Mama dan Ibun nginep

Hari sabtu merupakan hari terindah bagi sebagian orang yang menganggap adalah hari libur. Namun, berbeda dengan Ginela dan Arseno. Hari sabtu kali ini merupakan hari terburuk bagi mereka berdua.

Bagaimana tidak? Mama dan sang ibunda tercintanya mendadak ingin tidur di rumah mereka. Padahal biasanya walaupun sedang liburan seperti sekarang, keduanya hanya mengikuti jejak sang suami. Tapi berbeda dengan hari ini.

“Ginelaaaa!” panggil Mama Yunita sambil membawa kantung belanjaan berisi kue macaron.

“Gimana, Ma, Ibun perjalanannya jauh ya?” Tanya Ginela menyalami tangan Mama mertua dan sang Ibundanya.

Aira tersenyum, “Nggak jauh juga. Cuman dari pasteur ke Setiabudi mah deket atuh.”

“Macet hungkul di lampu merah pasopati.” sergah Aira dengan senyuman candanya.

“Oh udah biasa ya itu mah. Eh ayo masuk dulu di luar dingin.” ajak Ginela mengandeng tangan sang Ibunda—Aira.

Di sisi lain, Yunita mengikuti mereka berjalan dengan penuh tawa yang mereka lontarkan sedari tadi. Berbeda urusannya dengan Arseno, yang hanya pasrah atas kedatangan Mama nya dan Ibunda mertuanya. Lelaki tampan itu mengangkat kedua koper dan mengikuti semua orang yang kini sedang menaiki tangga menuju lantai dua.

Ginela, Aira dan Yunita menghentikan langkak kakinya tepat di depan kamar yang sejak awal di gunakan perempuan yang tengah mengandung.

“Oh iya, Nel. Mama sama Ibun bawa macaron sama ada beberapa cemilan.” kata Aira memberikan tas jinjing yang entah berisi apa.

Ginela mengambil tas tersebut, “Makasih Ma, Ibun padahal nggak usah repot-repot. Ssshh.” Sambil mengelus perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri.

“Kamu kenapa nak?” Tanya Aira khawatir.

Ginela menggelengkan kepalanya, “Nggak apa-apa Ibun, dede seneng banget ada omanya ke rumah.”

“Senang sekali ya kedua Oma nya datang jenguk dia,”

“Maaf Mama, Ibun, Seno menyela. Apa lebih baik kita istirahat?” Sela Arseno dengan ekspresi datar.

“Tapi Ibun sama Mama udah makan?” Tanya Ginela dengan rasa khawatirnya.

Yunita menganggukan kepalanya, “Mama sama Ibun kamu sudah makan. Udah sana kamu ke kamar aja. Biarin barang-barang Mama sama Ibun yang bawa. Ayo Ibun kita istirahat, biarin mereka berduaan.” ledek Yunita menggandeng lengan Aira berlalu meninggalkan Ginela dan Arseno yang mematung.

Ginela menggelengkan kepalanya sambil melangkahkan kakinya menuju kamar Arseno. Se sampainya di kamar, Ginela bersiap-siap mengambil selimut dan bantal di dalam lemari namun dengan cepat Arseno mencegahnya.

“Biar gua yang tidur di sofa,”

“Tapi ini kamar lu.”

“Kalau lu tahu ini kamar gua, jadi tolong nurut sama gua. Dan gua cuman gak mau mama sama ibun tahu kalau cucu nya sakit karena gua biarin tidur di sofa.”

“Udah sana tidur lu!!” lanjut Arseno ketus.

“Iya ini mau.” jawab Ginela kemudian merebahkan dirinya memasuki selimut berwarna hitam milik Arseno. Matanya secara perlahan mulai terpejam. Ia berharap jika esok ketika perempuan itu bangun, Mama mertua dan sang Ibunda tidak melakukan hal yang aneh. Dan juga Ginela berharap, selain hari esok dan hari nanti-nanti lagi akan menjadi lebih baik lagi.

Berbeda halnya dengan Arseno yang sedari tadi sama sekali belum tertidur. Posisinya yang rebahan pada sofa bed kamarnya seperti sudah terlelap padahal belum sama sekali. Pikiran lelaki tampan itu banyak bercabang kemana-mana. Dari mulai urusan sang adik yang menghilang tanpa jejak, urusan teman masa kecilnya ia pikirkan dan bahkan urusan kantor pun mampu menganggu pikirannya.

Sama halnya dengan Ginela, Arseno juga berharap keesokan harinya ia mampu menjalani hari-harinya seperti biasa tanpa harus ada hambatan sama sekali. Karena sudah cukup yang lalu-lalu menganggu pikirannya.

•••••