Waktu pada malam hari ini menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Semua orang sudah berkumpul di bangku taman termasuk Jevano, Matthew, Jeffrey, Kamal dan juga para asisten pribadi mereka ikut berkumpul bersama disana.

Narendra tersenyum kepada mereka semua yang sudah berkumpul bersama. Entah kenapa hatinya terenyuh ketika melihat keluarga Istana. Ia begitu bahagia. Dan berharap kebersamaan ini akan berlangsung lebih lama lagi.

Matthew datang menghampiri Narendra yang masih asyik memanggang daging. Ia tersenyum menatap ke arah menantunya yang begitu lihay dalam memasak, tidak salah pilih pikirnya.

“Papi duduk saja. Biar Narendra yang siapin ini semua.” ujar Narendra yang sibuk menata daging pada piring di tangannya.

“Iya, Na. Sepertinya enak,” balas Matthew sambil mengikuti arah piring yang dibawa Narendra.

Darren yang sudah berada disana sedari tadi hanya menggelengkan kepalanya menatap ke arah Papinya seperti tidak pernah melihat daging sedikit pun.

“No bantuin suamimu!” Perintah Jeffrey pada Jevano yang nyaman dengan posisi duduknya.

Dengan berat hati Jevano berdiri, berjalan menghampiri Narendra yang masih belum menyelesaikan aktivitas memanggangnya. Ia menatap punggung suaminya itu yang tak gagah seperti dirinya. Entah apa yang ada di pikiran Jevano. Seperti tersihir ingin memeluk badan lelaki itu, namun semua terhalang oleh gengsi yang mengatakan ia masih menyukai seorang perempuan.

Narendra sudah menyelesaikan masakannya mulai berbalik arah dari posisinya. Akan tetapi begitu terkejutnya ia yang kini mendapati Jevano yang berdiri di belakangnya.

“Ngapain lu matung disitu? Ayo makan,”

“Iya.”

Dengan telaten dan perlahan Narendra menyajikan daging dan muai memotong hingga beberapa bagian. Kemudian ia mulai tata di atas piring dan tak lupa lelaki itu memberikannya kepada Matthew dan Jeffrey.

“Silahkan dimakan Papa, Papi.” Narendra tersenyum. Dirinya duduk di bangku samping Jevano duduk. Dia tak bisa memilah kursi lain karena yang kosong hanyalah disitu.

“Uhm, Kak Nana kalau bikin makanan selalu enak.” Puji Kamal dengan mulut yang mulai terisi penuh dengan makanan.

Narendra tersenyum tipis sebagai tanda jawaban atas pujian Kamal. Lelaki itu ikut asyik memakan daging yang sudah ia buat sendiri hingga terasa begitu kenyang.

Begitu juga Jevano yang asyik ikut makan daging dengan lahap tidak mau melewatkan satu titik pun daging karena menurutnya hidangan liburan hari ini sangat lezat melebihi dari masakan Chef di Istana.

“Nana belajar masak, kah?” Tanya Matthew yang telah menyelesaikan menyantap daging.

Narendra menggelengkan kepalanya, “Tidak Papi. Nana memasak sesuai insting saja.”

“Baginda Raja dan Ratu harus tahu. Kak Nana ini setiap harinya selalu masak, cari uang untuk bayar hutang papa dan mama. Bahkan biayain sekolah Kamal.” Jelas Kamal dengan polos.

“Kak Nana selalu baik dan nggak pernah ngeluh dalam hal apapun. Dari kecil kakak udah ngalamin beban yang berat,” Lanjut Kamal menatap Narendra.

“Udah, dek. Jangan berlebihan.” Lerai Narendra sambil mengusap surai Kamal.

“Tapi Kakak harus bahagia disini. Sudah cukup mama sama papa bikin kakak menderita. Dan sekarang biar aku yang nanggung semuanya.” Balas Kamal tidak mau tahu jika kakak kesayangannya itu harus bahagia.

“Saya dengar kamu sedari kecil di adopsi dari panti asuhan?” Tanya Jeffrey.

“Betul Baginda Raja.”

“Kak Nana di adopsi Mama sama Papa biar aku hadir di dunia. Dan setelah aku hadir mereka malah mengabaikan Kak Nana.” ujar Kamal ikut menyela pembicaraan Jeffrey dan Narendra.

Jeffrey berlanjut mendengarkan perkataan Kamal. Lelaki itu penasaran apa yang selanjutnya akan dikatakannya?

“Kenapa kamu tahu semua itu?” Matthew ikut bertanya pada Kamal.

Kamal menghela nafasnya, “Kamal sudah menyadari semenjak umur 10 tahun. Karena dahulu tidak mengerti apa-apa, jadinya hanya mampu terdiam di dalam kamar,” Kamal memegang bahu Narendra yang ada di sampingnya, “Kamal nggak bisa apa-apa waktu Kak Nana di pukulin sama Papa. Makanya aku pengen lihat Kak Nana bahagia disini.” Lanjut Kamal menintihkan air matanya.

Jevano yang sedari tadi menyaksikan tidak menyadari jika air mata sudah mengalir deras dari matanya. Hatinya seperti terkikis ketika menatap ke arah mata Narendra yang selalu tersenyum, padahal ia yakin jika suaminya itu sudah menanggung banyak beban disana.

“Kak Nana disini harus bahagia. Bukannya kakak mau cari orang tua kandung kakak kan?” Seru Kamal sambil memeluk badan Narendra tanpa merasa malu di depan Baginda Raja dan Ratu.

Matthew yang ikut menangis mulai mengusap air matanya dan menatap ke arah Narendra, “Orang tua kamu masih ada Na?”

Narendra menghela nafas kemudian menatap ke arah Matthew, “Maaf Baginda Ratu harus mendengar kisah sedih saya. Yang diucapkan Kamal betul, saya tidak tahu siapa orang tua kandung saya.” Narendra masih menatap Matthew, “Sebelum meninggal, ibu panti hanya bilang jika saya masih memiliki orang tua dan beliau pun memberikan wasiat tentang perjodohan ini dan kalung. Tapi saya tidak tahu percis siapa orang tua saya.” Lanjut Narendra yang ikut meneteskan airmatanya.

“Kamu punya foto kedua orang tua kandungmu, Na?” Tanya Darren.

“Ada, Kak. Saya ambil dahulu.”

“Sudah nanti saja, sekarang kita sudahi acara menangisnya. Ayo kita kembali bersenang-senang. Bagaimana jika kita bermain saja?” Tanya Jeffrey sambil mengembalikan suasana yang awalnya banyak haru dan kembali membuat suasana menjadi ceria.

Semua orang yang ada disana menganggukan kepalanya dan ikut mengusap air matanya. Begitu juga Jevano, akan tetapi lelaki itu masih menatap ke arah Narendra yang sudah tersenyum bahagia. Hatinya begitu tersentuh ketika mendengar cerita sedih yang di alami suaminya.

Jevano tertegun dan diam sejenak ketika mendengar cerita, berbagai pertanyaan muncul di dalam otaknya. Apa sudah seharusnya ia memberikan kebahagiaan kepada Narendra? Apa ia sudah harus berhenti dengan gengsinya yang mengatakan ia masih menyukai seorang perempuan?

Semua pertanyaan itu berkecamuk di dalam otak Jevano. Mungkin saat ini ia masih harus berfikir apakah itu semua benar adanya. Atau hanya karangan Kamal dan Narendra saja agar di kasihani oleh keluarga Istana. Ia tak tahu itu dan harus mencari tahu.

Iya, Jevano harus mencari tahu lebih dalam lagi. Agar ia bisa menyakinkan dirinya jika suaminya itu layak untuk dia lindungi.

•••••