Rumah Kalana
Cuaca sore hari itu begitu gelap, langit tak begitu bersahabat dengan alam. Suara hembusan angin begitu jelas terdengar di telinga semua orang yang berlalu lalang. Hari itu menandakan akan turunnya hujan yang begitu lebat.
Air menetes secara tiba-tiba dari arah awan hitam di atas langit. Semua orang yang berlalu lalang diluar ruangan mulai menghentikan aktivitasnya dan segera untuk meneduhkan diri mereka agar terhindar.
Akan tetapi, lain halnya dengan seorang anak lelaki yang terus melajukan motor sport berwarna hitam miliknya memasuki kawasan komplek perumahan Dago Giri — Griya Mas. Badannya yang basah kuyup tak ia pedulikan sama sekali, pikirannya begitu kalut. Ia begitu marah, namun tak bisa marah pada siapapun.
Motor sport hitam milik anak lelaki itu berhenti tepat didepan rumah bernuansa putih, ia turun dari motornya dan mulai menekan bel rumah yang berada tak jauh dari pagar rumah tersebut. Seorang wanita paruh baya datang dengan payung berwarna abunya menghentikan langkahnya sambil menatap ke arah anak lelaki didepannya.
“Bi, Kalana nya ada?”
“Ada. Masuk aja, den!” jawab wanita mulai membuka pintu gerbang. “Bibi panggilkan terlebih dahulu.” lanjutnya langsung langsung melangkahkan kakinya memasuki garasi rumah.
Anak lelaki itu mulai melangkahkan kakinya mendorong motor sport miliknya untuk memasuki halaman rumah bernuansa putih. Anak lelaki itu adalah Ardan, wajahnya begitu berantakan seperti sesuatu hal terjadi. Entah apa yang baru saja ia perbuat.
Ardan berjalan ke arah teras rumah bernuansa putih itu dan menduduki dirinya di lantai putih yang begitu mengkilat. Rambut yang berantakan, jaket bahkan seluruh pakaian yang ia pakai itu basah kuyup. Ia tak memperdulikan dirinya pada saat ini, ia hanya butuh untuk senderan. Namun dirinya tak menyangka, ia bisa sampai datang kemari.
“Ardan?” Seorang perempuan datang menghampiri Ardan yang masih memunggungi badannya.
Ardan menoleh kepalanya ke arah sumber suara, ia mulai berdiri dan menengakkan badannya. Tanpa rasa bersalah ia langsung memeluk badan perempuan didepannya. Perasaannya tak karuan, begitu kacau pikirannya saat ini. Ia hanya butuh pelukan pada saat ini. Sumber suara itu adalah Kalana.
“Apaan nih?!” protes Kalana mencoba melepaskan pelukan Ardan.
“Gua pinjem bahu lu.” seru Ardan dengan kepalanya ia enduskan di bahu Kalana.
Kalana kembali terdiam, ia tak bisa berkutik karena badan Ardan yang begitu besar mengunci dirinya tak bisa bergerak sama sekali. Ia mencoba kembali mendorong badan Ardan dengan sekuat tenaga. Dan hasilnya nihil, ia tak kuat, begitu sulit untuk mendorong badan kekar milik lelaki didepannya.
“Ardan, bisa duduk dulu kan? Ngapain coba begini,” Kalana protes, ia tak suka jika dirinya akan sakit juga jika Ardan terus-terusan memeluk dirinya. Bukan hanya sakit, ia takut jika ibunya datang dan malah memikirkan hal yang tidak-tidak.
Tanpa mau ikut memprotes juga Ardan mulai melepaskan diri dari bahu Kalana yang bajunya ikutan basah karena air terus mengalir dari kepala lelaki itu. Secara tiba-tiba dan tanpa meminta persetujuan dari sang empu dirinya kini telah duduk di kursi rotan panjang depan rumah Kalana. Ia menepuk bangku di sampingnya yang kosong agar Kalana duduk disana.
Kalana menatap lama sosok lelaki yang berada di sampingnya itu tak mau berkutik dari tempat ia berdiri. Akan tetapi, lelaki didepannya kembali berdiri, tangan kekar dan panjang miliknya menarik tangan Kalana yang masih terdiam.
Sejak sepuluh menit kedatangannya, belum ada tanda-tanda Ardan mau buka suara perihal alasannya yang mengapa ia ingin menemui Kalana padahal langit menunjukkan hujan yang begitu lebat.
Tatapan perempuan itu menyelidik setiap jengkal wajah Ardan yang begitu tampan dan gagah. Wajah dari lelaki itu nampaknya begitu berantakan dengan sudut bibir yang masih mengeluarkan darah segar.
“Dan, lu kenapa?” Pada akhirnya Kalana memulai pembicaraan dengan bertanya pada anak lelaki disampingnya dan mencoba memegang bibir lelaki itu.
Ardan tak mengubris tangan Kalana, ia masih terdiam tak ingin menolak perlakuan perempuan disampingnya. Bahkan di dalam hatinya entah kenapa ia begitu nyaman.
“Bibir lu luka, obatin dulu. Bisa infeksi nanti.” seru Kalana dengan tangan masih memegang bibir Ardan.
“Lu diem aja. Gua cuman butuh senderan. Bukan obat!” Ardan meneriakI Kalana dan matanya kembali terpejam tanpa mengatakan sepatah kata lagi.
Kalana hanya mampu terdiam setelah mendengar kalimat yang di lontarkan dari mulut sosok lelaki yang ia kagumi. Tangan Kalana tak sengaja menyentuh pipi halus dari sosok lelaki disampingnya.
Tangan Kalana memijat tangan yang digunakan sebegai tumpuan kepala Ardan, matanya menatap ke arah Lelaki yang masih asyik memejamkan matanya. Langkah kaki dari arah dalam rumah membuat Kalana dengan segera reflek mendorong badan Ardan yang masih berantakan karena air hujan dengan begitu kuat.
Ardan tak menyadari akan hal itu, matanya penuh dengan rasa kekecewaan menatap death glare ke arah sosok perempuan di sampingnya. Kalana begitu risih karena ia tidak ingin di sangka yang tidak-tidak oleh suara langkah kaki yang terdengar semakin mendekat.
“Lana, temennya gak disuruh masuk?” suara langkah kaki itu adalah ibunya. Wanita paruh baya menghampiri Kalana dan Ardan yang masih berdiam diri di sofa teras depan. “Eh Ardan. Ibun kirain siapa. Ayo masuk, ibun buatin teh hangat juga ya!!” lanjut wanita paruh baya itu kembali masuk ke dalam rumahnya.
Di dalam hati Kalana begitu lega karena sosok ibunya datang, jika tidak ia akan berada diposisi seperti tadi yang membuat bahunya merasakan nyeri dan kaku karena perlakuan Ardan. Ia tak apa jika Ardan begitu namun masalahnya kepala lelaki itu besar, malah membuat bahu Kalana menjadi kaku.
“Kalana ajak masuk Ardannya!!” perintah wanita paruh baya itu lagi.
“Iya ibun.”
Ardan menatap ke arah Kalana dengan tatapan yang sulit diartikan masalahnya ia masih ingin berdua bersama perempuan disampingnya. Ia merasa Kalana adalah tempat ternyaman untuk dirinya. Jauh sebelum sosok Kalana hadir di hidupnya, ia tak pernah punya punya tempat tujuan selain makam ibunya. Akan tetapi, hari ini ia kembali menemukan sosok yang mampu berganti posisi dengan ibunya.
“Ayo masuk!!” ajak Kalana sudah berdiri dan menatap ke arah Ardan yang masih mematung. “Lama!! Gua masuk duluan!!” lanjut Kalana cuek dan meninggalkan Ardan sendirian memasuki ke dalam rumahnya.
Ardan melangkahkan kakinya ikut berjalan memasuki rumah sosok perempuan itu dan menatap ke setiap sudut ruangan yang terdapat barang-barang antik yang dapat ia temui disana. Langkah kakinya terhenti ketika menatap sebuah bingkai foto persegi panjang yang ada di meja kayu berwarna coklat yang menarik perhatiannya. Tak sadar Ardan menyunggingkan senyuman dan masih menatap bingkai foto itu.
“Cantik”
“Kenapa Ardan?”
“Foto ini cantik. Ini lu?” tanya Ardan penasaran sambil menunjuk ke arah bingkai foto berwarna biru muda.
“Itu Kalana waktu kecil, waktu itu dia lagi diajari sepeda sama ayahnya. Tapi malah gak bisa-bisa sampai sekarang.” jelas wanita paruh baya yang tak jauh dari Ardan berdiri.
“Oh gitu ya bu.” Ardan menatap ke arah sampingnya malu-malu ternyata Kalana tak ada disana, hanya ada sosok wanita paruh baya dan seorang perempuan yang terlihat masih muda.
“Aa tau gak, si teteh tiap hari senyum-senyum sendiri di kamarnya sambil manggil-manggil nama Aa.” Cerita sesosok perempuan di samping dirinya yang ternyata ketauan oleh Kalana.
“Suka asal kalo ngomong. Pergi sana!!” usir Kalana pada sesosok perempuan di sampingnya dengan tangannya langsung menutup mulut sesosok itu.
Sebenarnya ia malu perihalnya sosok perempuan yang tak lain adalah adiknya sendiri tiba-tiba mengatakan hal itu di depan sosok lelaki didepannya, padahal adiknya itu tidak tahu menahu soal ia meneriaki nama Ardan. Dengan santai tangannya memberikan kaos berwarna hitam dan celana panjang pada lelaki itu.
Ardan masih mematung menatap ke arah Kalana yang memberikan kaos untuk dirinya, kemudian pergi meninggalkan dirinya sendiri. Ia tersenyum dan hatinya begitu bahagia berada di rumah ini. Rumah yang membuat dirinya nyaman.
Rumah yang membuat dirinya menjadi dirinya sendiri bukan orang lain. Bukan karena paksaan dirinya menjadi lebih dewasa. Ardan hanya berharap di dalam hatinya jika dirinya bisa berada di rumah itu selamanya.