staillry

Ngerjain tugas Bareng —

Bandung hari itu begitu cerah dengan menunjukkan eksistensinya. Banyak orang-orang berlalu lalang yang masih melakukan aktivitas.

Matahari di siang hari masih begitu terik menyinari setiap sudut jalanan jota dan bahkan setiap sudut ruang cafe dipinggir-pinggir jalan.

Sepasang remaja masih asyik tengah bercengkraman berbincang satu sama lain, masalahnya kedua pasang mata remaja itu masih fokus dengan kertas yang beradi atas meja dan tak luput juga tangannya menuliskan sesuatu di atas meja dengan begitu serius dan sepasang matanya tak henti-hentinya menatap ke arah Laptop di depannya.

“Jadi kita beneran jadi kambing conge!” Celetuk Harshil bercanda.

Raka menggelengkan kepalanya, “Yang bucin mah beda.”

Seorang lelaki di depannya mencoba menginjak kaki Raka namun salah sasaran. Lelaki itu malah menginjak kaki teman di sampingnya, Harshil.

“Anj*ng. Sakit Ardan!!”

Lelaki yang tak lain adalah Ardan menoleh matanya ke arah ke empat temannya tanpa ada rasa dosa, betapa sakitnya injakan kakinya yang meburut temannya sangat menyakitkan. Ardan kembali mengerjakan soal di rasa sudah selesai menatap ke arah sahabatnya.

Sudah 2 jam lebih mereka semua berkumpul di tempat tongkrongan yang tak lain adalah warung bu Ati. Ardan dan seorang perempuan yang masih menggunakan seragam putih abu tak lupa juga cardigan hitam yang tak terlalu besar, masih dengan setia mengerjakan pekerjaan tugas sekolah.

Perempuan itu membenarkan rok abu-abu panjangnya yang berantakan dengan kini posisinya menjadi miring sambil matanya menatap ke arah ke empat orang lelaki yang tengah menatapnya dengan intens. Perempuan itu tak lain adalah Kalana. Ia tersenyum ke arah empat lelaki yang menatapnya tajam.

“Hayu ah kita cabut aja!!” Ajak Raka yang bosan karena melihat Ardan dan seorang gadis masih mengerjakan tugasnya.

“DUDUK LU PADA!!”

Teriakan suara temannya itu membuat ke empat temannya yang sedari tadi sudah berdiri dan bersiap-siap untuk pergi dari tempat tongkrongan akan tetapi ketika mendengar suara perintah dari Ardan sang ketua, mereka kembali terduduk dan menatap ke arah Ardan.

“Ok gua selesai” seru perempuan yang tak lain adalah Kalana.

“Akhirnya”

Kalana menatap ke arah bangku di depannya itu. Raka, Rajendra, Harshil dan Kamal duduk saling bersampingan tanpa ada jarak yang memisahkan mereka. Ia ingin tertawa karena mendengar ocehan teman-temannya Ardan. Namun tak jadi karena Ardan kini telah menatap ke arah teman-temannya dengan tatapan sinis.

“Dan, mana trakirannya?” pinta Harshil.

“Traktiran naon (apa)?!” tanya Ardan serasa tak mengerti perkataan temannya.

Kalana menyela pembicaraan Harshil, “Gua aja yang traktir. Kalian piih mau makan apaan!”

Ketika Kalana hendak mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan dari dompet mungilnya, dengan seketika tangan kekar milik Ardan menahannya. Justru kini ia mengambil dompet perempuan itu. Matanya masih berlanjut menatap ke arah teman-temannya yang kembali kecewa karena perilaku Ardan.

“Kenapa dan. Balikin dompet gua, dan.” Kalana terkejut dan mencoba meraih dompetnya yang telah disimpan di saku celana Ardan.

“Ambil aja sendiri!” tunjuk Ardan ke saku celananya.

Tanpa rasa malu dan rasa kepercayaan yang tinggi di dalam dirinya Kalana mengambil dompet miliknya di saku samping celana Ardan. Dengan bersusah payah, tangan Kalana meraih dompet kecil miliknya.

Namun, tanpa aba-aba salah seorang teman Ardan berdiri ke samping Ardan, malah mendorong badan Ardan untuk semakin dekat dengan Kalana dengan sengaja.

“WOY ANJIR!!!” Kini posisi tangan Ardan malah jadi menyilang ke arah samping Kalana dan jarak antara keduanya begitu dekat. Mata Ardan menatap ke arah Harshil dengan tatapan tajam. Ia tak tahu jika teman-temannya itu tengah asyik mengabadikan moment didepannya.

Harshil yang tak berani menatap ke arah Ardan, dengan cepat ia melangkahkan kakinya meninggalkan warung. Ardan dengan sigap tangannya mengambil batu dan mencoba melemparkan ke arah Harshil. Namun tak berhasil. Ardan yang kesal mulai berlari mengejar temannya yang sudah melangkahkan kaki panjangnya dengan cepat.

“Ampun dan anjir kaga sengaja, Dan!!” teriak Harshil masih berlari.

Raka, Rajendra dan Kamal hanya menggelengkan kepalanya menatap ke arah Ardan dan Harshil yang seperti tom and jerry saling mengejar satu sama lain. Kalana ikut terdiam dan menatap ke arah teman-teman Ardan tak ada yang mau menolong.

“Mereka setiap hari kaya gitu?”

“Jangankan tiap hari, tiap detik mereka begitu. Sampe bosen gua,” balas Kamal santai. “Oh iya sampe lupa gua ngenalin diri, ini yang badannya putih kaya salju namanya Raka. Terus ini yang pake kacamata namanya Rajendra dia gak pinter tapi gak tau kenapa pake kacamata.” lanjut Kamal bercanda dengan menjelaskan satu persatu temannya.

“Mulai anjir. Oi Kalana salam kenal?” tanya Rajendra takut salah menyebut nama ke arah perempuan didepannya.

“Yup, salam kenal.” balas Kalana ramah.

“Terus yang tadi di kejar si Ardan itu Harshil” Raka ikut menjelaskan dan menunjukkan jari telunjuknya ke arah seorang lelaki yang masih dikejar oleh Ardan.

“Ooh..” jawab Kalana menganggukan kepalanya mengerti sambil matanya masih tertuju pada Ardan dan Harshil.

Ardan berjalan memasuki warung sambil tangannya dengan asyik menarik kemeja putih seragam sekolah temannya dan matanya dengan tatapan death glare dan orang yang di tarik kerah kemejanya tak lain adalah Harshil hanya terdiam, ia kemudian duduk mengikut perintah dari sang empu Ardan.

“Udah Ardan kasian si Harshil,” ujar Kalana mencoba meleraikan Ardan dan Harshil.

“Bukan urusan lu. Dari mana lu tau nama dia Harshil?!”

“Tau, tadi di kenalin Raka.” balas santai.

“Ooh, lu gak mau balik Kal?” Ardan seperti mengusir Kalana secara halus sambil tangannya dengan lancar mengambil minum milik Kamal. Kalana menoleh karena sedari tadi ia menatap ke arah ponsel layar sentuh miliknya.

“Jadi lu ngusir gua?”

“Jangan di ambil hati, Kal. Dia mah becanda itu.” tanggap Raka.

“Gak apa-apa, Rak. Gua udah mau balik. Bentar lagi temen gua jemput.” balas Kalana dengan nada yang sedikit marah.

Kalana membereskan semua barang miliknya, hingga tak sadar ia kembali menjatuhkan dompet miliknya. Mata semua orang tertuju kepada suara langkah kaki yang tengah menghampiri mereka semua yang masih asyik berkumpul. Lelaki itu adalah Marcus. Sahabat sekaligus sepupu jauh Kalana.

“Udah mau balik aja?” Harshil memprotes karena Kalana yang terburu-buru.

Kalana menoleh sebentar, “Iya takut dimarahin ibun. Harus pulang cepet.”

“Biarin aja sih dia pulang, lu bukan emaknya. Terserah dia mau balik atau kaga.” larang Ardan dengan ketus.

Kalana menggelengkan kepalanya dan telah menggendong tas berwarna abu miliknya. Dengan begitu cueknya ia mengajak Marcus untuk cepat pergi yang katanya tempat tongkrongan Ardan dan kawan-kawan. Karena perasaannya sudah tak suka berada disana.

“Siap, Lan?” ajak Marcus yang sudah berdiri di arah depan warung. Marcus menyunggingkan senyuman di wajahnya. Ia ikut membantu Kalana mengemas barang-barang sahabatnya.

Kalana mulai menarik tangan sahabatnya tanpa mau menoleh ke arah Ardan dan teman-temannya.

“Itu Marcus? Kok gua kaya gak asing sama dia,” tunjuk Raka ke arah Marcus.

Ardan mengangkat bahunya dan kembali membuka ponsel miliknya untuk bermain game yang sempat tertunda karena kehadiran Kalana yang memintanya untuk mengerjakan tugas kelompok bersama dirinya. Ia tak peduli dengan Kalana bahkan ia tak mau tahu siapa itu Marcus ataupun siapa yang jadi temannya Kalana.

  1. Awal Pertemuan dengan Gaffi dan Elvano

Jafin dan Ardan kini tengah duduk di sebuah cafe dekat dengan sebuah gedung pencangkar langit yang bertuliskan 'Abiputra Company' yang tak lain milik ayah mereka sendiri. Mereka tengah menunggu seseorang untuk datang bertemu di cafe. Jafin terus menerus menilik ke arah jam di tangannya dan meminum smothies miliknya yang sudah menghabis 2 gelas. Jafin menangkupkan dagunya ke atas meja yang sedikit berantakan. Terlihat jelas wajahnya yang kusut dan kesal karena menunggu kedatangan sahabat dari ayahnya.

“Lu tuh haus apa gimana sih dek” ujar Ardan memprotes.

“Om Gaffi lama. Janjinya jam 10. Ini udah jam 12”

“Lu kenal om Gaffi dari mana dan kapan?”

“Aa pasti lupa. Kemaren kan kita main bareng sama dia waktu dia ke rumah” seru Jafin sambil menatap ke arah kakak keduanya.

“Oh lupa gua. Maklum otak gua isinya skripsi”

“Sombong amat mentang-mentang tinggal skripsi doang”

Tak selang beberapa lama pria berjas datang memasuki cafe dengan gaya cool dan tampan namun tidak menggunakan pakaian formal tak seperti Kavin ayah dari Ardan dan Jafin yang terlalu formal dan canggung. Ia menghampiri Jafin dan Ardan yang tengah melayangkan tatapan sinis ke arah Gaffi.

“Jafin, Ardan. What's up bro” ujar Gaffi ramah namun tetap cool pada kedua lelaki didepannya.

“Lama bener bapak-bapak satu ini” protes Jafin pada Gaffi.

Gaffi duduk di kursi samping Jafin duduk dan diikuti oleh seorang pria berjas ikut duduk menarik kursi di belakangnya untuk duduk di samping Gaffi.

“Sorry kita lama. Biasalah pembisnis sibuk” jawab Gaffi.

“Hoekks so sibuk sekali om. Bentar kaya asing deh, ini siapa Om?” tanya Jafin pada pria di samping Gaffi.

“Saya Elvano Fauzan sahabatnya Gaffi dan Kavin juga” jawab Elvano santai memperkenalkan dirinya pada Jafin dan Ardan.

“Hai om gua Jafin dan ini Aa Ardan” Jafin ikut memperkenalkan dirinya dan mencoba mengakrabkan diri dengan pria yang baru ia temui hari ini.

“Hai Ardan, kayanya kita baru ketemu sekarang ya” ujar Gaffi yang pandangannya menuju pelayan cafe untuk meminta menu.

“Iya om baru ketemu kita. Maklum gua jga sibuk,” Ardan menatap ke arah kedua pria di depannya dengan tangannya tak berhenti memainkan ponsel.

Kini mereka berempat tengah berdiskusi. Jafin, Ardan dan kedua pria di depannya begitu serius dengan pembicaraan soal perjodohan. Jafin menyenderkan punggungnya pada kursi cafe dengan wajah memelas menatap ke arah Gaffi dan Elvano dan tak lupa menghelakan nafasnya.

“Kenapa kamu fin?” tanya Elvano menatap mata prustasi Jafin.

Jafin menatap ke arah Elvano malas, “Pusing saya om. Ayah cuek bener sama cewek”

“Begitu lah sifat ayah kalian” Gaffi ikut menyambar pada jawaban Jafin.

“Kita juga ingin ayah bahagia om”

“Iya om tau dan, tapi gimana lagi.” Gaffi menggedikkan bahunya dan menatap ke arah Jafin dan Ardan, “Om juga udah sering jodohin dia sama cewek dari kalangan bisnis. Tapi tetep ayah kalian itu cuek”

“Tapi kayanya, untuk sekarang ayah bakal nurut sama kita”

“Kok bisa?” tanya Gaffi penasaran.

Ardan ikut mengangguk, “Karena ayah udah janji bakal nurutin semua kemauan kita”

“Hmm.. Lalu kalian udah punya kandidatnya siapa?” tanya Elvano ikut membuka obrolan.

“Udah om. Dek tunjukin fotonya!” perintah Ardan pada Jafin.

Jafin terdiam sejenak, tangannya langsung menyambar ponsel miliknya yang terletak di atas meja cafe. Jari tangannya dengan cekatan membuka gallery di ponselnya. Ponsel layar sentuh miliknya kini sudah memperlihatkan foto Anindira yang tengah tersenyum, ia menerangkan layar ponselnya dan kembali meletakkan ponsel miliknya di tengah meja agar semua orang yang berada di situ dapat melihat photo tersebut.

Elvano sangat terkejut ketika melihat foto Anindira yang tak lain adalah adiknya ada di ponsel anak dari sahabatnya. Gaffi pun ikut terkejut melihat foto itu, Ia mengambil ponselnya dan mulai mendekatkannya dari jarak dekat, lalu ia memberikan ponselnya pada Elvano.

“Dia kan adiknya Elvano”

“HAH!! Serius om?” seru Jafin dan Ardan bersamaan yang terkejut.

“Ia dia adik saya. Kalian ketemu Anindira dimana?” tanya Elvano.

“Panjang ceritanya om. Intinya Aa dan Jafin kenal sama adik om sekarang” ujar Ardan sambil tersenyum.

“Aa asalnya jutek banget sama kak Dira. Tapi sekarang mah suka”

“Asyik di ajak ngobrol orangnya Bikin nyaman, makanya gua suka” ujar Ardan ikut menanggapi pernyataan Jafin.

“Jadi kalian serius mau jodohin ayah kalian sama Anindira?” Gaffi kembali bertanya pada Ardan dan Jafin dengan kepastian soal perjodohan sahabatnya dengan adik sahabatnya.

“Iya om kita serius. Om setuju kan?”

Elvano mengangguk, “Saya setuju jika Anindira dengan Kavin”

“Iya betul, saya ikut setuju” Gaffi ikut menanggapi.

“Om ada cara gak biar mereka bisa deket?” tanya Jafin sambil menatap ke arah Elvano dan Gaffi.

“Sebentar sepertinya mereka bakalan dekat sendirinya” jawab Elvano dengan tenang.

“Memang kenapa?”

“Saya pernah tahu jika perusahaan Kavin sedang mencari seorang model. Namun saya gak terlalu menanggapi” ujar Elvano menjelaskan. “Tapi kemarin papa dapet lowongan bilang ke saya rekan kerjanya cari model pengganti untuk produk barunya karena model lamanya cuti menikah” lanjut Elvano.

“Bagus dong om. Gak susah dong deketinnya”

“Ayah kan susah banget dek yang tadi om Gaffi bilang, di kenalin cewek aja cuek” ujar Ardan ikut mengomentari sang ayah.

“Tapi tenang nanti kita cari cara biar mereka berdua bisa lebih deket. Ayah kamu jangan sampai tahu dulu” perintah Gaffi sambil memikirkan suatu cara.

Jafin dan Ardan mengangguk bersamaan. Mereka berdua yakin jika ayah dijodohkan dengan perempuan pilihannya akan lebih bahagia dan tidak akan seperti sekarang.

“Lalu soal kak Anindira gimana?” tanya Jafin lagi berbicara soal perempuan yang akan dijodohkannya.

“Biar om yang urus” jawab Elvino pada kedua lelaki didepannya.

“Berarti kita sekarang cari cara biar mereka sering ketemu dan sering bareng”

Jafin, Ardan dan kedua pria didepannya masih berfikir mencari cara agar Kavin dan Anindira bisa dekat setiap hari. Dan bagaimana caranya agar mereka mau dijodohkan.

132.

Suara langkah kaki berlari memasuki gedung pencangkar langit. Ia terus menerus menatap ke arah jam dior kecil pemberian kedua orang tuanya. Waktu menunjukkan 09.30 wib.

Langkah kakiknya terhenti ketika di depan pintu lift yang akan membawanya ke lantai 15 gedung ini. Langkah kaki itu tak lain adalah Anindira. Ia masih menunggu pintu lift terbuka.

Dengan pakaian yang cantik dan anggun namun sederhana ia tak luput jadi perhatian. Anindira merasa risih karena orang-orang di sekitarnya terus menatap dirinya.

“Ini orang-orang gak ada kerjaan apa ya selain natap gua” celetuk Anindira dalam hati.

Kini tatapannya beralih pada layar ponsel layar sentuh yang sudah kembali pada tangannya. Ia begitu bodoh kenapa bisa kemarin ia salah mengambil ponsel orang lain.

Anindira yang masa bodo dengan orang-orang yang membicarakan dia. Kini matanya telah kembaki tertuju pada pintu lift yang telah terbuka. Ia mulai melangkahkan kakinya masuk ruangan yang tak luas itu.

Tak selang beberapa lama, lift yang akan membawanya sudah berhenti di lantai tujuannya. Anindira dengan bersusah payah keluar dari lift.

“Gimana sih orang-orang gak ada perasaan banget” protesnya sambil membenarkan pakaiannya.

Anindira mulai kembali berjalan menuju meja resepsionis di lantai 15. Ia bertanya kepada resepsionis dan mengikuti langkah resepsionis menuju ruang kerja yang ia tak tahu siapa.

“Kalau bukan karena kakak sama papa. Gua ogah kerja disini” celetuknya tanpa mengetahui ada seseorang yang mendengar pembicaraan dirinya.

“Kalau tidak mau kerja disini tidak usah kerja”

Pemilik suara itu tak lain adalah Kavin, seorang pria gagah berjas yang masuk diikuti dengan asisten pribadinya. Dengan gaya dingin dan coolnya ia mulai duduk di kursi kerjanya sambil menatap ke arah Anindira yang masih mematung.

“Tapi saya harus tetap kerja disini karena ayah dan kakak saya yang memaksa” jawab Anindira tak kalah galak.

“Baik kalau begitu. Anda boleh duduk. Aarav coba perlihatkan kontrak kerjanya”

“Jadi saya langsung kerja hari ini?” Anindira terkaget karena Kavin yang langsung berbicara soal kontrak kerja.

Kavin diam tak menjawab pertanyaan Anindira. Ia mulai berdiri dari duduknya sambil melangkahkan kakinya mendekati Anindira yang masih mematung dengan wajahnya yang tak suka pada pria di depannya itu. Kavin mengambil berkas di tangan asistennya dan memberikan kepada perempuan di depannya.

Anindira mangambil berkas dan mulai menjauhkan diri dari hadapan Kavin yang berjarak dekat dengannya. Karena risih, ia mulai duduk di sofa yang telah disediakan di ruang kerja. Anindira membuka map berwarna hitam yang berisi kontrak kerjanya bersama perusahaan.

Kontrak Kerja : Saya yang bertanda tangan di bawah ini, pada hari ini menyatakan bahwa saya akan mematuhi aturan kontrak kerja sama dengan Abiputra Company dibawah ini : 1. Harus siap di hubungi jika di butuhkan 2. Tidak boleh mencampuri urusan pribadi dengan urusan kerja 3. Tidak boleh banyak berbicara ketika sedang kerja 4. Pakaian dan make up disediakan dari perusahaan 5. Harus mau menuruti apa kata staff dan atasan 6. Jika melanggar akan di denda dan di tuntut

“Bagaimana? Mengerti” Kavin kini sudah duduk di depan Anindira yang masih membaca kontrak kerja dengan seksama. Anindira menganggukan kepalanya mengerti.

“Ok. Saya sanggup” seru Anindira menyanggupi kontrak kerjanya.

“Ini untuk pulpennya. Silahkan tanda tangani” Aarav memberikan pulpen ke meja Anindira dan memberikan perintah pada Anindira.

Tanpa berlama-lama, Anindira mulai menandatangani berkas kontrak kerjanya. Ia kini kembali menatap ke arah Kavin yang juga ikut menatap ke arah perempuan di depannya itu.

“Kalau begitu sekarang mbak boleh ikut dengan saya” Aarav mulai mengintruksi Anindira untuk mengikuti dirinya karena hari ini adalah hari pertama dirinya bekerja. Dengan percaya diri ia berdiri dan mulai mengikuti Aarav.

“Semoga suka kerja disini” seru Kavin dengan dingin.

“Terima Kasih bapak Kavin yang terhormat” Anindira menoleh ke arah Kavin untuk berterima kasih dan ia kembali berjalan mengikuti Aarav berjalan. “Dingin banget ngomongnya. Beda banget sama ketiga anaknya” gumamnya pelan agar tak di dengar Kavin.

Di dalam hatinya ia begitu tidak ingin bertemu lagi dengan atasannya itu sampai kapan pun. Walaupun Anindira tahu itu semua mustahil untuk diwujudkan.

125

Kavin dan ketiga anaknya tengah berkumpul di ruang tv. Davin yang tak tahu apa-apa hanya menatap ke arah Ardan dan Jafin yang sedari tadi memang wajah tegangnya seperti ingin di terkam oleh ayahnya sendiri.

Davin mencoba mencairkan suasana dengan memanggil pelayan di rumahnya untuk menyiapkan beberapa cemilan. Ketika para pelayan telah kembali, suasana di ruang tv kembali tegang.

“Hp Jafin udah ada?” tanya Kavin pada anak bungsunya.

“Soal di grup kalian masih serius mau jodohin ayah? Lalu di akun gosip foto wanita yang kumpul dengan kalian itu siapa?” Lanjut Kavin kembali dengan sederet pertanyaan pada anaknya.

Davin dan Ardan kini ikut duduk di sofa samping ayahnya yang tengah duduk santai. Jafin mulai turun dari lantai 2 rumah ayahnya, menyusul kedua kakaknya duduk serius di samping Ardan.

Davin mencoba menetralisir keadaan yang tiba-tiba sunyi sambil memberikan kode pada Jafin untuk bicara.

“Itu Jafin yah yang bakal jelasin”

“Soal hp udah yah...” jawab Jafin santai, “Bener-bener ya apin punya dua kakak gak ada yang berani sama sekali” lanjut Jafin memprotes kepada kedua kakaknya.

“Ada apa? Ayah gak akan gigit kalian.” ujar Kavin becanda.

Ardan berdehem dan mencoba mengawali obrolan, “Hmm.. Itu kemaren kita lagi ketemu sama pemilik hp yang hpnya ketuker sama jafin”

“Cantik loh yah. Sayang ayah gak bisa ikut kemaren”

“hmm. Serius Jafin” ucap Kavin cuek.

“Kalau soal perjodohan, kita serius ayah. Davin rela izin gak kerja demi ngomongin masalah ini” bela Davin kepada ayahnya.

“Inget ayah gak boleh nolak dan gak boleh ngelanggar” perintah Ardan kepada ayahnya.

“Iya ayah gak akan nolak permintaan kalian”

Jafin menganggukan kepalanya, “Dan sekarang Apin tanya ke ayah, hal apa yang bikin ayah gak mau cari pendamping hidup selain ibu?”

“Bukan tidak mau tapi ayah belum siap untuk membuka hati dari ibu kalian” jelas Kavin mencoba menahan air matanya.

“You can do it ayah”

“Pelan-pelan aja yah buka hatinya. Gak usah langsung, kita tahu ayah itu seperti apa. Ibu bakal bahagia kalau ayah bahagia” seru Davin mencoba lebih serius.

“Iyaa, demi kalian, demi ibu kalian ayah akan mencoba membuka hati”

“Jangan demi kita yah. Demi ayah sendiri”

Kavin tersenyum kepada ketiga anak-anaknya yang memiliki pikiran dewasa. Pikirannya dalam keadaan bimbang dan kalut sekarang, di satu sisi ia masih belum bisa ia melupakan mendiang istrinya dan di sisi lain, ia begitu membutuhkan sesosok wanita pendamping hidupnya. Begitu pula ketiga anaknya.

Davin, Jafin dan Ardan membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Walaupun mereka sudah dewasa, tapi mereka butuh seosok ibu. Dan Kavin yakin di dalam hatinya jika ini adalah pilihan terbaik untuk dirinya dan anak-anaknya.

114.

Davin, Ardan dan Jafin tengah duduk santai di cafe Starla tempat mereka janji bertemu dengan Anindira untuk menukar ponsel milik Jafin dan ponsel milik Anindira.

Tak selang beberapa lama, terlihat sesosok Anindira datang menghampiri ketiga lelaki tampan yang tengah menikmati musik di cafe tersebut. Ia tersenyum ke arah Jafin, Ardan dan Davin.

“Sorry ya gua lama” sapa Anindira yang masih berdiri.

Davin menggelengkan kepalanya, “Gak kok kita juga baru sampe”

“Lumayan lama kita. Pegel nih lama” celetuk Ardan menggeluh dengan candaan.

“Gak kok kak santai aja. Jangan di dengerin Ardan mah. Ayo duduk dulu. Kita udah pesenin minum. Gak tau kesukaan kakak apa jadinya yang ada aja”

Anindira tersenyum sebagai jawaban, ia mulai duduk di samping Jafin duduk. Jafin terus menatap ke arah Anindira karena kecantikan perempuan di sampingnya tanpa sadar membuat Anindira menjadi salah tingkah.

“Cantik” celetuk Jafin pelan.

“Dek gak usah gitu liatin cewek nya. Kasian salting tuh” canda Ardan.

Anindira hanya menundukkan kepalanya malu. Ia mengeluarkan ponsel milik Jafin dan menyimpan di meja depan Ardan duduk. Ardan masih terdiam dan menatap ke arah Anindira yang menyimpan ponsel milik adiknya di depan dirinya. Ia memberikan kode kepada adiknya untuk memperkenalkan diri pada Anindira agar tidak salah paham.

“Oh iya aku lupa ngenalin diri. Aku Jafin kak, ini aa Ardan terus ini kakak tertua Davin” Jafin mulai memperkenalkan kedua kakaknya kepada Anindira.

“Maaf, saya gak tau. Nama saya Anindira Davira. Panggil aja Dira” Anindira tersenyum malu ke arah mereka bertiga sambil memperkenalkan diri. Ardan dan Davin hanya tersenyum tipis membalas sapaan Anindira. Suasana kembali hening, mereka berempat terdiam karena rasa canggung. Begitu pula Jafin yang hanya menatap ke arah Anindira tanpa melewati setiap titik yang ada pada Anindira.

“Nggak perlu formal dir sama kita” Akhirnya Davin mencoba membuka topik pembicaraan pada perempuan di depannya. “Dek kasihin ponselnya” lanjut Davin sambil memberi perintah ke arah adiknya.

“Oh iya lupa apin” Jafin mulai menggeluarkan ponsel milik Anindira dan menaruh ponselnya di meja depan Anindira duduk.

Anindira mengangguk, “Maaf yaa masih belum biasa kalau sama orang baru”

“Nggak apa-apa kak. Santai aja. Hmm.. Kakak asli orang Jakarta?” tanya Jafin santai. “Iya. Gua asli orang Jakarta, betawi. Lahir di Jakarta dan dari kecil di Jakarta” jawab Anindira mencoba dengan informal namun masih sopan.

“Di Jakarta kuliah apa Kerja?” Davin kini ikut bertanya.

“Lagi pengangguran aja dan punya hobby ngelukis. Jadinya keseharian ngelukis”

Jafin, Ardan dan Davin hanya menganggukan kepalanya. Kini suasana kembali sunyi karena masing-masing tengah menikmati hidangan cafe. Anindira hanya menatap mata ketiga para lelaki di depannya secara bergantian.

“Kalian asli Jakarta?” tanya Anindira akhirnya. Ardan menggelengkan kepalanya dan mencoba mengakrabkan diri, “Nggak. Gua adek gua sama abang gua pindahan dari Bandung ikut ayah”

“Ooh.. Seru ya Bandung. Dingin, gak kaya Jakarta panas” celetuk Anindira mencoba ramah.

“Iya kak dingin banget loh di Bandung. Kapan-kapan kakak harus ikut kita ke Bandung” Jafin ikut menanggapi obrolan Anindira.

“Ok kapan-kapan ikut ya. Hmm.. Memangnya Bandungnya dimana?” lanjut Anindira coba membuka lagi topik.

Jafin yang senang dengan Anindira malah mendekatkan kursinya ke arah kursi perempuan di sampingnya. Anindira hanya tersenyum dan mencoba untuk mengeluarkan ekspresi wajah tanpa rasa terkejut.

“Dek, woy deket-deket amat anjir. Dira nya ketakutan” larang Ardan.

“Gak apa-apa. Santai aja” “Bandungnya daerah Sarijadi Regency kak. Kakak pernah ke Bandung?”

“Pernah tapi cuman lewat doang” ujar Anindira coba mengakrabkan diri.

Jafin dan Davin tertawa ketika mendengar jawaban Anindira yang tak sengaja melakukan pertunjukan komedi untuk para lelaki di depannya.

“Hahaha. Terus-terus kalau lewat doang kakak mau kemana?” Jafin ikut kembali bertanya.

Ardan yang penasaran mencoba ikut mendekatkan diri ke arah perempuan di depannya. “Pasti ke Lembang” Ardan ikut menebak jawaban Anindira yang mereka tunggu tunggu.

“Bentar kenapa kita jadi kaya pelawak gini”

Davin, Jafin begitu pula Ardan ikut tertawa dengan celotehan yang sepontan di lontarkan oleh Anindira. Mereka begitu kompak seolah-olah sudah tidak bertemu lama. Mereka kini sudah tak canggung lagi dan saling melontarkan candaan satu sama lainnya.

“Hmm.. Jafin”

Jafin menganggukan kepalanya, “Iya kak. Aku Jafin, ada apa?”

“Ok Jafin ya. Masih sekolah atau udah lulus?”

“apin masih SMA kelas 3 kak” jawab Jafin sambil menunjukkan jari nya ke arah Anindira.

“Kalian udah lama di Jakarta?”

“2 minggu kak. Ikut abang kerja” jelas Ardan.

“Abang kuliah di penerbangan dulu. Sekarang kerja di soetta jadi pilot. Tapi katanya mau keluar aja. Capek mending kerja di perusahaan ayah” celetuk Jafin bercanda.

“Hahaha. Gimana gak capek, 24 jam diem di pesawat doang”

Anindira yang melihatnya tertawa karena tingkah Jafin yang begitu menggemaskan untuk dia. Begitu pula kedua kakaknya yang senang karena bisa terhibur akan kehadiran adik bungsunya. Kini mereka bertiga mulai mengakrabkan diri pada Anindira, mereka senang dan nyaman berada dengan perempuan yang baru saja mereka temui tanpa harus ada rasa takut.

“Kapan-kapan anterin kita keliling Jakarta ya”

“Kalian bisa keliling Jakarta tanpa gua, ok” Davin menolak permintaan sang adiknya Jafin.

Jafin mendelik ke arah Davin karena kakak tertuanya itu tidak setuju dengan permintaan sang adik. “Biarin nanti aja apin aja sama kak Dira. Aa mau ikut gak?”

Ardan mengangguk, “Ikut gua. Kebetulan kuliah gua free. Tinggal skripsi mah gampang”

“Oh Ardan masih kuliah? Jurusan apa?”

“Manajemen bisnis di ITB” jawab Ardan sombong.

“Sombong. Apin juga bentar lagi lulus SMA. Mau lanjut jakarta aja. Pengen masuk ui” balas Jafin ikut menyombongkan dirinya.

Anindira mengacungkan jempolnya tanda setuju pada Jafin dan Ardan. Ia begitu nyaman berada dekat dengan ketiga lelaki didepannya ini. Tanpa ada rasa canggung, ia banyak melontarkan candaan.

Begitu pula sebaliknya dengan Jafin, Ardan dan Davin yang langsung akrab dan terlihat nyaman ketika dekat dengan Anindira. Padahap terkenal sekali Ardan dan Jafin sangatlah cuek kepada semua perempuan yang mencoba mendekatinya.

Tak selang beberapa lama mereka berada di cafe. Anindira menatap ke arah jam tangan di tangan kanan miliknya yang selalu ia pakai kemana pun. Waktu menunjukkan pukul 6 sore. Tak terasa 5 jam sudah ia ikut berkumpul bersama ketiga para lelaki tampan anak dari Abiputra Company.

“Jafin, Ardan, Davin” panggil Anindira mencoba menghentikan aktivitas para lelaki di depannya. Ketiga anak laki-laki itu masih fokus dengan aktivitasnya masing-masing yang ricuh karena memainkan game yang di ponsel Anindira. Anindira mencoba mengetuk meja di depan mata mereka.

Davin yang sudah berhenti dari aktivitasnya, mulai menyadari Ardan yang tengah main game dari ponsel milik Anindira. “Hmm.. Kayanya gua meski pulang duluan deh. Soalnya meski balik ke Bekasi” ujar Anindira mulai menggemasi handphonenya ke dalam tas selempang yang sering ia bawa.

“Kok cepet amat sih kak. Kan Jafin masih mau main sama kak Anindira” seru Jafin memanyunkan bibirnya.

“Gua juga lagi asyik main gamenya” Ardan ikut memprotes.

“Iya.. Kapan-kapan bisa main lagi oke. Oh iya ini makannya berapa? Biar kakak bayar” seru Anindira basa basi.

Davin menggelengkan kepalanya, “Gak usah Dir, biar kita aja yang bayar”

“Iya gak apa2 biar kita aja yang bayar. Kakak hati-hati ya nanti chat Jafin kalau udah sampe rumah”

Ardan mencoba menyenggol kaki Jafin untuk diam tidak macam-macam pada perempuan di sampingnya itu. Jafin yang tak mengerti kode dari Ardan hanya tersenyum kepada Anindira yang telah berdiri dan siap-siap bergegas.

“Oke, kalau gitu gua duluan ya”

Senyuman tak luput dari wajah Anindira sambil melayangkan tangannya memberikan salam kepada ketiga laki-laki tampan di depannya. Dengan langkah yang terburu-buru ia langsung berjalan meninggalkan cafe.

Jafin ikut tersenyum dan menatap kedua kakak kandungnya. Davin dan Ardan hanya menggedikkan bahunya tanda tak mengerti maksud dari adiknya itu.

Di dalam otaknya, Jafin telah menyusun sebuah rencana siapa wanita yang pantas yang akan dijodohkan dengan ayahnya itu. Ia sudah memiliki rencana yang pasti akan di setujui oleh kedua kakaknya.

“Apin ada ide aa, abang”

100.

Teeng ... Bunyi lonceng pintu kaca terbuka oleh seseorang perempuan yang mulai melangkahkan kakinya memasuki sebuah cafe yang tak begitu ramai pengunjung.

Penjaga cafe mulai menyapa sang empu yang kini sudah berada di depan kasir tengah membaca menu minuman yang akan ia pesan.

“Saya mau strawberry smothies sama kebab premiumnya 1” pinta perempuan itu kepada sang kasir.

“Anindiraaaa Daviraaaaa” wanita yang dipanggil namanya lengkap menoleh ke arah sumber suara.

“Azzahra Adiwangsaaaa” balasnya girang. Anindira menarik tangannya mengajak seorang wanita di sampingnya untuk menuju lantai dua.

“Mbaa nanti anterin ke atas biasa”

Anindira, ia sang empu yang sedari tadi tengah memesan makanan dan minuman yang akan ia santap siang hari yang begitu panas. Anindira dan Azzahra mulai menaiki tangga menuju lantai dua tempat mereka menikmati pemandangan hiruk pikuk kota Jakarta yang begitu penuh dengan lautan manusia.

Anindira Davira, sesosok perempuan berbadan ideal, tinggi bak model yang sering muncul di tv. Nama yang begitu cantik sama seperti dirinya. Kini mereka berdua sudah duduk dengan santai saling berhadapan. Azzahra tersenyum menatap sahabat kecilnya dengan perasaan bertanya-tanya.

“Dir, jadi maksud lu di chat grup apa”

Anindira menggelengkan jawabannya sebagai jawaban, “Bukan apa-apa ra”

“Lu mah rahasiaan”

“Serius kaga ada ra. Karena sifatnya rahasia, jadi gua harus nyimpen baik-baik”

“Kaga asyik lu” protes Azahra. Anindira hanya nyengir dengan perasaan bersalah karena ucapannya di grup bersama kedua sahabatnya. Ia mengutuk pada dirinya kenapa begitu ceroboh akan hal rahasia yang ia tahu dengan sahabat laki-lakinya, Arkana.

“Si Arkana lagi di jalan kesini ra”

Azzahra mengangguk sebagai jawaban. Tak selang beberapa lama pelayan cafe datang dengan membawa nampan gelas dan makanan. Pelayan itu menghampiri meja Anindira dan Azzahra yang tengah duduk bersantai.

“Makasih mas” ujar Anindira sopan.

“Mas pesen matcha latte sama sandwich nya 1” celetuk Azahra pada pelayan di depannya.

“Baik kak. Ada lagi? Azzahra menggelengkan kepalanya dan tersenyum sebagai jawaban.

Ia kembali menoleh ke arah sahabatnya yang tengah asyik menyantap makanan tanpa berbicara. Anindira yang merasa di tatap oleh sahabatnya mulai menoleh dan bertanya dalam diam kepada sahabatnya itu.

“Kenapa lu natap-natap gua” protes Anindira.

“Jangan ada rahasia dir di antara kita” Azzahra masih menatap mata sahabatnya itu sinis yang kemudian tak lama ia kembali terdiam.

Azzahra tak lagi bertanya kepada sahabatnya perihal obrolan di grup. Ia mulai asyik menatap ke arah luar cafe yang memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit.

“Ia a makanya kita harus cari calon buat ayah atuh a”

Azzahra menatap ke arah sumber suara yang tak lain adalah Jafin Gabriel Abiputra, anak laki-laki dengan baju lengan pendek dan celana jeans santai yang ia kenakan berkesan sangat tampan dan tak lama diikuti oleh sesosok laki-laki dengan jaket kulitnya yang berwarna hitam dan topi dan masker yang menutupi wajahnya sehingga ia tak begitu jelas siapa laki-laki yang tengah bersama Jafin.

Azzahra yang kaget dan mulai memberikan kode kepada sahabatnya untuk melihat ke arah mata yang ia tuju. Sang empu yang ia berikan kode hanya mengaduh protes sebagai jawaban sahabatnya yang berisik.

“Apaan sih”

“Itu ada Jafin anaknya om Kavin tapi gak tau itu cowok yang di depannya tuh” Azzahra masih menatap ke arah sumber yang ia maksud.

“Siapa? Mana?” tanya Anindira ke arah berlawanan. Azzahra hanya menghela nafas, “Ke arah jam 12 di belakang lu”

“Terus gua harus apa?” Anindira menoleh ke arah seseorang yang sahabatnya maksud. Ia sangat cuek dan tidak peduli pada Azzahra yang begitu antusias akan kehadiran anak dari Ceo tampan yang selama ini jadi idolanya.

Anindira hanya menggelengkan kepalanya. Ia begitu heran kepada sahabat di depannya itu yang begitu senang dan terus menatap ke arah bangku anak sang idola.

“Kaga usah lu tatap terus anjir, ra” ucap seorang laki-laki coba menghalangi pandangan Azzahra.

Azzahra menoleh ke arah sumber suara. Tangannya mencoba mendorong badan laki-laki yang masih enggan pergi dari hadapan Azzahra.

“Minggir Arkana!!”

“Kaga ada minggir. Geseer” Arkana mendorong badan Azzahra dengan kuat dan tak berapa lama ia mulai duduk di samping perempuan yang membuat ia jatuh hati padanya.

“Bucin maunya duduk berdua mulu” ledek Anindira.

Arkana murka, ia menatap ke arah Anindira dengan mata melototkan matanya memberikan kode agar sahabatnya itu diam.

Namun bukan Anindira namanya jika dia tidak ceroboh. Anindira hanya terkekeh sambil menutup mulutnya sebentar kemudian kembali beralih ke arah jendela cafe.

“Gua memang bucin pak Kavin, dir”

“Udah berisik lu ah ra nyebut nama dia mulut. Masih gantengan gua” protes Arkana pada Azzahra yang masih tak henti menatap ke arah Jafin.

Sumber yang Azzahra tatap menoleh sebentar dan tersenyum. Yang tak lain adalah Jafin. Azzahra yang terkaget mendapatkan senyuman dengan wajahnya yang memerah ia langsung membenamkan wajahnya di bahu Arkana

“Kan, itu anaknya pak Kavin natap ke arah gua. Malu gua” Aninindira mencoba menoleh ke arah sahabatnya itu. Ia tertawa dan meledek sahabatnya. Anindira tak habis pikir pada Azzahra sahabatnya itu yang kini tengah menutul wajahnya karena malu di tatap oleh sumbernya.

“Makanya lu kaga usah ngadi-ngadi. Eh bentar Kavin? Abiputra itu?”

“Iya dir. Kavin Ardana Abiputra pemilik Abiputra Company” jawab Azzahra menoleh ke arah Anindira.

Anindira menepuk jidatnya sendiri dan memperlihatkan chat ayahnya kepada kedua sahabatnya. Azzahra yang melihat isi chat dari ayahnya Anindira malah ikut terkejut dan menyenderkan punggungnya ke sofa cafe.

“Sumpah gua iri sama Diraa”

“Sabar ya ra. Gua bilang apa mending sama gua. Oh iya, kapan lu mulai kerja?” tanya Arkana.

“Senin gua kerja. Besok balik. Pengen gitu ada yang gantiin. Tapi kaga apa2 demi duit” jawab Anindira sambil menggeluh.

“Bersyukur itu penting dir” ujar Arkana sambil menatap ke arah sahabatnya yang menggeluh.

Azzahra yang sedari tadi mendengarjan namun matanya sibuk memainkan hpnya, tiba-tiba membuat kedua sahabatnya itu terkejut dan menoleh ke arahnya, “Anjir dir sumpah. Lu harus liat”

“hmm” balas dira sambil meminum minuman pesanannya.

Tak lama dari itu Azzahra memperlihatnya ponsel layar sentuh miliknya pada sahabatnya.

“Dari kemaren perasaan berita Kavin, Kavin, Kavin mulu”

Azzahra kembali menyimpan kembali ponsel miliknya dan mematikan layar ponselnya agar sahabatnya tidak protes lagi.

“Iya udah kaga nih dir. Jangan ngambek lagi”

“Iya santai. Eh ra gua kayanya kaga bisa lama-lama harus cabut, baru inget harus packing meski balik bekasi. Dadah, Traktir ya. Belum gua bayar soalnya.”

“Perasaan baru juga dateng gua. Udah ditinggal lagi” protes Arkana menatap ke arah Anindira yang sedang membereskan barang bawaannya.

“Lah kan dia yang ngajak kan kenapa kita yang ditinggal” Azzahra menatap ke arah sahabatnya yang tergesa-gesa.

Anindira berjalan meninggalkan kedua sahabatnya tergesa-gesa dan menuruni tangga cafe untuk menuju pintu keluar. Ia tak menyadari jika ada seorang laki-laki yang menenteng kantung kresek dan ponsel di tangannya ada di depannya. Keduanya saling bertubrukan sehingga barang keduanya berantakan ke lantai.

Anindira yang tergesa-gesa hanya menundukan kepalanya sedikit sebagai permintaan maaf sambil membereskan tas selempang yang ia bawa dan mengambil salah satu ponsel yang memiliki case yang berbeda dengan miliknya. Ia tak ambil pusing lagi langsung bergegas pergi meninggalkan laki-laki itu.

“Eeh mbaak hpnyaa ketuke..r”

Perjalanan Baru dimulai —

Kavin tengah berjalan sendirian, matanya tertuju pada ponsel di depannya. Jalanan di Jakarta saat itu amat sangat lancar dengan bisingnya kendaraan yang berlalu lalang untuk melakukan kegiatan yang mereka lakukan. Panas terik matahari membuat pria jangkuk yang sedari tadi menggendong tasnya terus menerus merasa kelelahan.

Kavin mencoba untuk beristirahat sejenak di bawah pohon beringin pinggir jalan lalu lintas yang agak ramai. Kavin tak menyadari bahwa ada seseorang yang terus mengikutinya. Ketika ia sedang lengah tiba-tiba tangan seseorang itu langsung mengambil ponsel miliknya.

“Woy!! Hp sayaa!!” serunya dengan sekuat tenaga Kavin berlari mengejar orang itu. Entah berapa lama ia berlari, penjambret ponsel miliknya telah hilang dari hadapannya.

“Ya tuhan, semua alamat dan data saya tinggal di hp itu”

Kavin termenung duduk di sisi trotoar jalan yang tak begitu ramai pengunjung. Ia tak pernah meminta bantuan orang lain. Bahkan untuk pergi ke Jakarta ia hanya membawa dirinya sendiri. Kini arah tujuannya hilang entah akan pergi kemana.

Ia mencoba kembali menginggat sesuatu, benar saja Kavin ingat jika dirinya pernah menulis alamat teman lamanya di buku catatan miliknya. Setalah lama mencari, akhirnya ia bisa menemukan alamatnya. Kavin kembali berjalan dengan membaca papan reklame sepanjang jalan.

Selang tak beberapa lama ia memasuki gang-gang sempit. Dan akhirnya ia menemukan alamat yang ia tuju. Kavin mulai mengetuk pintu rumah yang kecil tak seperti rumahnya di Bandung.

“Permisi”

Kavin terdiam menunggu seseorang di balik pintu untuk membiarkannya masuk karena cuaca Jakarta saat itu mulai mendung. Suara seseorang di balik pintu membuat Kavin merasa lega.

Pintu mulai terbuka dan tertegun menatap ke arah Kavin yang hanya memakai sweater dan celana jeans biru yang sudah lusuh.

“Apa benar ini rumahnya Gaffi Genardo?” tanya Kavin Sesosok pria di depannya itu hanya mengangguk memberikan jawaban.

“Iya itu saya. Sebentar anda Kavin Ardana Abiputra?” tanya pria bernama Gaffi.

Ia mulai mempersilahkan Kavin untuk memasuki rumah kecilnya yang tak lain hanya sebuah kamar kecil tanpa kasur dan hanya ada meja laptop disana.

“Wah gila ternyata saya beneran di kunjungi oleh anda seorang pengusaha terkenal. Lalu kenapa anda sendirian kesini?” lanjutnya senang.

Kavin terdiam duduk termenung menatap pria di depannya. Ia mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja ia alami pada teman lamanya itu. Pria itu mengerti sekarang bahwa Kavin butuh kehidupan baru.

Semua kenangan di Bandung telah Kavin tinggalkan begitu saja tanpa memusingkan kembali apa yang seharusnya ia lakukan.

Kini Kavin tengah mencoba memulai kehidupannya yang baru di Jakarta, mencoba untuk melakukan kehidupan yang lebih layak dan mengubur semua kenangan lamanya yang akan di gantikan dengan kenangannya yang baru yang lebih indah dan lebih baik lagi.

Berbulan bulan berlalu, musim demi musim kian berganti. Bandung kembali ramai dengan kehadiran tiga anak laki-laki yang kini telah tumbuh semakin tinggi dan besar.

Rumah yang di tempati oleh Darvan, mama nya dan keponakannya itu telah kembali dari masa kelamnya.

Suara langkah kaki memasuki pintu depan rumah yang tak begitu mewah, jaket yang ia kenakan meninggalkan bulir bulir air hujan yang amat sangat deras.

“Om Darvan pulang”

Darvan melepas sepatu kerjanya dengan matanya tak henti-hentinya ia tolehkan ke arah dalam rumah di arah depan begitu sepi.

Ia melangkahkan kakinya memasuki ruang tv yang kedengaran suara bising dari mulut keponakannya yang masih berumur 10 bulan.

“Van udah pulang kamu” Sapa wanita paruh baya yang duduk bersantai di sofa.

Darvan mengangguk, “Iya ma. Capek juga jadi dosen” Darvan menghampiri ibu nya dan tak lupa untuk mencium tangannya untuk menyapa sopan santunnya kepada orang tua.

“Udah resiko kamu mau kuliah jurusan itu”

Darvan menatap ibundanya sambil tersenyum seolah-olah menyembunyikan kesedihan di dalam dirinya. Mereka yang berada dalam rumah menunggu seorang pria bernama Kavin untuk pulang pada mereka. Pulang menuju rumahnya yang sudah beramat sangat ia rindukan.

“Ma, benerkan mama izinin aku ajak Jafin ke Solo?”

Wanita yang selalu di sapa 'Mama' hanya mengangguk untuk memberikan jawaban dari perkataan Darvan. Ia tertenggun, menatap anak sulungnya. Wajahnya masih memperlihatkan ekspresi khawatir kepada cucunya, Jafin yang akan di bawa oleh Darvan.

“Mama jangan khawatir”

Mama nya masih tertenggun menatap Darvan dan Jafin lekat. Di dalam hatinya masih ada keraguan untuk melepaskan Jafin ke pangkuan Darvan. Mungkin di sisi lain ia harus percaya pada anaknya bisa menjaga Jafin. Tapi di sisi lain ia akan merindukan sosok anak laki-laki di depannya.

“Aku udah bilang juga ke Kavin,” ujar Darvan dengan tangan ikut memainkan mainan bersama Ardan. “Walaupun aku tau, Kavin gak akan bales chat”

“Iya van, mama udah percayakan kamu soal Jafin” Ia tersenyum menatap ke tiga cucunya, “Mama juga udah hubungi om Reno dan tante Sisy”

“Oke cantik. Kalau repot aku minta bantuan om Reno dan tante Sisy”

Hingga tiba harinya, Darvan telah menyiapkan segala keperluan dirinya dan Jafin untuk ikut bersamanya ke Solo. Mereka dalam perjalanan menuju stasiun bersama-sama. Sesampainya di Stasiun, Darvan tersenyum dan memeluk mama dan kedua keponakannya. Jafin yang tak mengerti hanya melonggo melihat orang-orang terdekatnya melayangkan rasa kasih sayang.

“Aku pergi ya ma”

“Jaga diri, jagain Jafin untuk mama”

Darvan mengangguk, “Iya ma siap pasti itu”

“Ya udah sana. Nanti telat ketinggalan kereta” seru mama sambil mendorong Darvan untuk memasuki tempat menuju kereta api.

Darvan tersenyum sambil menggendong Jafin iya berjalan dan tangannya tak henti-hentinya melambaikan pada ibunda. Di dalam benaknya, ia khawatir akan keadaan ibunda yang mengurus kedua keponakannya sendirian karena ayahnya sibuk kerja.

Namun ia yakin jika ibunya bisa sama seperti mengurus dirinya dan Kavin saat kecil. Darvan mulai menghilang dari pandangan mamanya.

Mereka kembali berpisah, berpisah untuk kembali bertemu di kehidupan selanjutnya yang akan mengantarkan mereka pada kebahagiaan tanpa ada lagi yang terluka.