Setelah acara penikahan
Langit kala malam itu begitu gelap gulita. Bintang yang biasanya kerlap kerlip tidak menampakkan keberadaannya di sana. Sama akan hal nya suasana di lokasi pernikahan yang terlihat begitu sederhana namun menawan untuk dipandang. Lampu-lampu bergantungan menyinari seluruh penjuru taman malam itu.
Lokasi di mana yang sejak sore hari menjadi tempat pasangan mengikat janji suci. Para pelayan berpakaian hitam putih berlalu lalang membereskan semua peralatan yang ada di sana satu per satu.
Seorang perempuan yang masih menggenakan gaun pengantin menelisik ke seluruh penjuru ruangan, dengan menghembuskan nafasnya lega. Semua para tamu mulai terlihat sepi dari atensinya. Bagi dirinya hari ini adalah hari yang paling melelahkan.
Dari mulai harus memikirkan masalah pacarnya yang tidak hadir di hari pernikahannya, lalu di kejutkan dengan sosok kakak sang pacar yang menggantikan sang pacar. Dirinya tak tahu lagi akan ada masalah apalagi kedepannya nanti. Yang jelas dirinya hanya ingin pulang saat ini juga.
Sejurus kemudian, Ginela sudah berganti pakaian dengan pakaian kasulnya berjalan menyusuri lokasi untuk mencari kedua orang tuanya tak terlihat sama sekali batang hidungnya. Hingga sampailah dirinya di sudut taman itu terlihat Ibunda, Ayah dan Kakaknya tengah bercengkraman tertawa bahagia.
“Rupanya kalian di sini.” Januar menoleh ke arah sumber suara, ia tersenyum lalu mengalihkan pandangan pada sang adik yang kini sudah berganti pakaian namun make up masih menghiasi wajahnya. Meski hanya cahaya lampu yang menyinari wajahnya tetapi, kesan cantik tak terlepas dari sana.
“Ada pengantin baru datang, mukanya ditekuk begitu. Bahagia dong harusnya,” Ginela mengaduh sebal menatap Januar yang terus meledeki dirinya. Tangannya bersiap-siap akan memukul lengan sang kakak namun dengan segera Pria itu menahan tangan adiknya agar tidak kena pada lengannya.
“Kak, sakit ih lepasin..” ringis Ginela.
“Ya lagian lu sok-sokan mau pukul tangan gua.”
“Januar lepasin!”
Akhirnya David meneriaki kedua anaknya yang seperti Tom and Jerry, sangat senang berkelahi. Tangan Januar terlepas mencengkram tangan Ginela. Begitu juga anak perempuan itu kemudian berlalu memeluk Aira yang sedang duduk di kursi kayu panjang berwarna coklat.
“Ibun, aku pulang sama ibun aja ya,” rengek Ginela manja.
“Kamu ini gimana, sekarang kamu udah nikah.”
Ginela menghela nafas, “Tapi bukan sama Kakaknya.” Lalu memeluk badan Aira. “Ghazi sayang nggak sih sama aku, bun. Kenapa dia nggak datang ke nikahan dia dan sekarang aku malah jadi istri kakaknya.” Lanjut Ginela dengan mata yang sudah memerah.
Hati perempuan itu masih saja memikirkan sang kekasih. Hubungan mereka tidak bisa dikatakan sebentar, lima tahun sangatlah cukup lama bagi hubungan percintaan antara perempuan pada umumnya.
Kemudian, dengan penuh kasih sayang Aira mengusap rambut anaknya perlahan. Ia mencoba menangkup wajah sang anak yang bersembunyi di balik bahu sang bunda.
“Anak ku dengar. Ibun sudah bilang sama kamu. Allah sudah menakdirkan jalan ini semua tanpa alasan. Ibun yakin jika suatu saat nanti kamu akan mengerti kenapa yang ada di pelaminan itu bukan Ghazi tapi Kakaknya, Arseno. Hmm? Ibun yakin kamu pasti paham,” Ginela tertegun masih menyimak Ibundanya.
“Kamu sudah dewasa sayang. Ibun yakin, pasti sudah tahu apakah ini jalan yang terbaik atau bukan. Karena Allah tidak akan memberikan jalan yang buruk.”
“Udah gua bilang tadi di imess. Lu pasti bisa jalanin ini.” Januar ikut menanggapi. Ginela menghembuskan nafasnya berat, “Aku percaya sama itu semua tapi kena—–,”
“Ginela ayo sayang kita pulang!”
Belum juga melanjutkan perkataannya. Yunita — Ibu mertua Ginela menghampiri anak menantunya yang tengah bersantai di taman. Matanya menyipit menatap ke arah Yunita yang terhalangi cahaya lampu yang menghalangi penglihatannya.
“Udah sana pulang, dek.” Usir Januar.
“Januar!”
“Maaf ya Mama Yunita, Januar dan Ginela memang selalu begini.” Aira meminta maaf pada Yunita yang tersenyum santai atas tingkah kakak beradik itu.
“Tidak apa-apa. Bertengkar itu tandanya mereka saling sayang.” Tanggapnya santai.
“Mulia sekali Mama Yunita.” Yunita hanya tersenyum ketika mendengar perkataan yang di lontarkan oleh Ibun Aira.
“Sepertinya kita juga harus pulang karena hari semakin malam. Kita harus segera istirahat.”
Ginela berdiri lalu melangkahkan kakinya mengikuti kedua orang tua dan Yunita berjalan menuju ruang depan untuk berpisah antara satu sama lainnya. Setelah sampai di tempat tujuan, Tiffany membalikkan badannya menghadap anaknya.
“Ya sudah kalau begitu, Ibun, ayah dan Kak Janu pulang duluan. Kamu sehat-sehat ya sayang.” Di rengkuhnya badan Ginela dengan penuh kasih sayang, lalu tak lupa juga mencium seluruh wajah sang anak. Setelah itu, dilepasnya rengkuhan pelukan dari badan sang anak berlanjut pada Januar yang berada di belakang Tiffany.
“Jaga diri baik-baik adik gua paling nyebelin,” Lanjut Januar sarkas mengacak rambut sang adik.
“Gua udah dewasa jadi bisa jaga diri. Dan gua titip ayah sama Ibun ya, Kak!”
“Hmm.. Pasti, ya udah kita pulang dulu, Nel.”
Ginela menyalami tangan kedua orang tuanya tak lupa juga kakaknya. Dan ternyata di sana terlihat Arseno yang juga berada di sana ikut menyalami mertuanya dengan begitu sopan. Entah sejak kapan lelaki itu ada di sana, membuat Ginela tidak peduli akan hal itu.
Senyuman Arseno tak pernah terlepas dari wajah tampannya, manik matanya terus menatap Ibu mertua, ayah mertua dan kakak iparnya secara bergantian.
“Tampan sekali nak Arseno,”
“Terima kasih, Tant—–.”
“Sekarang kamu sudah jadi anak Ibun. Jadi jangan sungkan untuk panggil Ibun,” pinta Aira haru.
“Baik Ibun.”
“Ibun nitip Ginela sama kamu. Anak itu diluarnya terlihat kuat. Tapi aslinya lemah.” pinta Aira menitipkan sang anak kepada suami pengganti bagi anaknya.
“Baik Ibun, saya pastikan akan baik-baik saja bersama saya.” Jawab Arseno sopan. Suasana di sana berubah menjadi haru ketika Ginela menangis merengkuh badan wanita paruh baya di depannya. Ia berharap semua ini tidak terjadi pada dirinya namun apalah daya, semuanya sudah terjadi. Perempuan itu harus menjalani semuanya. Berani mengambil resiko berarti berani juga bertanggung jawab.
“Sudah sayang, Ayo kita pulang!” David mengelus punggung anaknya berusaha untuk menenangkan anaknya yang masih terisak di dalam pelukan sang istri.
Ginela mulai melepaskan dirinya dari pelukan sang Ibunda, lalu menatap ke arah orang tua dan kakaknya yang segera memasuki mobil.
“Mari semuanya.”
“Hati-hati, Ibun.”
Ginela menatap ke arah mobil yang membawa kedua orang tua nya sudah tidak menampakkan dari pandangannya. Kini ia membalikkan dirinya berjalan mengikuti langkah Yunita, Harish dan Arseno yang berjalan menuju mobil jeep hitam milik keluarga Abiputra.
Perempuan itu mungkin sudah harus siap untuk memulai hari baru. Memulai untuk menerima semua masalah-masalah kedepannya. Memulai semuanya dari awal hidup bersama dengan seseorang yang bukan menjadi impiannya. Namun, tetap hidup harus dilalui bukan?
•••••