawab sekarang. Aku akan tunggu sampai kamu siap,” seru Ghazi. Ginela mengganggukan kepalanya, “Makasih. Kasih aku waktu,” sambil meneguk habis air putih yang ada di tangannya. “Aku tahu kalau ucapan aku terlalu mendadak untuk ngajak kamu balikan sama aku.” Kata Ghazi memelas. Entah kenapa ketika Ginela menatap wajah Ghazi yang memelas seperti itu tidak tega memerintah untuk menunggu. Tetapi di jalan pikiran lain, ia seharusnya tega agar sosok itu mengerti bagaimana perjuangannya selama ini. “Bukan aku nggak mau jawab sekarang. Tolong kamu ngertiin keadaan aku,” “Iya nggak apa-apa. Aku ngerti.” “Semua sudah jelaskan? Nggak ada lagi yang harus kita omongin lagi. Aku harus pergi check up.” seru Ginela berpamitan. “Mau aku anter?” tawar Ghazi baik hati. Ginela menggelengkan kepalanya, “Nggak perlu. Ada Ibun dan supir sebentar lagi jemput aku.” lalu beranjak dari sana perlahan. Padahal sebenarnya hari ini sama sekali tidak ada jadwal check up ke dokter. Ginela hanya beralasan saja ingin cepat pergi dari sana. Melihat sosok itu membuatnya ingin marah saat itu juga, akan tetapi hal itu tak mungkin. Ginela masih memikirkan sesosok yang ada di dalam kandungannya harus ia pikirkan juga. Dirinya tidak mau stress berlebihan, sudah cukup kemarin saja. Ginela tak ingin menambahkan beban lagi pada hidupnya. •••••

Arseno membuka pintu kamar Ginela secara perlahan sambil menatap ke arah perempuan yang tengah tertidur. Sudah jadi kebiasaan lelaki itu setelah pulang kerja selalu datang ke kamar sang istri. Walaupun anak yang ada di dalam kandungan itu bukanlah anak kandungnya. Tapi Arseno tak peduli, sebab ia harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah adiknya lakukan. Arseno pun tidak akan segan-segan untuk tidur di lantai agar sang empu aman. Karena ia pernah mendapatkan laporan dari sang asisten, jika istrinya setiap malam tidak tidur hingga pagi menjelang. “Hai anak ayah, kamu lagi apa? Ayah ke sini lagi untuk nemenin kamu tidur.” Arseno mengusap perut Ginela dengan hati-hati agar tidak membangunkan. Sebab jika perempuan itu bangun tidak akan mengizinkan sama sekali. Mungkin jika Ginela tahu, ia akan di marahi habis-habisan mengelus perut perempuan itu. Karena tidak sopan katanya. Namanya sudah buta akan cinta, mau di apakan lagi. Jika sudah menyangkut jantung hatinya, mau dilarang pun akan tetap dilakukannya. “Anak ayah nakal nggak sama Ibun. Anak ayah nggak boleh nakal, harus nurut sama Ibun,” bisik Arseno bahagia. “Pasti anak ayah baikkan. Pokoknya, ayah mau kamu harus jaga baik Ibun.” lanjut Arseno seperti sedang menasehati sang anaknya. Setelah selesai berbicara yang seraya berbincang langsung dengan sang anak. Manik mata Arseno kemudian menatap ke arah wajah nan indah untuk di pandang menurutnya. Ia sungguh merindukan sosok itu. Padahal terakhir keduanya saling berkomunikasi ketika Arseno mendapati chat jika sang adik kembali menguhubungi istrinya. Arseno tahu, hal yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Tidak seharusnya ia marah ketika sang adik kembali, bukankah itu hal bagus baginya, berarti lelaki tampan itu bisa bebas menjalani hidupnya sendiri. Namun hal itu tak mungkin Arseno lakukan. Ginela adalah seseorang yang sudah ia nantikan berpuluh-puluh tahun. Maka dirinya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengambil hati Ginela kembali. Walaupun ia rasa tidak mungkin, tapi Arseno akan mencobanya. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam, mata Arseno tak kuat menahan rasa kantuknya. Karena percuma jika ia berjalan ke kamarnya akan lebih lama lagi, jadilah sekarang di sana. Arseno membaringkan kepalanya bertumpu pada kasur Ginela, ia akan menantikan keesokan harinya semoga akan menjadi hari yang lebih baik lagi. •••••

Untuk kesekian kalinya Arseno dalam hati tidak baik. Apapun yang dilakukan oleh karyawan di kantornya itu tidak akan baik. Padahal sang karyawan tidak melakukan kesalahan apapun. Bahkan sang asisten—Haikal pun tidak luput dari amukanya. Seperti halnya sekarang, Arseno tengah berkacak pinggang menatap ke arah beberapa karyawannya yang menundukan kepalanya. “Mana kerja kalian? Mana? Sudah lebih dua bulan, saya menunggu untuk proyek besar ini. Tapi kenapa tidak ada laporan lagi??!!!” Amarah Arseno semakin memuncak ketika salah satu karyawannya menyela. “Maaf Pak tapi mereka ingin menundanya.” sela karyawan. “Kalian usahakan. Begitu saja tidak bisa!!” “Pokoknya saya tidak mau tahu, minggu depan kalian harus goalkan proyek ini. Jika tidak kalian tanggung akibatnya, paham??!!” lanjut Arseno tegas. “Paham pak.” balas seluruh karyawannya. “Ya sudah kalian boleh keluar sekarang,” Seluruh karyawan yang ada di dalam ruangan itu mengikuti atas arahan sang atasannya. Sampai tinggal lah Arseno dan Haikal di sana. Tetapi pintu ruangan kembali terbuka, terlihat sesosok Naufal dan Raja berjalan menghampiri kedua sahabatnya. “Sen, makan yuk!” Ajak Naufal berusaha meleraikan suasana. “Udahlah Sen, lu jangan marah-marah mulu sama karyawan. Kasian.” sergah Raja. Arseno mendelikan matanya tak suka. “Kerjaan belum ada satu pun yang beres, jelas gua marah.” Kata Arseno tak terima. “Eh kan aing lupa mau ngomong sesuatu sama si obos,” sela Haikal. “Naon (apa)?” tanggap Naufal penasaran. “Hmm.” “Tadi gua ketemu si Ghazi ketemuan sama Ginela di cafe depan kantor.” Arseno mematung seketika. Ucapan asisten pribadinya mampu membuatnya tak bergeming, selama ini yang ia tahu jika Ginela akan diam di rumah. Keluar pun hanya sekedar bertemu dengan sahabatnya. Tapi sekarang apa? Ternyata istrinya itu pergi tanpa sepengetahuannya. Sebenarnya tidak penting juga untuk Ginela izin padanya. Tapi kali ini tidak, rasa cemburunya membuat Arseno tidak bisa lagi berdiam diri. “Lu jangan emosi dulu, Sen.” cicit Raja menenangkan Arseno. “Gak janji,” “Oboss pikirkeun Ibu Boss mun nyaho kumaha (Pak boss pikirin Ibu Boss kalau tahu gimana).” Haikal merangkul lengan Arseno. Pikiran lelaki tampan itu kalut, selain masalah di kantor, sekarang tambah lagi masalah lain yang belum terselesaikan sama sekali. Emosinya terus memuncak ketika mendengar nama sang adik—Ghazi di sebut-sebut. Apalagi jika menginggat masalah yang lalu, amarahnya tidak bisa lagi tertahan. “Udah ayo makan dulu. Emosi lu butuh tenaga,” ajak Naufal mendorong badan Arseno. Arseno tak bisa mengelak lagi, kakinya ikut melangkah kakinya keluar dari ruangannya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati sang supir datang dengan membawa dua kantung belanjaan menghampiri lelaki tampan itu. “Aden, ini saya mau memberikan makan siang dari Neng Nela,” “Waaah.. Kebetulan mang kita mau makan siang.” Naufal mengambil kedua tas belanja tersebut. “Neng Nela ada di bawah Aden. Tapi katanya nggak kuat jalan ke atas. Kalau begitu Mang Ujang pulang dulu, kasian Neng Nela.” Arseno menganggukan kepalanya. “Hati-hati.” “Hati-hati ya, Mang. Tolong jaga Ibu Boss.” cicit Haikal memastikan supir majikannya mengantarkan dengan aman. “Siap atuh, aman sama Mang mah,” Naufal mengacungkan jempolnya, “Oke mang.” Setelah sang supir pergi dari sana. Arseno dengan cepat menyambar kedua kantung makanan yang ada di tangan Naufal. Ia melangkahkan kaki kembali memasuki ruangannya meninggalkan ketiga para sahabatnya mematung. “Woy, Arseno bagi-bagi!” pinta Naufal mengikuti Arseno berjalan. “Pak Boss, aing mau.” Haikal ikut-ikutan meminta makanan. “Kalau mau sini ikutin gua, ngapain diem di situ,” perintah Arseno membuat Haikal, Naufal dan Raja terbirit-birit berlari untuk memakan masakan gratis tanpa harus mengeluarkan uang sedikit pun. •••••