Langit yang sedari tadi cerah, berubah seketika menjadi gelap ketika dua orang pasang mata saling bertatap-tatapan. Pemilik mata itu tak lain adalah Naufal, lelaki yang memiliki perawakan tak jangkung dan tak pendek, memiliki hidung bangir, kulit badannya yang putih. Kini ia tengah duduk sembari menatap sesosok lelaki di sebrangnya.

Suasana kantin rumah sakit saat itu tak begitu ramai. Pasalnya, ini sudah melewati jam malam yang berarti sudah berakhirnya masa kunjungan pada pasien. Sebelumnya Naufal menyimak cerita Jeandra jika beberapa bulan silam, lelaki itu mengalami kecelakaan. Mobil mewah milik si lelaki bermata sipit itu sulit mengendalikan pedal remnya. Padahal sudah sangat jelas jika saat itu mobil terdebut baru saja Jeandra beli dari dealer mobil.

Ceritanya tak berhenti di situ saja, sekarang jiwa Jeandra terhempas dari dalam raganya sejak ia berada di rumah sakit. Lelaki itu sangat terkejut ketika mendapati kedua orang tua bahkan adiknya bersedih.

“Jadi maksudnya, lu itu nggak bisa di lihat semua orang?” Naufal menatap lelaki di depannya dengan penuh tanda tanya. Bukannya tak percaya, tapi ia harus memastikan lagi jika memang memang Jeandra tak terlihat oleh orang lain.

Jeandra mehembuskan nafasnya. “Iya, udah gua bilangin dari tadi. Lu gak percaya?”

“Bukannya nggak percaya. Tapi—.” Sebenarnya Naufal bingung antara percaya atau tidak dengan sosok Jeandra yang katanya Tak semua orang bisa melihatnya. Pasalnya, lelaki itu tak pernah tahu bisa melihat arwah dan semacamnya. Bahkan Tanisha, sang Dadda tak pernah bercerita mengenai bisa melihat hal mistis seperti ini.

“Tapi apa?” Jeandra balik bertanya karena Naufal sedari tadi terlihat ragu untuk menjawab. Padahal sudah jelas si lelaki manis itu sudah di pastikan bisa melihatnya.

Jeandra memutarkan otak pintarnya mencari cara agar Naufal bisa percaya. Hingga sebuah ide terlintas. “Kalau memang lu masih nggak percaya, lu foto gua sekarang!” Titah Jeandra dengan matanya tak tanggal sedikit pun dari saku sang lawan.

“Buat apa?” Sanggah Naufal takut.

“Cepetan!!” seru Jeandra lagi. Naufal memutar bola matanya malas karena berani-beraninya lelaki itu memerintah dirinya. Tangannya mengeluarkan ponsel pintar itu, tak lupa juga ia membuka aplikasi kamera. “Nih, selfie aja sendiri.”

“Kok jadi gua? Kan lu yang gua suruh!” Jeandra menatap ponsel yang di ulurkan padanya.

“Astaga,” cicit Naufal dengan ekspresi kesalnya. Lelaki itu bersumpah, baru kali ini menemui sosok yang seperti sekarang ini. Ia menurut mulai membuka aplikasi kamera tanpa bersuara dengan sekali tekan.

Jeandra menautkan alisnya, menunggu aksi Naufal. Sebab sedari tadi lelaki itu hanya berkutat pada ponsel pintarnya membuat Jeandra penasaran sebenarnya apa yang di kerjakannya. “Lama sekali.”

“Bisa sabar nggak!!” sunggut Naufal.

Karena memiliki sifat tak sabaran, Jeandra mendekati Naufal sambil sebelah matany menyipit pada ponsel. Naufal yang menyadari, dengan segera menyimpannya ke dalam saku celana berlalu menatap Jeandra tak suka. “Bisa nggak, sih, sabar nungguin sambil duduk,” gerutu Naufal kesal.

Jeandra mengedingkan bahunya sambil kembali duduk pada kursi sofa di samping Naufal duduk. Kini mata lelaki itu menelisik ke segala penjuru kantin yang sudah sepi, hanya ada beberapa orang saya yang berlalu lalang.

Di antara orang-orang tak jauh dari sana, menatap keduanya aneh. Terutama pada Naufal yang terlihat mengomel seperti sedang berbicara sendiri. Seperti orang gila katanya.

•••••