Menunggu Kalana
Cuaca malam hari itu di kota Bandung tidak begitu baik. Awan begitu gelap gulita menyelimuti seisi langit. Suasana pun tak begitu baik seperti biasanya.
Tut.. Tuut.. Tuut..
Alat pendeteksi jantung terus berdenyut begitu nyaring di seluruh penjuru ruangan yang tak begitu luas. Selang infus tertancap di tangan kanan seorang perempuan yang terbaring lemah dengan bibir yang pucat pasih tak berdaya. Selang-selang menempel di sekujur tubuhnya dan tak lupa masker oksigen yang terpasang menutupi hidung dan mulutnya.
Netranya begitu tenang. Wajahnya begitu cantik ketika memejamkan matanya seperti ini. Tapi dirinya bukan tertidur, hanya beristirahat sementara waktu.
Pasca operasi pada perut sebelah kirinya. Kalana — masih hanya diam, tak ada tanda-tandanya mau membuka mata indahnya. Bahkan dokter sudah menyatakan jika perempuan itu dalam keadaan kritis.
Tak jauh dari Kalana terbaring. Ada kerabat-kerabatnya yang menunggu dirinya untuk bangun. Menunggu tertawa bersama, bersedih bersama. Semua orang di sana menatap perempuan dari balik kaca yang berjarak tak jauh Kalana terbaring.
“Kal, kamu bisa ya cantik. Ayah tunggu kamu disini,” ucap Fauzan pelan memgang kaca didepannya yang menghadap ke ara Kalana.
“Kita doain aja teteh yuk, Yah.” Davina mencoba menenangkan Fauzan. Ia mengusap lengan ayahnya itu sambil matanya tak berhenti sedikit pun menatap ke arah Kalana. Di dalam dirinya masih berharap jika kakaknya akan bangun. Kakaknya itu kuat pasti menjalani semuanya.
Fauzan menoleh kepalanya, “Ibun mana?” tanyanya sembari mengelus tangan Davina.
“Ke bawah, beli makanan sama tetehnya A' Ardan.” Davina menunjuk ke arah bawah serasa tahu jika Airin — ibunya pergi menuju kantin rumah sakit Santo Borromeus.
Fauzan hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban, kini ia kembali menatap ke arah ruang balik kaca dari tempatnya berdiri. Dari kejauhan Ardan hanya menatap orang-orang yang duduk di ruang tunggu. Hatinya masih belum ada keberanian seperti biasanya.
“Ardan!” Ardan menolehkan kepalanya mencari arah sumber suara. Airin — ibu Kalana berjalan menghampiri Ardan yang hanya berdiri ditempat.
Airin berdiri di hadapan Ardan. Ia tak berbicara sama sekali, hanya menatap ke arah lelaki didepannya. Tangannya menepuk pundak Ardan dan senyuman tak luput dari wajahnya. Netranya yang indah itu hilang karena mata sembabnya tak ada henti-hentinya mengeluarkan air mata.
“Ibun tahu kamu mau nemenin Kalana kan?” tanya Airin akhirnya membuka suaranya.
“Tapi Ardan nggak berani, ibun, Ardan terlalu jahat untuk Kalana.” balasan Ardan seolah-olah menolak pertanyaan Airin, kepalanya tertunduk. Air matanya terus mengalir dari kedua mata tampan dan indahnya. Airin yang mengerti keadaan Ardan kini langsung memeluk badan Ardan. Ia tahu apa yang lelaki itu butuhkan dan rasakan kali ini. Airin menepuk punggung Ardan pelan.
“Kalana mau ketemu kamu. Dia pasti seneng ketemu kamu.”
Ardan terdiam dan kembali menatap mata Airin perlahan juga ia mulai melepaskan pelukan. Tatapan mata Airin seolah-olah meminta untuk dirinya masuk ke dalam ruang itu, menemani Kalana.
“Boleh.” arti dari tatapan Airin sambil menganggukan kepalanya. Hati Ardan begitu bahagia, ia tak menyangka jika Airin begitu baik hati memperbolehkan untuk bertemu dengan Kalana.
Selama ini Ardan hanya berani berjaga di sana jika sudah tak ada yang menunggu Kalana. Ia akan setiap malam menunggu tanpa terlelap. Ia masih ingin menjadi orang pertama yang melihat Kalana bangun. Sangat ingin menatap mata indah milik Kalana menatapnya.