staillry

“Udah selesai.” Ardan menutup buku catatan miliknya.

“Gua juga udah.”

“Tugasnya udah bereskan ya?” tanya Ardan mencoba meyakinkan Kalana lagi soal tugas.

“Iya udah. Beres.”

Ardan masih sibuk mengambil cookies yang ada di depan matanya. Begitu juga Kalana yang masih fokus tentunya menatap ponsel layar sentuh miliknya untuk melihat catatan tugas yang sudah di kerjakan dan belum ia kerjakan.

Ketika sedang santai memainkan ponsel masing-masing, tiba-tiba dari arah luar terdengar suara bising kendaraan yang tak lain adalah suara bising kenalpot motor yang mulai berhenti di halaman rumah tempat tinggal Kalana dan teman-temannya berkumpul. Seorang lelaki turun dari motornya dan berjalan menekan tombol bel yang tak jauh dari pagar rumah Kalana.

“Assalamualaikum, Kalana iyeuu Harshil!” ucap anak lelaki yang tak lain adalah Harshil.

Ardan yang terkejut mendengar suara temannya itu langsung menghadang Kalana yang mencoba untuk membukakan pintu gerbang rumahnya.

“Gak usah di bukain.”

“Kenapa sih?” tanya Kalana heran.

“Biar gua aja,” larang Ardan yang hendak berdiri.

“Suka-suka gua. Ini rumah gua!” balas Kalana tak terima sambil berdiri dan berlanjut menuju pagar rumahnya yang tak terlalu tinggi. Kalana tersenyum sambil mempersilahkan teman-teman Ardan untuk masuk.

“Ayo masuk, Har.”

“Makasih Kal,”

Ardan menoleh ke arah gerbang rumah Kalana yang telah terbuka. Harshil berlari bersama Raka, Kamal dan Rajendra yang datang bergantian masuk menuju rumah Kalana.

“Eh, Ardan ada disini ternyata.”

“Harshil tahu rumah Kalana dari mana?” Kalana berjalan mengikuti Harshil yang sudah duduk di atas sofa ruang tengah dengan wajah terheran karena Harshil tahu rumahnya, padahal dirinya sama sekali tak pernah memberi tahu perihal rumahnya pada teman-teman di sekolahnya.

Teman-temannya termasuk Ardan hanya menggedikkan bahunya tanpa ada yang mau menjawab. Pandangan Kalana kembali tertuju pada Harshil yang kini sudah duduk di samping Ardan dengan menatap ke arah Kalana yang wajahnya penuh berseri-seri seperti bertemu dengan kekasihnya.

“Kalana kedatangan Harshil ganggu kalian nyak?” tanya Harshil takut.

“Heeuh ganggu maneh teh,”

“Hampura Kal, si Harshil maksa kadieu rek nyontek tugas ceunah.” balas Rajendra mencoba ramah pada Kalana.

“Bisa nyontek dari gua. Ayo Pulang!!” Ardan melototkan matanya pada Harshil untuk memberi kode agar teman-temannya untuk pulang. Dasarnya Harshil yang punya sifat jahil, ia malah diam duduk samping Kalana. Ardan kembali mencoba menarik tangan Harshil dengan sekuat tenaga. Dan ketika berhasil, ia langsung menarik tangan temannya dan mendorongnya untuk pergi dari rumah Kalana.

“Pulang!!”

“Tapi Dan ...”

“Gak ada tapi-tapian!!” perintah Ardan sambil melototkan matanya ke arah Harshil seperti sedang memerintah anaknya untuk pulang bermain.

“Kasar bener sama temen sendiri.”

“Biarin, ini urusan gua.” Harshil yang ketakutan mengikuti perintah Ardan, begitu juga Rajendra, Kamal dan Raka yang berada di sana mengikuti ketua gengnya untuk pergi dari sana. Raka yang melihat buku dan tas Ardan masih tergeletak di lantai, dengan cekatan ia langsung membereskannya dan berpamitan kepada sang pemilik rumah.

“Kalana, punten kita pulang dulu. Mangga.” pamit Raka ramah pada Kalana.

Kalana yang melihat Ardan dan teman-temannya sambil menganggukan kepalanya, “Iya, Hati-hati, Raka.”

Seorang lelaki dengan berpenampilan begitu gagahnya tak luput juga di badannya tertutupi jaket kulit warna hitam sehingga terkesan ia begitu tampan. Lelaki itu turun dari motor sport miliknya dan mulai menghampiri pagar rumah berwarna putih. Ketika hendak mau menekan tombol bel rumah yang ada di depannya. Tiba-tiba seorang perempuan keluar dari arah rumah yang henda ia tekan tombol bel.

“Eh, si a' Ardan dateng lagi. Masuk a' sebentar ya.” ucap perempuan yang tak lain Chika.

Chika mulai melangkahkan kakinya menuju pintu pagar rumahnya. Ia mulai membukakan pintu pagar yang masih terkunci rapat namun tanpa di gembok kan oleh pemiliknya. Ia menggeser pagar rumahnya dengan begitu mudah. Chika kembali menatap ke arah lelaki didepannya untuk memerintah lelaki didepannya untuk memasuki halaman rumahnya.

“Masukin aja a' motornya, si teteh ada di dalem, lagi nungguin a' Ardan dari tadi,” goda Chika kepada lelaki yang tak lain adalah Ardan. Ardan tersenyum, “Begitu kah dia sehari-harinya, dek?”

“Iya siah a' terus si teteh suka nanya ke ibun,”

“Perihal apa?” tanya Ardan santai mengikuti langkah Chika.

“Tapi rahasia nyak a' ulah dibejakeun ka si teteh.” pinta Chika agar Ardan tak melaporkan dirinya pada kakaknya.

Chika mendekatkan badannya pada badan Ardan. Mulutnya mendekati telinga lelaki itu. Ardan mencondongkan badannya sedikit agar Chika bisa lebih leluasa untuk membisikan yang sesuai perkataannya. Wajah Ardan kini berubah menjadi menyeringai. Entah apa yang dibicarakan adik Kalana hingga tanpa mereka sadari jika seorang perempuan tengah menatap ke arah dua remaja yang masih asik saling berbisik satu sama lain.

“Chika, dipanggil ibun!” seru perempuan itu meneriaki nama Chika.

Ketika hendak asyik berbincang berdua, dari arah dalam rumah datang seorang perempuan dengan wajah kusutnya menghampiri kedua remaja yang masih asik berdiri di teras rumah yang bernuansa asri. Sesosok yang dipanggilnya kemudian menoleh ke arah sumber suara. Ia tersenyum.

“Tetehnya udah ada, ya udah Chika pergi dulu ya a',” Chika mencoba menegaskan pada Ardan agar menyembunyikan rahasia mereka berdua, “Janji jangan dibocorin.” lanjut Chika tegas.

“Siap, Chika. Rahasia aman.” balas Ardan dengan mengedipkan sebelah matanya pada Chika.

“Udah sana pergi, jangan ganggu!” perempuan yang tak lain adalah Kalana.

“Iya teteh bentar atuh, ini Chika juga mau pergi, teh. Aku pergi dulu ya a'. Assalamualaikum.”

“Waalaikumssalam,”

Setelah kepergian Chika yang sudah tak terlihat batang hidungnya entah pergi kemana. Ardan masih menatap ke arah Kalana yang masih menampakkan wajah galaknya. Kalana meninggalkan Ardan masih mematung di teras rumah. Namun dengan seketika Ardan sadar jika Kalana sudah meninggalkan dirinya sendirian dan kini tengah duduk di ujung sofa ruang tamu dengan memegang kertas putih ditangannya. Ardan menegakan badannya, ia mulai melangkahkan kakinya menghampiri Kalana. Tas selempang yang sedari tadi menemani punggungnya telah ia letakkan di atas meja dan tangannya mulai menggeluarkan secarik kertas yang sama seperti Kalana punya.

“Galak amat,”

“Terserah gua!”

Ardan melototkan matanya dan masih menatap ke arah Kalana yang mengucapkan satu kata itu dengan nada yang tinggi, “Merinding gua. Serem kaya emak-emak dipasar!”

“Bawel ... Udah buruan yang mana yang lu gak paham!” tanya Kalana ketus.

“Semua.”

“Hah!”

“Hah!”

“Apanya yang semua?” tanya Kalana lagi mencoba meyakinkan jika apa yang ia dengan tadi salah.

“Iya semua, gua gak ngerti.” balas Ardan polos.

“Belegug.” celoteh Kalana becanda.

“Apa lu bilang?” tanya Ardan seolah-olah tak mendengar perkataan Kalana.

“Gak ada. Ya udah lu baca dulu bagian lu, Dan.” Kalana tak menjawab pertanyaan Ardan. Ia malah mengalihkan perhatian Ardan untuk menjelaskan naskah.

Ardan menuruti arahan Kalana untuk berada di sampingnya. Ia kembali berdiri dan menghampiri perempuan itu tanpa mau protes seperti biasa. Kini matanya mulai menatap ke arah kertas untuk membaca naskah pada bagian dirinya tampil nanti.

Kalimat demi kalimat Ardan bacakan samping Kalana tanpa ada kesalahan sama sekali. Akan tetapi, Ardan terkadang selalu salah dalam memperagakan beberapa percakapan yang ada di dalam naskah.

“Salah Aryandra. Harusnya suara lu agak ditinggiin,” sanggah Kalana memprotes lalu memperagakan peran suara pangeran.

Ardan menggarukkan tengkuk kepalanya yang tak gatal, dengan sabar ia kembali membaca percakapan yang ada dalam naskah dan dengan sabar juga ia menunggu Kalana untuk mengkoreksi kesalahan yang ia tadi lakukan. Namun, Kalana mengangguk. Ia melanjutkan kembali percakapan demi percakapan dalam naskah.

“Coba sekarang bagian lu lagi, Kal. Biar gua bisa ngikutin.” tanya Ardan kembali duduk di sofa, lalu menunggu Kalana membacakan percakapan dalam naskah.

Kalana masih berdiri di depan Ardan. Ia membaca percakapan pada bagiannya. Tanpa wajah berdosa Ardan menguapkan mulutnya ketika Kalana masih membaca naskah. Ia malah memejamkan matanya.

“Ardan! Woy!”

Kalana berteriak sambil tangannya melemparkan bantal kecil yang tak jauh darunya berdiri pada Ardan. Ardan seketika sadar. Lalu kembali mengerjapkan matanya tanpa ada rasa bersalah ia menatap ke arah Kalana yang tengah memandang Ardan dengan wajah kesalnya.

“Dengerin gak sih gua lagi baca. Jangan tidur!” seru Kalana galak.

Ardan menganggukan kepalanya sambil terkekeh, “Ia sorry ngantuk gua. Udah sampe mana?” Ardan melototkan matanya dan kembali menatap secarik kertas di tangannya.

“Bagian Pangeran yang ketemu sama Putri sekarang.” ucap Kalana dengan ketus.

“Iya gua tau!”

Ardan membenarkan kembali posisi duduknya yang awalnya ia senderan di sofa, kini ia kembali duduk. Ardan mulai membaca lagi satu persatu percakapan yang ada dalam naskah. Begitu juga Kalana yang masih berdiri di depan Ardan dan mengikuti untuk membaca percakapan. “Maafkan saya Pangeran, tapi sepertinya kita tidak dapat lagi bertemu.”

“Kenapa Putri? Apakah kehadiran saya menganggu anda disini?” balas Ardan. “Lah itu bisa,” ujar Kalana sambil berkacak pinggang. “Ya udah coba lanjut lagi.” lanjut Kalana menyimak Ardan untuk baca naskah. Kini Kalana dan Ardan kembali membaca naskah hingga tanpa mereka sadari, dari masing-masing sudah bisa tanpa harus melihat percakapan di dalam naskah. Tanpa ada rasa canggung di antara keduanya. Baik Ardan maupun Kalana sama-sama asyik dalam latihan drama yang akan dilaksanakan 2 minggu lagi.

•••••

Kalana melangkahkan kakinya dengan begitu malas menuju lorong tempat dimana ia harusnya berada. Ia memasuki lorong dengan terdapat blok demi blok pintu kayu yang berwarna coklat tua. Wajahnya menunjukkan rasa malas ketika langkah kakinya mendekati sebuah pintu yang bertuliskan UKS.

“Kalau bukan karena Harshil males banget gua kesini!!” gumam Kalana berbicara pada dirinya sendiri.

Dengan begitu pelan dan hati-hati, Kalana mengetuk pintu UKS. Pandangan matanya menyita seluruh ruangan UKS yang tak begitu besar dan juga tak begitu kecil. Seorang lelaki tengah duduk di ranjang kecil dengan kaki yang mengeluarkan darah segar dengan luka yang membuat kakinya terlihat begitu membesar.

“Kalana udah dateng .. Segera obatin lukanya Ardan.” perintah kakak dokter yang ada di UKS.

“Loh kakak ada disini, kata Harshil uks gak ada yang jaga?”

“Hah? Kakak keluar sebentar tadi. Pas balik kesini Ardan udah duduk di ranjang,” jelas Kakak dokter yang jaga uks. “Dia gak mau kalo bukan kamu yang obatin.” Lanjutnya menberikan kotak P3K pada Kalana.

Kalana ingin protes tapi tak bisa. Pasalnya sang dokter sudah menyerahkan kotak obat yang seolah-olah dirinya yang harus mengobati luka Ardan. Kalana mendenguskan nafasnya tak suka namun harus ia segera mengerjakannya. Kini dirinya telah berada didepan Ardan yang masih sibuk meniup luka di lututnya yang masih mengeluarkan darah segar. Tak lama kemudian lelaki itu mendongakkan kepalanya sambil menatap ke arah Kalana. Ia mengernyitkan keningnya heran atas kehadiran Kalana di sini.

“Kenapa lu ada disini?” tanya Ardan heran.

Kalana masih terdiam dan malah memberikan kotak P3K pada lelaki didepannya. Dan menatap lelaki itu dengan begitu malas.

“Ada apa ini?”

“Harshil suruh gua kasihin ini ke lu. Nih udah kan?” ucapnya memberikan kotak ke pangkuan Ardan.

“Tunggu dulu!”

“Kenapa lagi?” tanya Kalana yang hendak pergi.

“Tangan gua kesusahan, bantuin gua lah.” Ardan menunjukkan kedua tangannya yang kotor. Bukan hanya kaki, akan tetapi lutut dan lengannya pun terdapat luka lembam membiru.

“Kenapa harus gua? Ada Kakak dokter.” protes Kalana.

“Lu aja, dia sibuk.” tunjuk Ardan pada Kakak dokter yang lumayan sibuk tengah membawa obat-obatan dari dalam lemari.

“Tungguin aja. Nanti juga gak sibuk.” balas Kalana mengelak.

“Kalana Pranika!” Ardan memanggil nama Kalana, dengan sombong dan sekuat tenaga dirinya mencoba berdiri, namun pijakannya goyah dan malah menarik tangan Kalana sehingga dirinya menjatuhkan badan Kalana membuat jarak wajah di antara keduanya begitu dekat, seperti tak ada yang mau saling melepaskan satu sama lain. Namun dengan cepat Kalana tersadar, tangan kecilnya langsung mendorong badan Ardan agar kembali duduk di ranjang kecil.

“Kalo gak bisa jalan, jangan dipaksain.”

“Gua bisa ...”

“Apa?!”

Ardan bungkam. Ia kembali duduk dengan wajahnya yang masam sambil menatap ke arah Kalana yang tengah membuka alat P3K dan mencari obat merah di dalamnya. Tangannya begitu terampil mengobati luka di kaki Ardan yang masih mengeluarkan darah segar. Ardan mengernyit kesakitan. Kalana yang kesal menatap ke arah mata Ardan dengan tatapan dingin.

“Bisa diem gak kakinya?” Kalana memprotes karena Ardan yang terus menerus tak mau diam.

“Sakit bego,”

“Sabar. Katanya gentle, sakit segini doang cengeng. Makanya kalo tanding itu gak usah pake emosi,” gumam Kalana penuh dengan penekanan.

Ardan melototkan matanya, “WOYY!!”

Kalana menyunggingkan senyuman jahilnya, ia malah mengabaikan teriakan Ardan yang kesakitan akibat perlakuan dirinya yang tengah mengobati luka di beberapa titik tubuh lelaki itu. Dengan bersusah payah, Kalana membaluti perban di lutut kaki Ardan. Namun karena dirinya kesal dengan tingkah Ardan, ia malah menepuk luka lelaki itu dan membuatnya kembali menjerit kesakitan.

“Udah beres.”

“Udah? Cepet amat!” jawab Ardan sombong.

“Jangan sombong. Mau gua tambahin lukanya?” tawar Kalana yang bersiap melayangkan tangannya hendak memukul lutut Ardan.

“Gak.”

“Oke. Udah kan? Gua gak dibutuhin lagi?” Kalana mulai membenarkan posisinya, dengan tangannya yang lihai ia membereskan kotak P3K dan menyimpannya di meja samping ranjang UKS. Ia rasa tak lagi ia dibutuhkan di sini. Namun, perkiraannya salah. Lelaki itu malah menatap ke arah Kalana dengan tatapan yang menyeramkan.

“Siapa bilang? Tuntun gua ke koridor, gua mau liat anak-anak main.” sanggah Ardan memerintah Kalana dengan melayangkan tangannya meminta untuk di papah.

“Hah? Lu nyuruh gua?”

“Selain lu yang ada disini, siapa lagi?” Ardan malah kembali bertanya, “Cepetan bantuin gua.” Lanjutnya tanpa aba-aba dari sang empu ia malah menarik tangan Kalana.

Kalana yang masih mempunyai hati nurani. Ia mulai menggalungkan lengan Ardan pada bahunya. membantu agar lelaki di depannya itu bisa berdiri dan berjalan. Ia mengikuti langkah Ardan berjalan dengan pelan dan sabar keluar ruang UKS tanpa mengubris beberapa orang yang ada di dalam ruangan tersebut menatap ke arah mereka berdua.

Hari Pertama Lomba

Hari kamis tanggal 22 Maret 2021, bertepatan dengan hari pertama Pekan Olahraga. Semua orang yang ikut andil dalam acara tengah menyibukan diri untuk mengikuti pertandingan-pertandingan yang akan dilaksanakan oleh masing-masing eskul di sekolah.

Begitu juga Kalana yang ikut berpartisipasi acara Pekan Olahraga sebagai perenang mewakili teman-temannya. Kini Kalana tengah bersiap-siap dengan pakaian renang dan tak lupa penutup kepala renang bahkan kacamata yang ia pakai untuk melaksanakan renang.

“Siap-siap ya semua.”

Panitia pelaksana memerintah peserta untuk bersiap-siap karena pertandingan akan segera dimulai. Kalana dan juga peserta lainnya telah menaiki dinding kolam, ia telah menggunakan kacamata renangnya dan saat pluit dibunyikan Kalana langsung menyeburkan diri dan berenang dengan cepat. Kalana dengan susah payah ia terus mengayuhkan lengannya dan berenang hingga garis finish. Ia tanpa lelah terus berbalik dan lawannya mulai kewalahan karena cara renang Kalana yang begitu cepat dan sampai duluan.

Suasana di kolam renang begitu ramai namun begitu tenang. Di bangku para penonton sudah banyak siswa dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas untuk menyaksikan pertandingan renang. Hari ini Kalana sebagai peserta mengawali pertandingan renang. Di dalam hatinya ia harus menang membanggakan sekolah dan keluarganya.

Prruuiiitttr... Pruuiittt...

Suara pluit terdengar jelas begitu nyaring di telinga semua orang yang berada disana. Termasuk Kalana yang sudah berada di garis finish, melewati lawannya yang agak jauh dari dirinya. Ia tersenyum bangga dan melepaskan kacamata renangnya sambil naik dari arah kolam renang.

“Iya tepuk tangan untuk semuanya, Kalana telah memenangkan pertandingan renang ini mengalahkan dari SMA Pelita Karya. Selamat untuk Kalana.” seru MC dari suara Mic yang berada di kolam.

Kalana tersenyum dan mulai melangkahkan kaki kecilnya menghampiri kedua sahabatnya yang sudah menunggu. Yeira mulai membalut badan Kalana dengan handuk putih disana. Tak selang lama, Pak Hendar yang tak lain adalah guru olahraga bahkan pelatih yang selalu menyemangati Kalana dateng menghampiri Kalana dengan wajah yang bahagia.

“Bagus Kalana. Tuhkan Bapak yakin kamu itu bisa.”

“Makasih Pak. Bapak juga sudah berperan penting disini,” balas Kalana dengan sopan.

“Ya udah sebentar lagi acara penyerahan medali. Kamu siap-siap ya!” perintak Pak Hendar kembali meninggalkan Kalana.

“Huaa sahabat aku bisa menang dapat medali emas.” seru Yeira bahagia sambil memeluk Kalana.

Irwan menghampiri Kalana dan membawa beberapa bingkisan. Dengan bersusah payah ia menaruh bingkisan berisi pisang goreng dan beberapa minuman air putih di meja samping Yeira duduk. Irwan terus membuat Kalana dan Yeira tertawa terbahak-bahak karena begitu bahagia pada saat itu.

“Kal, abis ini Marcus sama Ardan tanding volly. Liat yuk!” ajak Irwan sambil memakan roti yang ia bawa tadi.

“Ayo. Tapi abis penyerahan medali. Sekalian mandi dulu.”

Tiba-tiba terdengar suara MC yang memanggil nama Kalana dan peserta lainnya untuk penyerahan medali. Ia tersenyum ketika mendengar pengumuman. Dengan wajah tanpa bersalah dan bercanda, ia menyampirkan handuk miliknya pada wajah Irwan. Irwan yang menerima handuk hanya mengaduh kesal namun diselingi dengan gelak tawa.

“Udah-udah ayo, Kal, nama kamu udah di panggil aku anterin.” relai Yeira pada Kalana dan Irwan yang tengah becanda.

“Hahaha. Semangat Kalana,” Kalana tersenyum ke arah Irwan dan mulai melangkahkan kakinya bersama Yeira meninggalkan Irwan sendirian yang masih menatap ke arah kedua sahabatnya dengan tenang. Irwan mulai mengeluarkan ponsel layar sentuh miliknya dan memotret Kalana yang tengah berdiri di podium menunggu untuk Kepala Sekolah menyerahkan medali emas dan piala kepadanya. Kalana begitu bangga pada dirinya bisa mengharumkan nama Sekolahnya dan untuk dirinya sendiri. Bukan hanya dirinya akan tetapi untuk orang-orang sekitarnya.

•••••

Latihan Basket

Ardan mengendarai motornya dengan laju begitu kencang. Perlakuannya membuat sesosok yang berada di belakangnya menutup matanya sambil memeluk badan Ardan. Ide jahilnya berhasil membuat sosok itu tak berkutik.

Kalana — sesosok yang dengan mata terpejam. Perasaannya begitu takut karena Ardan begitu kencang mengendarai motornya. Ardan mulai melambatkan lajunya motor besarnya, ia mulai memasuki halaman parkir sekolahnya. Semua mata yang ada disana tertuju pada dirinya dan Ardan. Namun, mereka tak memperdulikan hal itu.

“Lu masih mau meluk gua?!!” ledek Ardan mencoba menjahili Kalana.

Dengan spontan Kalana melepaskan pelukannya, ia menatap ke arah Ardan dengan tatapan dinginnya dan mulai menurunkan dirinya dari motor sport milik Ardan. Langkah kakinya begitu tergesa-gesa sambil tangannya melepaskan pengait helm full face yang dipastikan milik Ardan, tangannya dengan cepat menyimpan helm di jok belakang motor Ardan dan berlari dari parkiran meninggalkan Ardan yang masih menatap kepergian Kalana.

“Dasar orang aneh!” Ardan menggelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah senyum menyeringgai. Ia mulai terbiasa dengan kehadiran Kalana yang membuatnya lebih berwarna dalam hidupnya. Sedetik kemudian ia berjalan dengan santai di koridor sekolahnya, banyak siswa-siswi yang berlalu lalang disana dan mulai membicarakan sosok tampan yang tengah melangkahkan kakinya menuju ruang ganti yang khusus di gunakan untuk jam olahraga.

Tak lama kemudian, Ardan sudah berganti pakaian dengan kaos oblong berwarna putih dan celana pendek longgar selutut yang membuat dirinya lebih tampan. Ardan melangkahkan kakinya sambil menepuk tangannya meminta kepada salah satu temannya untuk memberikan bola basket padanya.

Hari ini akan menjadi hari melelahkan bagi Ardan dan teman-temannya bagaimana tidak dalam waktu 6 hari ia harus menyelesaikan latihan basket dan melakukan tugasnya sebagai pemeran utama di penampilan drama teater yang merupakan acara penutupan pekan olahraga tahun ini.

“Oper ke gua,”

Lelaki itu menerima bola basket dari sahabatnya dan mulai berjalan menggiring bola menuju ring. Seketika bola masuk ke dalam papan ring. Ia kembali berlari mengejar bola yang tengah diiring oleh Marcus dan di oper pada Raka.

Satu jam sudah Ardan dan ke empat sahabatnya latihan basket, tidak hanya ada mereka disana. Banyak para siswa di kelasnya termasuk Marcus yang ikut berpartisipasi dalam latihan basket yang sebentar lagi akan dilaksanakan.

Ardan mendudukan dirinya di lantai yang mulai kepanasan karena cuaca yang begitu panas, ia menatap ke arah sahabatnya yang menunjuk ke suatu arah. Manik matanya mengikuti arah salah seorang sahabatnya — Harshil.

Namun Ardan mengalihkan pandangannya kembali pada sosok Kalana yang berjalan bersama seorang perempuan yang dipastikan sahabatnya. Perempuan itu berjalan menghampiri Ardan dengan tangannya yang tak kosong membawa kantung kresek berisi minuman pengisi tenaga.

“Eh, ada Kalana kesini? Tumben mau ketemu Ardan ya?” ledek Kamal sambil melirik ke arah Ardan.

“Gak usah kegeeran lu,” sanggah Raka memprotes karena perkataan Kamal.

Kalana tersenyum, “Ini gua bawa air minum buat kalian. Pasti haus kan?”

“Makasih, Kal tau aja kita lagi kehausan.” ujar Marcus senang yang langsung menghampiri Kalana berdiri.

Kalana memberikan satu botol minuman pada Marcus. Ia mulai melangkahkan kakinya menghampiri Harshil, Kamal, Raka dan Rajendra untuk memberikan minuman satu persatu. Namun ia melewati Ardan dan malah menyimpan botol di bangku, entah ia lupa atau karena suara panggilan Yeira membuatnya buyar dan lupa siapa yang belum Kalana berikan minum.

“Hahaha sabar ya, Dan.” Ardan mengepalkan tangannya tak suka karena perlakuan Kalana kepada dirinya dan teman-temannya sangat berbeda. Ia masih menatap ke arah Kalana dengan aura yang dingin seperti sesosok yang ingin menerkam mangsanya. Namun ia tak ingin terlihat oleh teman-temannya sedang marah dan kesal. Ekspresinya kembali berubah dan berjalan menuju bangku sambil tangannya mengambil botol minum yang hanya ada satu lagi.

“Biasa aja anjir, tinggal ngambil.” balas Ardan dengan ketus.

Ketika Ardan tengah membuka tutup botol dan mulai meneguk air mineral dari botol karena cuaca begitu panas dan tenggorokannya pun begitu kering setelah latihan basket. Matanya tertuju pada secarik kertas yang melingkar pada label minuman. Seketika ia menghentikan aktivitas minumnya, langsung menatap ke arah kertas putih dengan tinta berwarna biru.

Buat lu, Dan dari Ibun. Semangat latihannya — Kalana.

Kini tatapan dingin dan rasa kesalnya telah berubah hanya sebentar saja dan ia kembali menatap ke arah Kalana yang tengah bercanda bersama ketiga temannya tanpa memperdulikan dirinya. Di dalam hatinya entah ada rasa yang tidak bisa dijelaskan ketika melihat Kalana dan orang lain banyak berbincang, Ardan merasa dirinya sangat berbeda dari biasanya. Entah apa yang ia rasakan.

“Ooh cemburu ya,” celetuk Raka bercanda sambil melirik ke arah mata Ardan masih menatap ke arah Kalana.

“Gak ada gua cemburu.” Ardan berdalih.

“Gak usah bohong, Dan. Gua tau lu cemburu karena Kalana lebih deket sama mereka kan.” balas Rajendra ikut menanggapi jawaban Ardan yang ekspresinya berbeda ketika Kalana tak memberikan botol minuman untuk dirinya.

“Mana ada aing cemburu?! Hayu buru latihan lagi!!” Ardan mendelik sebal tak ingin melanjutkan lagi. Ia menyimpan kembali botol minuman dan kembali berlari menuju tengah lapangan. Ia bertepuk tangan serasa memanggil seluruh teman-temannya untuk kembali latihan.

Rumah Kalana

Cuaca sore hari itu begitu gelap, langit tak begitu bersahabat dengan alam. Suara hembusan angin begitu jelas terdengar di telinga semua orang yang berlalu lalang. Hari itu menandakan akan turunnya hujan yang begitu lebat.

Air menetes secara tiba-tiba dari arah awan hitam di atas langit. Semua orang yang berlalu lalang diluar ruangan mulai menghentikan aktivitasnya dan segera untuk meneduhkan diri mereka agar terhindar.

Akan tetapi, lain halnya dengan seorang anak lelaki yang terus melajukan motor sport berwarna hitam miliknya memasuki kawasan komplek perumahan Dago Giri — Griya Mas. Badannya yang basah kuyup tak ia pedulikan sama sekali, pikirannya begitu kalut. Ia begitu marah, namun tak bisa marah pada siapapun.

Motor sport hitam milik anak lelaki itu berhenti tepat didepan rumah bernuansa putih, ia turun dari motornya dan mulai menekan bel rumah yang berada tak jauh dari pagar rumah tersebut. Seorang wanita paruh baya datang dengan payung berwarna abunya menghentikan langkahnya sambil menatap ke arah anak lelaki didepannya.

“Bi, Kalana nya ada?”

“Ada. Masuk aja, den!” jawab wanita mulai membuka pintu gerbang. “Bibi panggilkan terlebih dahulu.” lanjutnya langsung langsung melangkahkan kakinya memasuki garasi rumah.

Anak lelaki itu mulai melangkahkan kakinya mendorong motor sport miliknya untuk memasuki halaman rumah bernuansa putih. Anak lelaki itu adalah Ardan, wajahnya begitu berantakan seperti sesuatu hal terjadi. Entah apa yang baru saja ia perbuat.

Ardan berjalan ke arah teras rumah bernuansa putih itu dan menduduki dirinya di lantai putih yang begitu mengkilat. Rambut yang berantakan, jaket bahkan seluruh pakaian yang ia pakai itu basah kuyup. Ia tak memperdulikan dirinya pada saat ini, ia hanya butuh untuk senderan. Namun dirinya tak menyangka, ia bisa sampai datang kemari.

“Ardan?” Seorang perempuan datang menghampiri Ardan yang masih memunggungi badannya.

Ardan menoleh kepalanya ke arah sumber suara, ia mulai berdiri dan menengakkan badannya. Tanpa rasa bersalah ia langsung memeluk badan perempuan didepannya. Perasaannya tak karuan, begitu kacau pikirannya saat ini. Ia hanya butuh pelukan pada saat ini. Sumber suara itu adalah Kalana.

“Apaan nih?!” protes Kalana mencoba melepaskan pelukan Ardan.

“Gua pinjem bahu lu.” seru Ardan dengan kepalanya ia enduskan di bahu Kalana. Kalana kembali terdiam, ia tak bisa berkutik karena badan Ardan yang begitu besar mengunci dirinya tak bisa bergerak sama sekali. Ia mencoba kembali mendorong badan Ardan dengan sekuat tenaga. Dan hasilnya nihil, ia tak kuat, begitu sulit untuk mendorong badan kekar milik lelaki didepannya.

“Ardan, bisa duduk dulu kan? Ngapain coba begini,” Kalana protes, ia tak suka jika dirinya akan sakit juga jika Ardan terus-terusan memeluk dirinya. Bukan hanya sakit, ia takut jika ibunya datang dan malah memikirkan hal yang tidak-tidak.

Tanpa mau ikut memprotes juga Ardan mulai melepaskan diri dari bahu Kalana yang bajunya ikutan basah karena air terus mengalir dari kepala lelaki itu. Secara tiba-tiba dan tanpa meminta persetujuan dari sang empu dirinya kini telah duduk di kursi rotan panjang depan rumah Kalana. Ia menepuk bangku di sampingnya yang kosong agar Kalana duduk disana.

Kalana menatap lama sosok lelaki yang berada di sampingnya itu tak mau berkutik dari tempat ia berdiri. Akan tetapi, lelaki didepannya kembali berdiri, tangan kekar dan panjang miliknya menarik tangan Kalana yang masih terdiam. Sejak sepuluh menit kedatangannya, belum ada tanda-tanda Ardan mau buka suara perihal alasannya yang mengapa ia ingin menemui Kalana padahal langit menunjukkan hujan yang begitu lebat.

Tatapan perempuan itu menyelidik setiap jengkal wajah Ardan yang begitu tampan dan gagah. Wajah dari lelaki itu nampaknya begitu berantakan dengan sudut bibir yang masih mengeluarkan darah segar. “Dan, lu kenapa?” Pada akhirnya Kalana memulai pembicaraan dengan bertanya pada anak lelaki disampingnya dan mencoba memegang bibir lelaki itu.

Ardan tak mengubris tangan Kalana, ia masih terdiam tak ingin menolak perlakuan perempuan disampingnya. Bahkan di dalam hatinya entah kenapa ia begitu nyaman.

“Bibir lu luka, obatin dulu. Bisa infeksi nanti.” seru Kalana dengan tangan masih memegang bibir Ardan.

“Lu diem aja. Gua cuman butuh senderan. Bukan obat!” Ardan meneriakI Kalana dan matanya kembali terpejam tanpa mengatakan sepatah kata lagi.

Kalana hanya mampu terdiam setelah mendengar kalimat yang di lontarkan dari mulut sosok lelaki yang ia kagumi. Tangan Kalana tak sengaja menyentuh pipi halus dari sosok lelaki disampingnya.

Tangan Kalana memijat tangan yang digunakan sebegai tumpuan kepala Ardan, matanya menatap ke arah Lelaki yang masih asyik memejamkan matanya. Langkah kaki dari arah dalam rumah membuat Kalana dengan segera reflek mendorong badan Ardan yang masih berantakan karena air hujan dengan begitu kuat.

Ardan tak menyadari akan hal itu, matanya penuh dengan rasa kekecewaan menatap death glare ke arah sosok perempuan di sampingnya. Kalana begitu risih karena ia tidak ingin di sangka yang tidak-tidak oleh suara langkah kaki yang terdengar semakin mendekat.

“Lana, temennya gak disuruh masuk?” suara langkah kaki itu adalah ibunya. Wanita paruh baya menghampiri Kalana dan Ardan yang masih berdiam diri di sofa teras depan. “Eh Ardan. Ibun kirain siapa. Ayo masuk, ibun buatin teh hangat juga ya!!” lanjut wanita paruh baya itu kembali masuk ke dalam rumahnya.

Di dalam hati Kalana begitu lega karena sosok ibunya datang, jika tidak ia akan berada diposisi seperti tadi yang membuat bahunya merasakan nyeri dan kaku karena perlakuan Ardan. Ia tak apa jika Ardan begitu namun masalahnya kepala lelaki itu besar, malah membuat bahu Kalana menjadi kaku.

“Kalana ajak masuk Ardannya!!” perintah wanita paruh baya itu lagi.

“Iya ibun.”

Ardan menatap ke arah Kalana dengan tatapan yang sulit diartikan masalahnya ia masih ingin berdua bersama perempuan disampingnya. Ia merasa Kalana adalah tempat ternyaman untuk dirinya. Jauh sebelum sosok Kalana hadir di hidupnya, ia tak pernah punya punya tempat tujuan selain makam ibunya. Akan tetapi, hari ini ia kembali menemukan sosok yang mampu berganti posisi dengan ibunya.

“Ayo masuk!!” ajak Kalana sudah berdiri dan menatap ke arah Ardan yang masih mematung. “Lama!! Gua masuk duluan!!” lanjut Kalana cuek dan meninggalkan Ardan sendirian memasuki ke dalam rumahnya.

Ardan melangkahkan kakinya ikut berjalan memasuki rumah sosok perempuan itu dan menatap ke setiap sudut ruangan yang terdapat barang-barang antik yang dapat ia temui disana. Langkah kakinya terhenti ketika menatap sebuah bingkai foto persegi panjang yang ada di meja kayu berwarna coklat yang menarik perhatiannya. Tak sadar Ardan menyunggingkan senyuman dan masih menatap bingkai foto itu.

“Cantik”

“Kenapa Ardan?”

“Foto ini cantik. Ini lu?” tanya Ardan penasaran sambil menunjuk ke arah bingkai foto berwarna biru muda.

“Itu Kalana waktu kecil, waktu itu dia lagi diajari sepeda sama ayahnya. Tapi malah gak bisa-bisa sampai sekarang.” jelas wanita paruh baya yang tak jauh dari Ardan berdiri. “Oh gitu ya bu.” Ardan menatap ke arah sampingnya malu-malu ternyata Kalana tak ada disana, hanya ada sosok wanita paruh baya dan seorang perempuan yang terlihat masih muda.

“Aa tau gak, si teteh tiap hari senyum-senyum sendiri di kamarnya sambil manggil-manggil nama Aa.” Cerita sesosok perempuan di samping dirinya yang ternyata ketauan oleh Kalana.

“Suka asal kalo ngomong. Pergi sana!!” usir Kalana pada sesosok perempuan di sampingnya dengan tangannya langsung menutup mulut sesosok itu.

Sebenarnya ia malu perihalnya sosok perempuan yang tak lain adalah adiknya sendiri tiba-tiba mengatakan hal itu di depan sosok lelaki didepannya, padahal adiknya itu tidak tahu menahu soal ia meneriaki nama Ardan. Dengan santai tangannya memberikan kaos berwarna hitam dan celana panjang pada lelaki itu.

Ardan masih mematung menatap ke arah Kalana yang memberikan kaos untuk dirinya, kemudian pergi meninggalkan dirinya sendiri. Ia tersenyum dan hatinya begitu bahagia berada di rumah ini. Rumah yang membuat dirinya nyaman.

Rumah yang membuat dirinya menjadi dirinya sendiri bukan orang lain. Bukan karena paksaan dirinya menjadi lebih dewasa. Ardan hanya berharap di dalam hatinya jika dirinya bisa berada di rumah itu selamanya.

Kantin

Seorang anak lelaki dengan keringat bercucuran membasahi kaos oblong dan celana pendek yang tak terlalu pendek berwarna putih miliknya. Dengan gagah dan penampilannya yang terkesan amat tampan ia kembali melakukan dribble dan memasukkan bola ke ring basket sehingga membuat para siswi yang masih duduk di bangku penoton bersorak kembali.

Anak lelaki itu adalah Ardan. Para idola siswi-siswi di sekolah SMAN NEO CULLTURE, bahkan sudah terkenal pula ia di mata sekolah-sekolah lain karena kepiawannya bermain basket. Ia pernah mengharumkan nama sekolahnya dengan membawa ratusan medali emas dan juara olimpiade pertandingan basket. Bukan hanya itu saja, ia pun menjuarai dalam lomba arsitektur.

“ARDAN!!” Teriak seorang anak lelaki dengan pakaian seragam mendekati ke arah Ardan.

Dengan seketika Ardan menghentikan aktivitasnya, ia berlanjut menghampiri sumber suara yang tak lain adalah Harshil temannya. Ardan melemparkan bola basket pada teman kelasnya yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri. Dengan wajah yang ketakutan teman sekelasnya menganggukkan kepalanya pelan menuruti perintah lelaki itu.

“Udah beres lu olahraganya?” tanya Harshil santai.

Ardan mengangguk, “Kantin yuk!”

“Ayoo, sekalian kan Kalana mau traktir gua makanan.” Perkataan Harshil berhasil membuat langkah kaki Ardan berhenti.

“Bisa kaga usah ngomongin dia,”

“Cemburu ye lu.” seru Harshil.

“Apaan anjir,” tukas Ardan kembali berjalan mendahului ke empat sahabatnya.

Harshil menggelengkan kepalanya sambil tersenyum menatap ke arah Ardan yang telah jauh berada darinya. Begitu pula para sahabatnya yang lain hanya menggelengkan kepalanya dan melangkahkan kakinya mengikuti ketua mereka. Ardan dan Barudak Neo untuk panggilan geng mereka mulai memasuki kantin. Kantin begitu ramai hari itu membuat dirinya makin di teriaku oleh para siswi disana. Bukannya membalas sapaan, Ardan dengan cueknya duduk di salah satu bangku kantin yang biasa mereka duduki.

“Pesen sana!!” perintah Ardan kepada Harshil.

“Duluan aja, gua masih nungguin Kalana,”

Kamal yang tengah duduk samping Ardan kembali berdiri, “Lu yang traktir kan, Dan?”

Ardan menganggukan kepalanya dengan begitu cuek. Matanya masih mengitari kantin yang banyak jajanan yang membuat semua orang yang berada di sana menjadi lapar mata dan ingin memesan segalanya.

“Pesenin gua Nasi soto, minumnya biasa es jeruk dingin,” ujar Ardan pada Kamal spontan.

“Gua mau ya, Dan” Raka ikut-ikutan minta di traktir oleh sahabatnya itu. Ia mencoba menggoda Ardan, dengan tatapan yang sangat dibenci oleh Ardan.

“Lu bisa beli sendiri ya anjir.” protes Ardan.

“Pelit amat lu.”

“Kalana!!” panggil Harshil dengan kedua matanya mengitari seorang anak perempuan yang baru memasuki area Kantin. Ardan menoleh ke arah sumber suara dan matanya kini ikut tertuju pada anak perempuan yang tak lain adalah Kalana.

Kalana tersenyum sambil mendudukan dirinya di samping Harshil duduk. Dengan santainya ia mengajak kedua temannya duduk di samping dirinya.

“Ada yang lain juga ternyata. Udah pesen makanan?” tanya Kalana ramah.

Harshil menggelengkan kepalanya, “Belum. Nungguin lu, gak ada duit gua,”

“Halah belaganya gak ada duit. Bohong dia mah,”

“Biasanya juga malakin gua.” celetuk Raka dengan menatap ke arah Kalana.

Kalana tertawa karena candaan teman-teman Harshil. Dan kini matanya tertuju pada seorang lelaki yang tentunya – Ardan. Lelaki yang mulai ia kagumi dan mungkin mulai ia sukai ketika dinyatakan ia akan berada di kelas X-B. Kalana hanya bisa menganggumi dan menyukai Ardan dalam diam, ia tidak boleh memperlihatkan jika dirinya itu suka itu saja.

“Ya udah lu pesen aja, nanti gua yang bayar. Sesuai janji.” Kalana melanjutkan perkataan dirinya yang sempat tertunda tadi.

“Yess, gua di traktir wleee.” ledek Harshil ke arah Ardan.

Sang empu yang Harshil ledeki hanya terdiam cuek matanya fokus pada makanan yang tengah ia santap. Ardan mendengar apa yang sahabatnya ledeki tanpa mau peduli apa yang sahabatnya ucapkan. Ia menganggap itu adalah hal seperti anak kecil.

“Dasar bocah,” gumamnya di dalam hati.

Harshil dengan buru-buru berdiri dan berlari menuju area kantin untuk memesan makanan, namun tak lama ia sudah kembali dan diikuti ibu kantin yang membawa beberapa makanan yang entah untuk dirinya atau siapa.

Ibu kantin mulai menyimpan nampan di atas meja dan mulai memindahkan kedua mangkuk ke arah depan Harshil. “Ini untuk lu, Kal. Soalnya udah traktir gua.” Raka menjitak tengkuk kepala Harshil, “Bego lu. Kan Kalana yang traktir,”

“Sakit bego,” Harshil mengaduh kesakitan.

“Udah berisik makan atau gak gua ambil makanannya?!” ucap Kamal yang mencoba mengambil mangkuk makanan milik Harshil.

“Cicing anjir, dahareun aing. (diem anjir, makanan gua)” protes Harshil langsung menyantap makanannya tanpa mau berbagi pada Kamal.

Semua yang ada disana tertawa karena tingkah laku Harshil. Seperti tak ada jarak di antara mereka. Namun, tak terkecuali Ardan yang masih asyik dengan ponsel milik pribadinya. Ia mencoba berpura-pura untuk memainkan ponsel miliknya. Akantetapi sedari tadi ia masih mendengar candaan dari para sahabatnya dan teman-teman Kalana yang ikut bergabung. Kalana pun ikut tertawa.

“Kenapa gua harus diem begini ya,” gumam Ardan di dalam hatinya yang kalut dengan perasaannya sendiri. “Udahlah gua pergi aja. Canggung gua disini.” lanjut Ardan masih bergumam dengan dirinya sendiri.

Ardan mulai menegakkan badannya, masih di tempat yang sama. Ia mengeluarkan dompet hitam miliknya dari saku celana pendek, tak lupa juga ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu yang kemudian di simpan di atas meja dengan agak kencang.

Semua orang yang berada di sepanjang bangku kantin langsung terdiam menatap ke arah Ardan. Suasana menjadi tegang kembali ketika Ardan berjalan lunglai meninggalkan uang dan teman-temannya yang masih terpaku.

“Dan kemana lu?” teriak Rajendra sambil menunjukkan beberapa lembar uang yang Ardan simpan tadi.

“Ke kelas, ngantuk.” balas Ardan tak kalah meneriaki dan kini badannya sudah hilang tak terlihat dari arah Kantin.

Di rumah Kalana

Kini motor sport milik Ardan telah sampai di komplek perumahan Griya Mas yang tak begitu mewah namun begitu asri untuk ditinggali.

Kalana menunjuk jarinya ke arah rumah yang berwarna putih, berlantai satu dan pagar berwarna putih yang meninggalkan kesan yang begitu mewah.

Tanpa berlama lagi Ardan langsung menghentikan motor miliknya tepat di depan halaman rumah milik perempuan didepannya. Kalana turun dari motor dan mulai menekan bel rumahnya, hingga terdapat seorang wanita paruh baya dengan berpakaian daster keluar dari arah garasi dan mulai membuka pintu gerbang.

“Eh neng Kalana udah pulang temennya di suruh masuk neng” perintah wanita paruh baya itu.

“Iya bi, masukin motornya, Dan.” Kalana mendahului Ardan memasuki perkarangan rumahnya.

Ardan tanpa berlama lagi berlanjut mendorong motornya tanpa menyalakan mesin motornya. Ia mulai mengikuti langkah kaki perempuan di depannya.

Mereka berdua telah masuk ke ruangan yang tak begitu besar dan terdapat foto keluarga yang terpampang tepat samping dinding tempat ia berdiri.

“Kalana temennya di suruh duduk dong” ujar seorang wanita paruh baya datang menghampiri Kalana dan Ardan. Kalana menyalami tangan wanita paruh baya itu dan Ardan pun mengikuti menyalami wanita di depannya.

“Iya ibun.”

“Gak apa-apa tante” balas Ardan sopan dan langsung duduk di sofa samping seorang wanita yang dipanggil Ibun oleh Kalana. Dan ia bisa menyimpulkan jika itu adalah ibunya Kalana.

“Siapa namanya? Gak biasanya Kalana bawa temen lain ke rumah. Biasanya cuman Marcus, Yeira sama Irwan ya?” tanya ibun Kalana.

“Ah iya tante, nama saya Ardan. Saya baru pertama kali kesini.” balas Ardan sopan.

“Oh gitu ya. Ya udah di lanjut aja, tante ke belakang dulu lagi masak. Nanti Ardan ikut makan siang disini ya!” tawar sang Ibun Kalana pada Ardan.

Dengan sopan Ardan berusaha menolak, “Gak usah tante gak perlu repot-repot.”

“Terima aja sih, Dan” ujar Kalana malas dan sudah keluar dari salah satu pintu berwarna putih. “Udah mama masak lagi sana. Kalana mau ngerjain tugas dulu,” Lanjut Kalana mengusir secara halus sang Ibun untuk segera ke dapur.

Ardan hanya tersenyum menatap ke arah Kalana dan Ibunnya, ia begitu senang melihat interaksi antara anak dan ibu seperti mereka. Begitu terasa kehangatan keluarga baginya.

Kalana datang menghampiri Ardan yang kini tengah sibuk memainkan ponsel miliknya. Ia menggelengkan kepalanya tak suka ketika Ardan yang begitu fokus dengan ponsel layar sentuh. Kalana mengetuk meja untuk menyadarkan Ardan yang masih asyik dengan aktivitasnya.

“Hello jadi gak nih ngerjain!”

Ardan menoleh sambil menganggukan kepalanya, ia menyimpan ponselnya ke dalan saku celananya. Kini lelaki itu menatap ke arah Kalana yang sibuk dengan kertas persegi panjang di atas meja.

“Iya jadi,” balas Ardan cuek. “Oh iya gua hampir lupa ini dompet lu dari si Harshi.” lanjut Ardan sambil mengeluarkan sebuah barang persegi berwarna hitam pada Kalana.

Kalana menoleh ke arah Ardan dan menatap ke arah barang yang ada di tangan lelaki didepannya itu. Tanpa mau berlama lagi dengan sigap tangannya langsung meraih barang di tangan lelaki didepannya. “Makasih Ardan. Bisa taro aja di meja!”

“Berani juga nih cewek, untung cantik.” gumam Ardan di dalam hatinya. Ardan kembali menggelengkan kepalanya dan kembali beralih ke arah Kalana yang fokus dengan kertas berwarna putih persegi panjang.

“Tugas gambar apa emangnya?” tanya Ardan agak ketus.

“Ini peta dunia, tapi kita juga harus gambar dan jelasin isinya apa aja.” jelas Kalana dengan mata masih menatap ke arah kertas didepannya.

“Oh ya udah, soal gambar biar gua yang urus. Nanti lu tinggal kerjain penjelasannya,” Ardan mencoba mengambil kertas persegi panjang yang masih kosong yang ada di sisi kanan Kalana. Ia mulai mencoret gambar peta dunia yang diperintahkan oleh gurunya.

Kalana terdiam menuruti apa permintaan Ardan, entah kenapa dirinya tak bisa menolak dan langsung menatap ke arah mata Ardan yang dengan teliti pada kertas didepannya tanpa mengedipkan matanya sedikit pun.

Di rumah Kalana

Tak selang beberapa lama motor milik Ardan telah sampai di komplek perumahan Griya Mas yang tak begitu mewah namun begitu asri untuk ditinggali.

Kalana menunjuk jarinya ke arah rumah yang berwarna putih, berlantai satu dan pagar berwarna putih yang meninggalkan kesan yang begitu mewah.

Tanpa berlama lagi Ardan langsung menghentikan motor miliknya tepat di depan halaman rumah milik perempuan didepannya. Kalana turun dari motor dan mulai menekan bel rumahnya, hingga terdapat seorang wanita paruh baya dengan berpakaian daster keluar dari arah garasi dan mulai membuka pintu gerbang.

“Eh neng Kalana udah pulang temennya di suruh masuk neng” perintah wanita paruh baya itu.

“Iya bi, masukin motornya, Dan.” Kalana mendahului Ardan memasuki perkarangan rumahnya.

Ardan tanpa berlama lagi berlanjut mendorong motornya tanpa menyalakan mesin motornya. Ia mulai mengikuti langkah kaki perempuan di depannya.

Mereka berdua telah masuk ke ruangan yang tak begitu besar dan terdapat foto keluarga yang terpampang tepat samping dinding tempat ia berdiri.

“Kalana temennya di suruh duduk dong” ujar seorang wanita paruh baya datang menghampiri Kalana dan Ardan. Kalana menyalami tangan wanita paruh baya itu dan Ardan pun mengikuti menyalami wanita di depannya.

“Iya ibun.”

“Gak apa-apa tante” balas Ardan sopan dan langsung duduk di sofa samping seorang wanita yang dipanggil Ibun oleh Kalana. Dan ia bisa menyimpulkan jika itu adalah ibunya Kalana.

“Siapa namanya? Gak biasanya Kalana bawa temen lain ke rumah. Biasanya cuman Marcus, Yeira sama Irwan ya?” tanya ibun Kalana.

“Ah iya tante, nama saya Ardan. Saya baru pertama kali kesini.” balas Ardan sopan.

“Oh gitu ya. Ya udah di lanjut aja, tante ke belakang dulu lagi masak. Nanti Ardan ikut makan siang disini ya!” tawar sang Ibun Kalana pada Ardan.

Dengan sopan Ardan berusaha menolak, “Gak usah tante gak perlu repot-repot.”

“Terima aja sih, Dan” ujar Kalana malas dan sudah keluar dari salah satu pintu berwarna putih. “Udah mama masak lagi sana. Kalana mau ngerjain tugas dulu,” Lanjut Kalana mengusir secara halus sang Ibun untuk segera ke dapur.

Ardan hanya tersenyum menatap ke arah Kalana dan Ibunnya, ia begitu senang melihat interaksi antara anak dan ibu seperti mereka. Begitu terasa kehangatan keluarga baginya.

Kalana datang menghampiri Ardan yang kini tengah sibuk memainkan ponsel miliknya. Ia menggelengkan kepalanya tak suka ketika Ardan yang begitu fokus dengan ponsel layar sentuh. Kalana mengetuk meja untuk menyadarkan Ardan yang masih asyik dengan aktivitasnya.

“Hello jadi gak nih ngerjain!”

Ardan menoleh sambil menganggukan kepalanya, ia menyimpan ponselnya ke dalan saku celananya. Kini lelaki itu menatap ke arah Kalana yang sibuk dengan kertas persegi panjang di atas meja.

“Iya jadi,” balas Ardan cuek. “Oh iya gua hampir lupa ini dompet lu dari si Harshi.” lanjut Ardan sambil mengeluarkan sebuah barang persegi berwarna hitam pada Kalana.

Kalana menoleh ke arah Ardan dan menatap ke arah barang yang ada di tangan lelaki didepannya itu. Tanpa mau berlama lagi dengan sigap tangannya langsung meraih barang di tangan lelaki didepannya. “Makasih Ardan. Bisa taro aja di meja!”

“Berani juga nih cewek, untung cantik.” gumam Ardan di dalam hatinya. Ardan kembali menggelengkan kepalanya dan kembali beralih ke arah Kalana yang fokus dengan kertas berwarna putih persegi panjang.

“Tugas gambar apa emangnya?” tanya Ardan agak ketus.

“Ini peta dunia, tapi kita juga harus gambar dan jelasin isinya apa aja.” jelas Kalana dengan mata masih menatap ke arah kertas didepannya.

“Oh ya udah, soal gambar biar gua yang urus. Nanti lu tinggal kerjain penjelasannya,” Ardan mencoba mengambil kertas persegi panjang yang masih kosong yang ada di sisi kanan Kalana. Ia mulai mencoret gambar peta dunia yang diperintahkan oleh gurunya.

Kalana terdiam menuruti apa permintaan Ardan, entah kenapa dirinya tak bisa menolak dan langsung menatap ke arah mata Ardan yang dengan teliti pada kertas didepannya tanpa mengedipkan matanya sedikit pun.

Pergi ke rumah Kalana

Treeeeenngg.. Treeengg.. Treeng...

Suara bel sekolah berbunyi menandakan kegiatan sekolah telah berakhir. Jam dinding di ruang kelas yang bertuliskan X-B menunjukkan pukul 15.00. Deru suara langkah kaki terus bergemuruh dari seluruh para siswa dan siswi berhamburan keluar kelas mereka masing-masing.

Tidak lain halnya dengan Kalana yang buru-buru memasukkan seluruh perlengkapan sekolahnya pada tas ransel berwarna abu miliknya. Ia segera menutup tasnya dan mengambil ponsel miliknya yang ada di atas meja tanpa mengabaikan panggilan temannya.

“Kal maau kee..” Belum sempat temannya berbicara, Kalana sudah pergi keluar dari kelasnya.

Kalana mengikuti langkah kaki Ardan yang lumayan jauh darinya. Ia mencoba menyeimbangkan langkah kaki Ardan namun sangat sulit untuk diikuti. Nafasnya terenggah-enggah karena ingin mencapai langkah kaki panjang lelaki yang sudah berjalan lebih dahulu meninggalkan dirinya. Hingga sampai dirinya diparkiran motor sekolah mereka.

“Mana tuh anak” Ardan memprotes kepada Kalana yang belum datang dengan mata menoleh ke arah jam ditangannya. Namun dengan sigap tangan Kalana menepuk bahu lelaki didepannya, Ardan menoleh ke arah belakang dirinya karena ada tangan yang mencoba menepuk bahunya.

“Gua disini” tanggap Kalana santai.

“Sejak kapan lu ada disitu?” tanya Ardan ketus.

“Tadi” balas Kalana lagi.

“Oh. Ya udah ini pake” Ardan memberikan helm pada Kalana dengan begitu cuek. Kalana mengambil helm kecil di tangan Ardan. Kemudian tangannya memasang helm milik lelaki berwarna hitam dikepala Kalana tanpa mau membantu memasangkan pengaitnya. Kalana terus berusaha, tapi nihil. Bukannya terpasang, pengait helmnya selalu lepas.

“Ck!!” Ardan menatap ke arah Kalana sambil meledek perempuan didepannya yang kesulitan memasang pengait helmnya, dengan sigap ia mulai mempersingkat jarak wajahnya dengan wajah Kalana sehingga hanya tinggal beberapa senti saja.

“Mau ngapain lu? Gak usah deket-deket!!”

“Gua mau masang pengaitnya, bisa diem kaga, bawel!!” Ardan mengoceh protes, ia masih mendekatkan wajahnya pada wajah perempuan didepannya itu tanpa ada rasa bersalah. Tangannya masih asyik dengan kegiatannya mengaitkan helm miliknya pada kepala Kalana. Namun tak selang berapa lama ia telah menyelesaikan kegiatannya, dan mulai menjauhkan dirinya dari wajah perempuan didepannya.

Ardan menyungingkan senyuman tipis saat melihat wajah perempuan didepannya. Dengan otak jahilnya Ardan mulai mengatur strategi untuk menjahili Kalana yang masih diam mematung.

“Kayanya disini kaga ada jualan seafood, tapi kok ada kepiting rebus ya” ledek Ardan sambil menaiki motor sport miliknya.

“Sialan lu!!” balas Kalana memukul punggung Ardan. Ardan mengaduh kesakitan karena pukulan Kalana yang lumayan keras.

Ardan kini melanjutkan tatapan matanya ke arah Kalana sambil melipatkan tangannya didadanya, “Sakit anjir. Muka di sebut kepiting rebus aja marah. Ayo buruan keburu ujan.”

Dengan perasaan masih marah dan menahan malu, Kalana menaiki motor Ardan dengan posisi badannya yang miring. Tangannya memegang kedua bahu Ardan dengan hati yang kalut karena takut lelaki didepannya ini risih. Namun, Ardan menoleh ke arah Kalana ketika merasakan tangan perempuan itu berada di bahunya, ia merasa geram dan memprotes cara duduk perempuan itu.

“Duduknya bisa kaga yang kaya biasa aja!” protes Ardan membentah perempuan di belakangnya.

“Serba salah ayo buruan jalan aja sih.” balas Kalana tak mau kalah.

“Ya udah pegangan yang bener nanti jatoh, gua kaga mau tanggung ya.”

Tanpa menunggu jawaban dari Kalana, Ardan langsung menyalakan mesin motornya. Ia tak lupa menekan gas dan rem bersamaan hingga reflek Kalana melingkarkan tangan miliknya pada pinggang Ardan.

Ardan tersenyum jahil di balik helm full face berwarna hitam miliknya. Tanpa rasa bersalah ia langsung menginjak gas motornya dan melaju menuju rumah milik Kalana untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru.