Tahun Baruan Bareng
Malam hari pada saat ini begitu cerah, kerlap kerlip bintang terlihat di mana-mana sehingga meninggalkan kesan yang sangat indah bagi siapapun yang melihatnya. Suara langkah kaki memasuki rumah yang tak begitu besar menuju taman belakang sebuah rumah.
Terdapat satu orang pria yang tengah asyik membakar daging, jagung dan bahan makanan lainnya dan ada juga yang masih sibuk menata meja kayu disana. Begitu juga Kalana yang masih asyik ikut merapihkan piring-piring.
“Teh kalau piringnya udah di tata, teteh yang nyambut Ardan sama tetehnya.” Ujar Airin pada Kalana.
“Iya ibun,”
Namun suara langkah kaki terdengar begitu jelas memasuki halamana belakang rumah. Pemilik langkah kaki itu adalah Ardan dengan penampilan wajah tampannya, tak lupa juga jaket bomber coklat yang terlihat mahal menyelimuti tubuhnya. Di belakangnya ia diikutin oleh Adena — tetehnya yang di undang oleh Kalana dan keluarganya untuk merayakan malam tahun baru bersama.
“Permisi.” Ucap Adena menghampiri Airin yang telah selesai merapihkan makanan.
“Wah ini tetehnya Ardan?” Tanya Airin penasaran.
“Iya Ibun,”
“Ayo ibu duduk aja,”
“Kok ibu. Panggil teteh aja, umur aku gak tua-tua banget kali.” Sanggah Adena yang tak terima karena Kalana memanggilnya dengan sebutan Ibu. Padahal penampilan Adena pada malam ini begitu cantik dengan pakaian berwarna cream terang dan celana kain cream terlihat begitu cantik bagi siapa saja yang melihat dirinya.
Semua yang ada disana tertawa sebelum pada akhir kembali melakukan aktivitasnya masing-masing. Ardan berjalan meninggalkan Adena menghampiri Kalana yang kini tengah memasang lampu-lampu kecil yang menggantung di atas meja.
“Perlu gua bantu?”
“Kalau mau bantu ya bantu, gak usah lu ngomong begitu.” Kalana menatap Ardan yang kini tengah membantu dirinya memasang lampu-lampu. Begitu juga dengan Ardan yang ikut menatap ke arah Kalana yang masih mengomel.
Setelah selesai, Kalana langsung berjalan menghampiri Fauzan — ayahnya yang masih membakar cumi yang sudah di tusuk dengan tusukan sate. Ardan berjalan mengikuti Kalana, ia mengambil piring yang ada di tangan Kalana.
“Biar gua aja, lu cari kerjaan lain.”
“Gak usah sok perhatian,”
“Suka-suka saya,” Kalana menggelengkan kepalanya meninggalkan Ardan yang kini sedang membantu Fauzan yang masih membakar beberapa bahan makanan yang akan di makan nanti.
Semua orang sudah berkumpul di meja makan. Adena, Kalana, Davina, Airin dan Fauzan yang sedang asyik menikmati hidangan. Namun berbeda dengan Ardan yang masih asyik membakar jagung yang ia mulai simpan di piring putih tak jauh dari tempat pembakaran.
“Ardan ayo makan!” Panggil Airin menatap ke arah Ardan.
“Ayo, Dan. Udah dulu,” Panggil Adena juga.
Ardan yang dipanggil mulai berjalan sambil membawa dua buah piring yang berisi jagung. Ia simpan piring itu di atas meja yang masih kosong. Kini dirinya sudah duduk di samping Kalana duduk.
“Duh bucin mah maunya duduk berdua terus,”
Kalana melototkan matanya pada Davina. Sang empu yang di sindir hanya diam menatap ke arah Kalana yang tengah menyiapkan daging yang telah di bumbui di atas piringnya.
“Gua minta jagung, Kal.”
“Ambil sendiri, Ardan!” Adena menberikan jagung pada Ardan yang kini menunjukan wajahnya yang nyengir.
“Jadi nak Adena ini kepala sekolah di sekolahan Ardan dan Kalana?” Tanya Fauzan mencoba membuka obrolan.
“Betul sekali, Om. Selain itu saya juga memantau Ardan yang kerjaannya bolos sekolah.” Jelas Adena menatap ke arah Ardan yang mendelik sebal pada kakaknya.
Ardan menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya tak mau menjawab perkataan Adena. Karena ia tahu jika perkataan kakaknya itu hanya candaan saja. Ia tak pernah membawanya ke dalam ranah yang serius.
Mereka semua yang ada disana masih asyik memakan hidangan yang ada di meja. Berbeda dengan Kalana dan Ardan yang kini sudah duduk menjauh dari orang-orang. Mereka berdua kini tengah asyik bermain kartu uno, wajahnya satu sama lain penuh dengan bedak tak tersisa sama sekali.
“Licik lu mah,”
“Apaan lu kalah juga,”
Kalana memajukan wajahnya sambil mendekatkan ke arah wajahnya ke arah Ardan, “Jangan kena mata!” Kalana memejamkan matanya.
Ardan mengoleskan bedak pada pipi Kalana. Ia tersenyum ketika melihat wajah perempuan didepannya sudah penuh dengan bubuk putih hampir seluruh wajahnya.
“Kal gua bosen.” Ardan menyimpan kartu yang sudah ia rapihkan di atas meja.
“Terus?” Tanya Kalana sambil mengusap wajahnya.
Ardan menghela nafas sambil menarik tangan Kalana dari kursi disana. Kalana yang terkejut melihat tangannya di genggam oleh lelaki didepannya.
Kalana mulai berjalan mengikuti Ardan melangkahkan kakinya ke arah garasi rumah Kalana. Namun, tertahan oleh panggilan suara Airin.
“Kalana mau kemana?” Teriak Airin bertanya pada Kalana.
“Pinjem dulu Kalananya, ibun.” Ardan menjawab pertanyaan Airin sebelum Kalana yang berbicara. Adena menghampiri Ardan, “Gih sana pergi berduaan. Gua tau lu mau berduaan kan.” Adena terkekeh sambil menepuk bahu adiknya.
“Ardan mau kemana sih? Udah disini aja.”
“Udah sana,”
Ardan yang mengerti kembali menarik tangan Kalana tanpa menghiraukan Kalana yang masih mengumpat akibat tarikan tangan Ardan yang tak ingin dilepaskan sama sekali hingga sampai naik mobil tak mau dilepaskan sama sekali.
“Gua susah mau naik mobilnya. Lepasin,”
Ardan melepaskan genggaman tangannya dan mulai membuka pintu mobil untuk Kalana. Setelah Kalana duduk santai di kursi samping kemudi. Dengan cepet ia berlari kecil ke arah kemudi sambil menaiki mobil dan bersiap untuk berangkat.
“Pakai sabuk pengamannya, kita berangkat.”
Kalana yang mengerti langsung memakai safety belt dengan Ardan yang langsung menjalankan mobil meninggalkan halaman rumah Kalana yang entah akan pergi kemana.