Mobil jeep hitam pekat dengan aksen gagah berhenti di depan sebuah gedung berwarna cream corak coklat dengan aksen seperti bangunan tua. Pintu mobil terbuka dengan lebar, terlihat dengan jelas dua orang laki-laki keluar dengan jas hitam yang dikenakannya.

Pemilik Jaket itu tak lain adalah Narendra. Ia mengambil bucket bunga yang telah ia beli di perjalanan. Hari ini adalah hari wisuda sang keponakan yang sudah ia anggap adik kandungnya. Lelaki itu menatap ke sekitar mobil yang sudah terdapat pengawal yang berjaga di sana.

Bukan untuk menatap para Pengawalnya. Namun ada yang lebih menarik perhatiannya. Ia penasaran kemana suaminya itu pergi. Padahal tadi saat keluar mobil itu sama-sama.

“Sa, si Jepan mana?” Teriak Narendra pada Harsa.

“Ke kamar mandi, Tuan Muda Na.”

Narendra mengangguk, kemudian ia berjalan memasuki gedung yang banyak orang-orang berlalu lalang dengan menggunakan pakaian wisuda dan toga di atas kepalanya.

Lelaki itu terus berjalan sambil menatap ke arah lorong gedung sekolahan. Di belakangnya sudah ada Harsa dan para Pengawal yang lainnya siap untuk menjaga sang majikannya. Manik matanya menelisik ruangan demi ruangan mencari keberadaan Kamal.

Semua mata tertuju kepadanya dan berbisik-bisik entah apa yang mereka bicarakan. Langkah kakinya terhenti ketika melihat ke arah Kamal yang tengah berbincang bersama teman-temannya di luar ruangan kelas.

Lelaki yang tak lain Narendra tersenyum lebar ketika keponakannya itu sudah berada di depan matanya. Kamal melambaikan tangannya kepada sang Kakak padahal jarak pandangnya lumayan jauh. Akan tetapi entah kenapa tiba-tiba kepalanya merasa pusing sehingga ia berhenti sejenak. Kamal yang melihat itu dengan segera menghampiri Narendra yang tengah berdiri dengan tangan bertumpu pada dinding.

“Kakak kenapa?” Tanya Kamal khawatir.

Mendengar suara itu Narendra menenggakan kepalanya, “Kakak nggak apa-apa.”

“Beneran? Biar Kamal panggil Kak Harsa!”

“Nggak usah, ayo kita masuk sebentar lagi acara dimulai kan?” Narendra melingkarkan lengannya pada bahu sang keponakan.

“Oh iya, ini Kakak bawakan bunga buat kamu, selamat atad kelulusannya,” Lanjut Narendra memberikan bucket bunga kepada Kamal.

Dengan mata berkaca-kaca, Kamal membawa bucket itu dari tangan sang Kakak. “Makasih Kak udah nyempetin untuk datang ke wisuda sekolah aku.”

Narendra menganggukan kepalanya. Ia mengusap surai lembut Kamal. Dirinya berjanji akan selalu menjaga adiknya itu. Bukan hanya menjaganya, akan tetapi Narendra akan memberikan yang terbaik untuk kelangsungan hidup Kamal. Walaupun ia tahu jika anak lelaki didepannya itu masih memilik orang tua yang utuh.

“Ya udah ayo kita masuk ke dalam kak!”

Narendra bersama Kamal kembali melangkahkan kakinya menuju hall aula sekolah tempat Kamal mengais Ilmu. Semua orang yang berada disana tertuju pada lelaki yang notabenya suami dari Pangeran Jevano. Mereka berdua duduk di bangku paling depan bahkan bangku tersebut telah bertuliskan 'Pangeran Jevano dan suaminya'.

Narendra seperti merasa ini berlebihan, akan tetapi tentu saja tidak. Memang seperti itu adanya.

Semua bertanya-tanya kemana orang tua Kamal? Tentu saja mereka lebih mementingkan diri mereka sendiri. Karena Kamal sedari kecil selalu didampingi Narendra. Dalam hal apapun, dimana keponakannya membutuhkan. Dirinya selalu ada disampingnya.

Ia tersenyum bahagia, dengan kedua tangannya mengenggam jari sang keponakan. karena keponakannya itu berhasil. Narendra sangat bangga pada dirinya. Walaupun perjuangannya belum berakhir, tapi setidaknya Narendra berhasil membuat Kamal menjadi anak yang pintar, anak yang rajin sekolah tidak seperti remaja pada umumnya.

“Kakak kesini sama siapa? Mana Pangeran Jevano?” Kamal bertanya dengan sumringah mengambil bunga di tangan Kakaknya.

“Kakak nggak tahu, tadi Harsa bilang ke kamar mandi.”

“Ya udah Kak biarin aja dia.” Narendra menganggukkan kepalanya sambil tetawa karena candaan sang keponakan. Manik mata coklatnya kini tertuju pada atas panggung yang sudah ada guru beserta orang-orang yang tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

Ketika semuanya yang berada disana hening. Tiba-tiba suara gaduh para wanita diluar sana membuat semua orang yang berada di kelas Kamal penasaran. Dan ternyata, Jevano datang berjalan melewati oridor menuju Narendra berada. Semua orang di sana terus menerus meneriaki nama Jevano, bahkan diluar jendela sudah banyak orang-orang yang ingin melihat Pangeran negeri Altaro yang sangat di kagumi seluruh masyarakat.

Lelaki itu berjalan, semua yang berada disana berdiri dan menundukkan kepalanya memberikan rasa hormat kepada sang Pangeran. Langkah kaki Jevano berhenti tepat di samping Narendra. Kamal yang tidak begitu menyukai lelaki itu hanya mendelik sebal namun mengerti jika ia menghadapi seorang Pangeran. Mau bagaimanapun tidak menyukai akan tetapi, pastinya harus mengikuti aturan.

“Kak, Kamal bareng temen-temen dahulu,” Kamal melepaskan genggaman tangan Narendra. Narendra tersenyum sambil menganggukan kepalanya.

Pandangannya kembali ke depan fokus menatap orang-orang yang berlalu lalang disana.

Acara pun di mulai, semua orang yang berada disana mulai hening. Pandangan semua orang tertuju pada panggung yang begitu mewah menampilkan para siswa yang sedang menjadi pembuka acara.

Penampilan demi penampilan telah para siswa lalui dan kini, MC memanggil nama para siswa yang berprestasi untuk datang ke depan panggung.

Nama Kamal pun ikut turut serta dipanggil. Narendra begitu bahagia melihat keponakannya yang tengah berbaris.

“Lalu, suatu kebanggaan bagi kita semua karena Pangeran Jevano dapat hadir di acara Wisuda Sevka High School.” MC menatap ke arah Jevano yang menganggukan kepalanya ke arah bangku di belakangnya.

“Baiklah, kalau begitu untuk Pangeran Jevano dan suaminya saya persilahkan untuk memberikan Piagam di atas Panggung!” Pinta sang MC kepada Jevano dan Narendra.

Jevano yang paham langsung berdiri dari duduknya. Diikuti oleh Narendra juga ikut berdiri. Mereka berdua mulai melangkahkan kakinya secara beriringan. Semua orang yang ada disana telah dengan sigap menyiapkan ponsel milik mereka masing-masing untuk saling memotret bahkan merekam saat Jevano dan Narendra di panggung.

Narendra yang berada di belakang Jevano merasa kepalanya sakit. Bahkan jika dibilang saat ini semua orang yang ada disana berwarna kuning.

BRUUGG

“Tuan Muda Pingsan!!” Teriak salah satu penggunjung disana.

Jevano tersadar jika suaminya itu tidak ada disana dan ia mendengar teriakan salah satu pengunjung di sana yang mengarah kepada suaminya. Dan tepat sekali, seperkian detik lelaki itu menatap ke arah sumber suara. Suaminya sudah tergeletak di atas lantai.

Matanya membulat, terkejut karena keadaan Narendra, tanpa lama lagi ia kembali lari ke arah Narendra terjatuh. Bahkan ia rela mengesampingkan gengsinya hanya untuk lelaki manis didepannya, dengan tangannya, tangannya dengan gagah mengangkat badan Narendra yang lumayan berat.

Semua para pengawal yang ada disana berusaha melerai kerubunan orang-orang yang penasaran dengan keadaan sang Tuannya. Kamal yang baru diberi tahu temannya langsung menyusul Narendra dan Jevano sudah terlebih dahulu pergi dari sana.

•••••

Hujan terus menyelimuti negeri Altaro pada saat itu. Angin berhennus kencang melewati semua orang yang berlalu lalang pada saat malam hari. Jevano mengangkat badan Narendra yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Langkah kakinya terhenti ketika melihat para pengawalnya membawakan brankar. Jevano langsung menindurkan Narendra disana secara perlahan. Suster yang berada di sana langsung menghampiri dua sejoli yang datang bersama para pengawalnya. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat mengikuti suster yang mendorong brankar dengan cepat. Setelah sampai di dalam, Jevano menunggu diluar karena peraturan di rumah sakit tidak mengijinkan orang luar untuk masuk ketika pasien sedang di periksa. Tak beberapa lama Narendra dibawa, Matthew dan Jeffrey datang menghampiri Jevano yang masih duduk di kursi. Ia memberikan salam kepada kedua orang tuanya. Lelaki itu menatap ke arah Matthew — Papinya yang khawatir dengan keadaan Narendra. Tiba-tiba pintu ruangan didepan mereka terbuka. Suster yang tadi membawa brankar Narendra berbaring keluar dari sana menghampiri Jevano. “Keluarga Tuan Muda Narendra?” Tanya suster mencoba meyakinkan. “Iya betul kami keluarganya. Bagaimana keadaan menantu saya?” “Apa disini ada yang namanya Harsa? Tuan Muda Narendra ingin bertemu dengan beliau.” Harsa yang berada tak jauh dari Jevano dan yang lainnya saat mendengar namanya di sebut langsung menghampiri suster. “Iya saya suster.” “Boleh ikut saya,” “Cepat kesana ikut suster dan segera laporkan kepada kami!” Jeffrey memerintah Harsa untuk mengikuti suster Barca Hospital. “Baik Baginda.” Harsa yang sudah mendapatkan ijin. Ia langsung melangkahkan kakinya mengikuti suster yang sudah berjalan terlebih dahulu darinya. Ketika dirinya sudah berada di dalam ruangan, Harsa menatap ke arah Narendra yang kini tengah menyenderkan punggungnya pada brankar dengan infus di tangannya. “Tuan Muda Na memanggil saya?” Dengan perlahan Harsa berdiri di samping Narendra. “Iya, Sa. Temenin gua. Tadi dokter bilang harus tunggu dulu hasilnya.” Narendra yang lemah tidak berdaya hanya mampu berbicara dengan pelan dan lemah lembut, tidak seperti biasanya ketika ia berbicara selalu saja ada nada tinggi yang ia layangkan. Suasana kembali hening ketika Narendra kembali memejamkan matanya karena kepalanya sedari tadi belum juga pulih. Ia bahkan sampai bingung pada saat itu juga. Lelaki manis itu bingung, kenapa keadaannya sekarang. Kepalanya selalu memutar ketika ia berusaha untuk bangun dari tidurnya. Padahal dirinya selalu menjaga tubuhnya, sering berolahraga, makan sayur dan buah. “Permisi Tuan, ini hasilnya.” Suster memberikan sebuah amplop berwarna putih kepada Narendra. Harsa dengan segera mengambil amplop tersebut dan memberikannya kepasa Tuannya yang kini sudah dengan posisi duduknya. Tak beberapa lama, Dokter datang menghampiri Narendra yang masih berbaring. Narendra yang melihat dokter datang langsung mengubah posisinya menjadi duduk.

“Selamat ya, Na. Jevano hebat sekali, usianya sudah memasuki 2 minggu.” lanjut sang Dokter sambil memamerkan senyumannya. “Maksud, Dokter?” Tanya Narendra penasaran. “Kamu hamil, Na.” Perkataan itu membuat Narendra tercenggang. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui ia sedang hamil. Kenapa bisa? Padahal lelaki manis itu seorang lelaki. Mengapa bisa hamil? “Hamil? Tapi saya laki-laki.” “Itu sudah bukan hal tabu lagi, Tuan Muda. Di dalam ilmu kedokteran dapat di sebut ectopic pregancy yang dimana lelaki pun memiliki embrio yang sama dengan seorang perempuan.” Jelas sang Dokter. Narendra masih terkejut ketika mengetahui dirinya hamil. Semuanya sungguh terasa asing. Ia hanya mengetahui jika perempuanlah yang bisa mengandung dan sekarang dirinya benar-benar hamil. “Kamu sudah bisa pulang kalau infusnya sudah habis. Kalau begitu Paman permisi dahulu.” Pamit Dokter. “Sa.. Gua hamil.” lirih Narendra memegang perutnya. Ucapannya terhenti ketika mendengar suara langkah kaki berhamburan masuk ke dalam ruangan. Matthew dan Jeffrey sudah berada disana sekarang. Mereka tersenyum ke arah Narendra. “Papi.. Hiks..” Air mata Narendra tiba-tiba keluar begitu saja ketika Matthew menatapnya. Sang Baginda yang tak lain adalah Mertuanya langsung menghampiri Narendra yang tengah menangis tersedu-sedu. Matthew merengkuh badan mungil Narendra. Di usapnya surai lembut itu berusaha menenangkan menantunya yang masih menangis. “Dahulu Papi juga tak kalah terkejutnya ketika sedang mengandung Kakaknya Jevano.” Isakan Narendra terhenti ketika mendengar ucapan mertuanya itu. Ia tidak.mampu berkata-kata lagi selain menangis. Bukan menangis karena sedih, akan tetapi menangis terkejut mengetahui dirinya bisa hamil. “Setelah ini kita pulang, jangan nangis lagi, Na.” Narendra mengangguk kepalanya tanpa membalas ucapan Matthew. Ia berfikir mungkin sudah seperti ini takdir hidupnya kini, ia harus mau menerika kenyataan. Karena dirinya yakin, anak yang ada di dalam perutnya itu akan menambahkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang melebihi apapun