Ngerjain tugas Bareng —

Bandung hari itu begitu cerah dengan menunjukkan eksistensinya. Banyak orang-orang berlalu lalang yang masih melakukan aktivitas.

Matahari di siang hari masih begitu terik menyinari setiap sudut jalanan jota dan bahkan setiap sudut ruang cafe dipinggir-pinggir jalan.

Sepasang remaja masih asyik tengah bercengkraman berbincang satu sama lain, masalahnya kedua pasang mata remaja itu masih fokus dengan kertas yang beradi atas meja dan tak luput juga tangannya menuliskan sesuatu di atas meja dengan begitu serius dan sepasang matanya tak henti-hentinya menatap ke arah Laptop di depannya.

“Jadi kita beneran jadi kambing conge!” Celetuk Harshil bercanda.

Raka menggelengkan kepalanya, “Yang bucin mah beda.”

Seorang lelaki di depannya mencoba menginjak kaki Raka namun salah sasaran. Lelaki itu malah menginjak kaki teman di sampingnya, Harshil.

“Anj*ng. Sakit Ardan!!”

Lelaki yang tak lain adalah Ardan menoleh matanya ke arah ke empat temannya tanpa ada rasa dosa, betapa sakitnya injakan kakinya yang meburut temannya sangat menyakitkan. Ardan kembali mengerjakan soal di rasa sudah selesai menatap ke arah sahabatnya.

Sudah 2 jam lebih mereka semua berkumpul di tempat tongkrongan yang tak lain adalah warung bu Ati. Ardan dan seorang perempuan yang masih menggunakan seragam putih abu tak lupa juga cardigan hitam yang tak terlalu besar, masih dengan setia mengerjakan pekerjaan tugas sekolah.

Perempuan itu membenarkan rok abu-abu panjangnya yang berantakan dengan kini posisinya menjadi miring sambil matanya menatap ke arah ke empat orang lelaki yang tengah menatapnya dengan intens. Perempuan itu tak lain adalah Kalana. Ia tersenyum ke arah empat lelaki yang menatapnya tajam.

“Hayu ah kita cabut aja!!” Ajak Raka yang bosan karena melihat Ardan dan seorang gadis masih mengerjakan tugasnya.

“DUDUK LU PADA!!”

Teriakan suara temannya itu membuat ke empat temannya yang sedari tadi sudah berdiri dan bersiap-siap untuk pergi dari tempat tongkrongan akan tetapi ketika mendengar suara perintah dari Ardan sang ketua, mereka kembali terduduk dan menatap ke arah Ardan.

“Ok gua selesai” seru perempuan yang tak lain adalah Kalana.

“Akhirnya”

Kalana menatap ke arah bangku di depannya itu. Raka, Rajendra, Harshil dan Kamal duduk saling bersampingan tanpa ada jarak yang memisahkan mereka. Ia ingin tertawa karena mendengar ocehan teman-temannya Ardan. Namun tak jadi karena Ardan kini telah menatap ke arah teman-temannya dengan tatapan sinis.

“Dan, mana trakirannya?” pinta Harshil.

“Traktiran naon (apa)?!” tanya Ardan serasa tak mengerti perkataan temannya.

Kalana menyela pembicaraan Harshil, “Gua aja yang traktir. Kalian piih mau makan apaan!”

Ketika Kalana hendak mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan dari dompet mungilnya, dengan seketika tangan kekar milik Ardan menahannya. Justru kini ia mengambil dompet perempuan itu. Matanya masih berlanjut menatap ke arah teman-temannya yang kembali kecewa karena perilaku Ardan.

“Kenapa dan. Balikin dompet gua, dan.” Kalana terkejut dan mencoba meraih dompetnya yang telah disimpan di saku celana Ardan.

“Ambil aja sendiri!” tunjuk Ardan ke saku celananya.

Tanpa rasa malu dan rasa kepercayaan yang tinggi di dalam dirinya Kalana mengambil dompet miliknya di saku samping celana Ardan. Dengan bersusah payah, tangan Kalana meraih dompet kecil miliknya.

Namun, tanpa aba-aba salah seorang teman Ardan berdiri ke samping Ardan, malah mendorong badan Ardan untuk semakin dekat dengan Kalana dengan sengaja.

“WOY ANJIR!!!” Kini posisi tangan Ardan malah jadi menyilang ke arah samping Kalana dan jarak antara keduanya begitu dekat. Mata Ardan menatap ke arah Harshil dengan tatapan tajam. Ia tak tahu jika teman-temannya itu tengah asyik mengabadikan moment didepannya.

Harshil yang tak berani menatap ke arah Ardan, dengan cepat ia melangkahkan kakinya meninggalkan warung. Ardan dengan sigap tangannya mengambil batu dan mencoba melemparkan ke arah Harshil. Namun tak berhasil. Ardan yang kesal mulai berlari mengejar temannya yang sudah melangkahkan kaki panjangnya dengan cepat.

“Ampun dan anjir kaga sengaja, Dan!!” teriak Harshil masih berlari.

Raka, Rajendra dan Kamal hanya menggelengkan kepalanya menatap ke arah Ardan dan Harshil yang seperti tom and jerry saling mengejar satu sama lain. Kalana ikut terdiam dan menatap ke arah teman-teman Ardan tak ada yang mau menolong.

“Mereka setiap hari kaya gitu?”

“Jangankan tiap hari, tiap detik mereka begitu. Sampe bosen gua,” balas Kamal santai. “Oh iya sampe lupa gua ngenalin diri, ini yang badannya putih kaya salju namanya Raka. Terus ini yang pake kacamata namanya Rajendra dia gak pinter tapi gak tau kenapa pake kacamata.” lanjut Kamal bercanda dengan menjelaskan satu persatu temannya.

“Mulai anjir. Oi Kalana salam kenal?” tanya Rajendra takut salah menyebut nama ke arah perempuan didepannya.

“Yup, salam kenal.” balas Kalana ramah.

“Terus yang tadi di kejar si Ardan itu Harshil” Raka ikut menjelaskan dan menunjukkan jari telunjuknya ke arah seorang lelaki yang masih dikejar oleh Ardan.

“Ooh..” jawab Kalana menganggukan kepalanya mengerti sambil matanya masih tertuju pada Ardan dan Harshil.

Ardan berjalan memasuki warung sambil tangannya dengan asyik menarik kemeja putih seragam sekolah temannya dan matanya dengan tatapan death glare dan orang yang di tarik kerah kemejanya tak lain adalah Harshil hanya terdiam, ia kemudian duduk mengikut perintah dari sang empu Ardan.

“Udah Ardan kasian si Harshil,” ujar Kalana mencoba meleraikan Ardan dan Harshil.

“Bukan urusan lu. Dari mana lu tau nama dia Harshil?!”

“Tau, tadi di kenalin Raka.” balas santai.

“Ooh, lu gak mau balik Kal?” Ardan seperti mengusir Kalana secara halus sambil tangannya dengan lancar mengambil minum milik Kamal. Kalana menoleh karena sedari tadi ia menatap ke arah ponsel layar sentuh miliknya.

“Jadi lu ngusir gua?”

“Jangan di ambil hati, Kal. Dia mah becanda itu.” tanggap Raka.

“Gak apa-apa, Rak. Gua udah mau balik. Bentar lagi temen gua jemput.” balas Kalana dengan nada yang sedikit marah.

Kalana membereskan semua barang miliknya, hingga tak sadar ia kembali menjatuhkan dompet miliknya. Mata semua orang tertuju kepada suara langkah kaki yang tengah menghampiri mereka semua yang masih asyik berkumpul. Lelaki itu adalah Marcus. Sahabat sekaligus sepupu jauh Kalana.

“Udah mau balik aja?” Harshil memprotes karena Kalana yang terburu-buru.

Kalana menoleh sebentar, “Iya takut dimarahin ibun. Harus pulang cepet.”

“Biarin aja sih dia pulang, lu bukan emaknya. Terserah dia mau balik atau kaga.” larang Ardan dengan ketus.

Kalana menggelengkan kepalanya dan telah menggendong tas berwarna abu miliknya. Dengan begitu cueknya ia mengajak Marcus untuk cepat pergi yang katanya tempat tongkrongan Ardan dan kawan-kawan. Karena perasaannya sudah tak suka berada disana.

“Siap, Lan?” ajak Marcus yang sudah berdiri di arah depan warung. Marcus menyunggingkan senyuman di wajahnya. Ia ikut membantu Kalana mengemas barang-barang sahabatnya.

Kalana mulai menarik tangan sahabatnya tanpa mau menoleh ke arah Ardan dan teman-temannya.

“Itu Marcus? Kok gua kaya gak asing sama dia,” tunjuk Raka ke arah Marcus.

Ardan mengangkat bahunya dan kembali membuka ponsel miliknya untuk bermain game yang sempat tertunda karena kehadiran Kalana yang memintanya untuk mengerjakan tugas kelompok bersama dirinya. Ia tak peduli dengan Kalana bahkan ia tak mau tahu siapa itu Marcus ataupun siapa yang jadi temannya Kalana.