staillry

Mobil hitam milik Ardan berhenti tepat di depan halaman rumah miliknya. Sebelum turun, keduanya masih terdiam di dalam mobil. Kalana masih belum tersadar menatap ke sekeliling rumah Ardan yang lebih besar dari rumahnya. Jarak antara pagar rumah dan halaman depan rumahnya pun begitu jauh. Kalana tertegun tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.

“Ayo turun, jangan diem aja!” Akhirnya suara Ardan mampu membuyarkan lamunan Kalana.

Tanpa mau menjawab, Kalana membuka pintu mobil dengan mata tak lepas dari pandangan taman rumah Ardan yang luas. Disana ia melihat mobil terjejer begitu rapih dari yang sedan hingga jeep pun ada.

Ardan menatap Kalana. Wajahnya tersenyum sambil mengenggam tangan Kalana tak mau melepaskan sama sekali. Langkah kakinya terhenti ketika melihat seorang perempuan yang tengah membuka pintu rumah bernuansa modern itu. Perempuan itu tak lain adalah Adena. Ardan yang mengetahui kakaknya sudah ada di rumah terlebih dahulu mendenguskan nafasnya kesal. Kehadiran kakaknya itu begitu menganggu baginya.

“Ehh Kalana yang suka di ceritain Ardan ya?!” Tanya Adena ramah.

Kalana yang begitu asing dengan Adena hanya menganggukan kepalanya sambil mengayunkan tangannya untuk salam pada Adena. “Iya, teh.”

“Ayo masuk atuh, biarin si Ardan mah, kamu sama teteh aja.” ujar Adena merangkul bahu Kalana dan meninggalkan Ardan sendirian mematung.

“Teh, anjir kan Ardan mau belajar!” Ardan pun berlari masuk ke dalam rumah, mengikuti Adena dan Kalana yang sudah berjalan terlebih dahulu.

“Kalana duduk disini ya, teteh suruh bibi bawa minum dulu!”

“Eh teh gak usah ngerepotin,”

“Udah sana anjir! Gua mau belajar!”

“Belajar apa belajar.” Ledek Adena yang kabur dari Ardan karena takut adiknya itu akan marah seperti biasanya. Kalana yang masih berdiri dan melihat keributan Kakak dan beradik itu hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya tak heran. Karena hal itu sama percis seperti keadaan dirinya dan sang adik.

“Ya udah ayo katanya mau ajarin Lana mata kuliah matbis,” ujar Kalana pada Ardan.

“Ya udah duduk dulu. Ardan ganti baju dulu, gerah.” Belum juga Kalana menjawab. Ardan sudah melenggang pergi menghilang dari tempat ia berada. Mungkin ini dinamakan ruang tamu karena ukurannya begitu luas.

Tak lama Kalana menunggu, Ardan kembali datang sambil membawa beberapa buku dan buku memo berwarna hitam. “Loh gak duduk?” Tanya Ardan yang sudah duduk di sofa kursi yang menghadap keluar pintu rumah.

“Sambil liat-liat. Ya udah ayo ajarin!” Balas Kalana yang kini sudah duduk di sofa panjang samping Ardan duduk.

“Ini contoh soalnya yang mana ya?” Tanya Kalana sambil membuka buku paket yang tertera bertuliskan Matematika Bisnis.

“Halaman 203. Disitu ada soalnya,”

“Oh ini dapet. Ardan ngerti?” Ardan menganggukan kepalanya, tangannya mengeluarkan buku catatan berwarna hitam yang isinya lengkap lembar jawaban dari soal buku paket.

“Lah, Ardan udah ngerjain? Ajarin dong!” Pinta Kalana membuat jantung Ardan begitu kencang. Bagaimana tidak jarak di antara keduanya begitu dekat. Duduk berdampingan di lantai sambil wajah Kalana menampilkan wajah yang begitu menggemaskan baginya.

“Iya boleh, tapi jangan deket gini. Ardan susah!”

“Oh hehehe maap lupa.”

“Sama kaya tadi Bu Aida jelasin. Ini no 1 menurut Kalana apa maksudnya?” Ardan menyodorkan soal pada Kalana. Kalana sedari tadi menyimak langsung mengambil buku dan mulai membacanya.

“Ini tuh nilai rata-rata kan. Terus abis gitu di cari nilai untuk penambahan datanya. Benerkan?” Jawab Kalana sambil kembali melontarkan pertanyaan pada laki-laki di sampingnya.

Ardan menganggukan kepalanya sebagai jawaban. “Ya udah coba sekarang Kalana kerjain sampe no 3. Kalo nggak bisa tanya aja.” Kalana tak menjawab perintah Ardan, tapi dirinya langsung mengambil pensil dan kertas kosong untuk mengerjakan soal apa yang di perintahkan oleh Ardan.

Ardan terus menyimak memperhatikan setiap jengkal mata Kalana yang sangat fokus pada soal didepannya. Dirinya terus bermonolog jika saja tak ada kejadian dua tahun lalu, mungkin ia sudah menjadikan perempuan itu adalah miliknya seutuhnya.

Lamunan Ardan tersadar ketika Kalana menghembuskan nafasnya seperti sedang kelelahan karena mengerjakan matematika. Pelajaran yang paling di bencinya.

“Fiuh.. Susah juga, mending ngerjain PKN aja. Soal UAS besok susah gak yaa?” keluh Kalana dengan ekspresi yang sedih.

“Ini mah gampang. Lagian soal UAS nanti nggak kan beda jauh kayanya.” Tukas Ardan sambil menarik kertas di depan Kalana.

Ardan menyipitkan matanya waktu menatap jawaban yang ditulis Kalana. Begitu terheran dengan jawaban yang ada pada kertas. Bukannya menjawab, tapi Kalana hanya menulis kata-kata yang membuat semua orang geleng-geleng kepala. Sang pelaku yang kini berada di samping Ardan hanya nyengir tanpa ada rasa berdosa, wajahnya yang begitu gemas membuat lelaki itu mabuk kepayang dibuatnya.

Langit kota Bandung kala itu terukirkan dengan indah. Bagaimana tidak? Matahari begitu terik, awan pun terbentuk dengan begitu indahnya. Suara burung berkicau begitu merdu, yang meninggalkan kesan begitu sejuknya udara di pagi hari.

Suara dari arah tanah yang kering terseret ke arah belakang dengan begitu pelan. Sumber suara itu merupakan langkah kaki dan terhenti ketika tas berwarna hitam menekan ke arah pohon di taman belakang sekolah mereka. Kakinya gemetaran, keringat bercucuran. Perasaan yang ketakutan menyelimuti pemilik langkah kaki itu. Seorang lelaki dengan kaos berwarna kuning, rompi berwarna hitam dan celana jeans hitam longgar tak lupa juga topi yang ia kenakan, namun, terkesan ia seperti anak cupu. Dirinya di kerubuni beberapa lelaki yang sama menggenakan baju hitam lusuh, yang mengesankan anak yang badung.

“Nama kamu siapa?” tanya salah seorang wanita yang sedang melipatkan tangannya dengan tatapan yang mengintimidasi lelaki didepannya.

“Alyandla Janaldana Dapindla.”

“Hah? Naon? Teu kadenge?”

“Aryandra Janardana Davindra. Panjang amat kaya kereta api,” ucap salah seorang lelaki disamping perempuan tadi sambil membaca ktp yang ia keluarkan dari dompet lelaki yang bernama Aryandra Janardana Davindra.

“i..y..a,” balasnya terbata-bata.

“Yang tegas kalau ngomong!” Seorang lelaki di depannya meraih topi milik lelaki itu.

“Iya kak nama thaya Alyandla Janardana Davindla, sering dipanggil Aldan.” Jelasnya dengan terbata-bata dan suara seperti anak kecil.

“Anjir cadel euyy (wah cadel),” seru salah seorang lelaki yang berpenampilan berandalan, kemeja hitam di keluarkan, kancing baju yang tidak di kancingkan dan memakai kaos dalam berwarna putih.

“Euy, si eta budak nu beunghar aing nyaho si eta sok turun tina mobil alus mun ka kampus. Urang geus boga dompetna, tinggali ieu duitna loba. (euy, dia anak orang kaya, gua tau dia suka turun dari mobil bagus. Gua udah punya dompetnya, liat ini uangnya banyak),” ucap salah satu teman mereka yang tengah duduk di salah satu bangku berwarna hitam yang telah usang sambil menunjukkan beberapa lembar uang ratusan ribu. “Janan kak, Aldan ndak ada uang agi. Thaya bucan anak olang kaya.” ucap Ardan ketakutan mencoba berbohong tangannya berusaha menahan tasnya agar tak di ambil oleh kawanan yang di depannya.

“Cicing maneh (diem lu)!!!” Ardan berjalan ke arah lelaki yang masih duduk di kursi lusuh itu dan mencoba meraih dompet yang dipegang salah seorang pria yang masih memegang beberapa lembar uang miliknya . Namun bukannya mendapatkan uang itu, Ardan malah kembali terpojok karena salah seorang wanita mencoba mengangkat kerah milik Ardan dan juga tangannya mengacak rambut Ardan yang sudah rapih di sisir.

“HEY!!”

Suara itu membuat semua orang yang berada di tempat itu menghentikan aktivitasnya. Ardan dengan penuh keberanian menatap ke arah sumber suara. Begitu pula semua orang yang berada di sana ikut menatap.

“Rek naon maneh? Ulah ngilu campur urusan arurang (Mau apa lu? Jangan ikut campur urusan kita)” ujar salah seorang perempuan yang ada disana menghampiri sumber suara.

“Aing rek naon? Kumaha aing weh, bebas pan aing rek naon didieu!! (gua mau apa? Gimana gua aja, bebas kan aku gua ngapain disini!!)” jelas perempuan dengan sweater cream lengan panjang tak lupa ia gulungkan dan juga celana jeans biru. Bahkan tak lupa juga rambut yang ia ikat sehingga terkesan ia terlihat tomboy.

Dengan penuh keberanian Kalana mulai menghampiri ke arah para remaja yang masih mengerubuni Ardan. Ia melipat tangannya dengan tatapan yang meledek ke arah remaja yang bisa nya hanya membully orang-orang yang lemah saja.

“Maraneh teh meuni resep pisan majeg duit batur (Kalian tuh suka banget malak uang orang)?” protes Kalana tak suka sambil matanya menatap ke arang semua orang yang ada di depannya dengan tatapan sinis.

“Lamun arurang resep majegan duit batur, naon urusanna jeung maneh (kalau kita suka malak uang orang, apa urusannya sama lu)?!!” tanya seorang lelaki yang berusaha meraih sweater depan Kalana.

Kalana memberikan tatapan meledek ke arah lelaki di depannya yang tengah menarik bagian leher sweaternya. Dengan sekuat tenaga ia melepaskan tangan lelaki itu.

“Kayanya bentar lagi polisi dateng. Soalnya gua udah telepon om gua buat dateng kesini.” ujar Kalana dengan tegas mencoba menakuti semua orang di depannya.

“Hayu geus balik. Sieun urusanna jeung polisi mah. Geus meunang iyeu duitna pan (udah ayo pulang. Takut lah kalo urusannya sama polisi. Udah dapet ini kan uangnya)?”

Salah satu temannya berusaha untuk mengajak semua orang yang ada di sana tak terkecuali Kalana dan Ardan yang masih ketakutan karena tingkah preman yang sering meresahkan warga sekitar.

Setelah semua orang di sana pergi Ardan yang masih terdiam karena ketakutan dan menjatuhkan dirinya ke tanah kering karena cuaca, kakinya begitu lemas. Ia tak pernah berfikir jika dirinya akan di bully seperti ini.

“Maathih kak,” ucap Ardan pelan sambil menatap ke arah Kalana.

“Kamu lucu pisan dek pantesan mereka ngebully kamu.”

Ardan kembali terdiam tak menjawab lagi perkataan perempuan di depannya. Matanya tak fokus dan hanya menatap ke depan dengan tatapan mata yang kosong. “Ayo berdiri, lain kali kalau ada yang ngebully lagi lawan mereka!!” Kalana berusaha untuk memberikan antisipasi kepada Ardan.

Ardan terdiam tak menanggapi pembicaraan Kalana. Perempuan di depannya membuka tas miliknya dan mengeluarkan selembar kertas dan tak lupa pulpen juga. Ia mulai menuliskan sesuatu lalu tak lama ia menyerahkan kertas itu kepada Ardan.

“Inih apha kak?” tanya Ardan.

“Itu no ponsel saya. Panggil saja nama saya Kalana, kalau ada apa-apa hubungi saya saja,” jelasnya sambil memasukkan kembali peralatan yang tadi ia keluarkan ke dalam tas. “Kalau gitu saya duluan ya. Kamu hati-hati disekitar sini banyak copet.” lanjut Kalana berjalan meninggalkan Ardan sendiri.

Ardan yang baru menyadari jika Kalana sudah berjalan meninggalkan dirinya. Ia dengan secepat kilat membereskan seluruh barang miliknya ke dalam tas. Dan mencoba untuk menyusul Kalana, namun sayang sekali langkahnya begitu lambat sehingga ia tak lagi melihat batang hidung perempuan tadi yang membantu dirinya tak lagi terlihat sama sekali. “Apa itu lu Kal?”

•••••

Cahaya Matahari menyinari sebuah ruangan yang lumayan besar dari sela-sela jendela. Disana terdapat seorang lelaki yang tengah terbaring lemah dengan tabung oksigen yang menempel pada hidung mancungnya. Wajahnya begitu tampan, putih bersih, bulu matanya yang panjang dan terlihat sangat lentik membuatnya sangat disayangkan harus terus terbaring lemah.

Ardan — anak lelaki yang terbaring lemah tak berdaya itu masih tak ada tanda-tanda akan bangun. Disana dirinya tak sendirian, ada empat orang anak lelaki yang masih memakai seragam putih abu tengah tertidur pulas di sofa tak jauh dari Ardan yang masih terbaring.

Tak selang beberapa lama, tangan Ardan bergerak dengan begitu lemah. Matanya pun terbuka secara perlahan seperti kebingungan sedang berada dimana dirinya? Begitu terkejutnya Ardan yang melihat terdapat ke tiga sahabatnya yang tertidur di sofa dan ada seorang lelaki yang tertidur dengan menyenderkan kepalanya di samping Ardan terbaring.

“Har!” Suara paraunya mencoba membuka tabung oksigen, namun tangannya begitu lemah sehingga membuatnya tangannya membentur kepala lelaki yang terlelap disampingnya.

“Anjing, Raka man..” Harshil mengerjapkan matanya sambil melihat ke arah sumber yang tangan yang tak sengaja menjitak kepalanya. Betapa terkejutnya dirinya mendapati sahabatnya itu sudah membuka matanya setelah tidur panjang semua orang nantikan.

“Ardan! Geus hudang maneh. Mana nu nyeuri?” tanya Harshil khawatir.

“Gak ada. Gua dimana? Kenapa gua disini?” Ardan menghujani Harshil dengan sejuta pertanyaan di dalam otaknya. Ia kebingungan, kenapa ketika bangun tidur sudah ada di kamar rumah sakit. Bukan di kamar besar kebangaan dirinya.

Kamal yang sedang mengeliat ikut terkejut melihat sahabatnya itu sudah membuka matanya. Hal yang paling ditunggu oleh semua orang kerabat termasuk keluarganya adalah ketika Ardan membuka matanya.

“Kalem urang panggil dokter, Raka, Rajendra hudang iyeuh. Hey hudang, si Ardan geus sadar!!” Ujar Kamal berusaha membangunkan kedua sahabatnya. Bukannya bangun, kedua sahabatnya itu malah asyik dengan mimpinya tanpa memperdulikan Ardan yang sudah sadar.

Selang beberapa menit, dokter memeriksa keadaan Ardan dari mulai kondisi kesehatan kepalanya hingga kesehatan mental pun. Kini tak ada lagi selang oksigen yang meliputi wajah tampannya. Yang ada hanya selang infus masih tertancap dengan begitu jelas di lengan sebelah kanannya.

“Hasilnya bagus. Sebuah keajaiban kamu bisa bangun, Ardan.” Sang dokter mengusap bahu Ardan sambil menatap ke arah semua yang ada disana.

Pintu ruangan terbuka dengan lebar, seorang pria dengan pakaian berjas diikuti dengan dua orang perempuan di belakangnya. Yang kita tahu salah satunya adalah Adena — kakaknya Ardan. Namun, tak tahu siapa perempuan jangkung dengan penampilan pakaian serba putih dan heels lima senti yang mempercantik kaki jenjangnya.

“Gimana keadaan Ardan?” Tanya Dimas dengan wajah yang penuh dengan kekhwatiran terhadap anaknya.

“Hasil check up nya bagus, Dim. Sebuah keajaiban Tuhan Ardan bisa bangun dari komanya dan untuk sekarang Ardan harus istirahat dulu.” Jelas Dokter yang tak luput dengan senyuman ramah yang ia lontarkan dari wajah tampannya.

“Ok, kalau begitu saya permisi dulu. Istirahat, Dan!” Dokter menepuk bahu Dimas dan berlalu keluar dari ruangan rawat inap rumah sakit.

“Gimana keadaan kamu? Ada yang sakit?” Adena menghampiri adiknya yang kini tengah menyandarkan punggungnya pada ranjang rumah sakit yang di angkat sehingga pasien dapat duduk dengan nyaman.

Ardan memegang kepalanya yang masih di baluti perban dan menatap ke arah Adena, “Ini sakit, Teh. Gua kenapa sebenernya?” Tanya Ardan penasaran dengan keadaannya yang sekarang. Keadaan yang membuat seluruh orang menjadi khawatir.

“Gak apa-apa. Sekarang lu istirahat!”

“Belum mau.”

“Tidur!!”

“Masih mau nanya banyak teh,”

“Besok aja, TIDUR!!” Adena berteriak ke arah Ardan. Ardan yang sedikit takut karena suara teriakkan kakaknya itu tanpa berbasa-basi lagi langsung menjatuhkan kepalanya di atas bantal yang lembut dan nyaman untuk kepalanya yang masih memerlukan perawatan.

Ardan mulai memejamkan matanya. Semua orang yang ada di ruangan mulai meninggalkan Ardan sendirian. Namun bukannya tidur, dirinya kembali mengerjapkan matanya, masih penasaran dengan mimpi seorang perempuan yang selalu memanggil namanya.

••••

Cuaca malam hari itu di kota Bandung tidak begitu baik. Awan begitu gelap gulita menyelimuti seisi langit. Suasana pun tak begitu baik seperti biasanya.

Tut.. Tuut.. Tuut..

Alat pendeteksi jantung terus berdenyut begitu nyaring di seluruh penjuru ruangan yang tak begitu luas. Selang infus tertancap di tangan kanan seorang perempuan yang terbaring lemah dengan bibir yang pucat pasih tak berdaya. Selang-selang menempel di sekujur tubuhnya dan tak lupa masker oksigen yang terpasang menutupi hidung dan mulutnya.

Netranya begitu tenang. Wajahnya begitu cantik ketika memejamkan matanya seperti ini. Tapi dirinya bukan tertidur, hanya beristirahat sementara waktu.

Pasca operasi pada perut sebelah kirinya. Kalana — masih hanya diam, tak ada tanda-tandanya mau membuka mata indahnya. Bahkan dokter sudah menyatakan jika perempuan itu dalam keadaan kritis.

Tak jauh dari Kalana terbaring. Ada kerabat-kerabatnya yang menunggu dirinya untuk bangun. Menunggu tertawa bersama, bersedih bersama. Semua orang di sana menatap perempuan dari balik kaca yang berjarak tak jauh Kalana terbaring.

“Kal, kamu bisa ya cantik. Ayah tunggu kamu disini,” ucap Fauzan pelan memgang kaca didepannya yang menghadap ke ara Kalana.

“Kita doain aja teteh yuk, Yah.” Davina mencoba menenangkan Fauzan. Ia mengusap lengan ayahnya itu sambil matanya tak berhenti sedikit pun menatap ke arah Kalana. Di dalam dirinya masih berharap jika kakaknya akan bangun. Kakaknya itu kuat pasti menjalani semuanya.

Fauzan menoleh kepalanya, “Ibun mana?” tanyanya sembari mengelus tangan Davina.

“Ke bawah, beli makanan sama tetehnya A' Ardan.” Davina menunjuk ke arah bawah serasa tahu jika Airin — ibunya pergi menuju kantin rumah sakit Santo Borromeus.

Fauzan hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban, kini ia kembali menatap ke arah ruang balik kaca dari tempatnya berdiri. Dari kejauhan Ardan hanya menatap orang-orang yang duduk di ruang tunggu. Hatinya masih belum ada keberanian seperti biasanya.

“Ardan!” Ardan menolehkan kepalanya mencari arah sumber suara. Airin — ibu Kalana berjalan menghampiri Ardan yang hanya berdiri ditempat.

Airin berdiri di hadapan Ardan. Ia tak berbicara sama sekali, hanya menatap ke arah lelaki didepannya. Tangannya menepuk pundak Ardan dan senyuman tak luput dari wajahnya. Netranya yang indah itu hilang karena mata sembabnya tak ada henti-hentinya mengeluarkan air mata.

“Ibun tahu kamu mau nemenin Kalana kan?” tanya Airin akhirnya membuka suaranya.

“Tapi Ardan nggak berani, ibun, Ardan terlalu jahat untuk Kalana.” balasan Ardan seolah-olah menolak pertanyaan Airin, kepalanya tertunduk. Air matanya terus mengalir dari kedua mata tampan dan indahnya. Airin yang mengerti keadaan Ardan kini langsung memeluk badan Ardan. Ia tahu apa yang lelaki itu butuhkan dan rasakan kali ini. Airin menepuk punggung Ardan pelan.

“Kalana mau ketemu kamu. Dia pasti seneng ketemu kamu.”

Ardan terdiam dan kembali menatap mata Airin perlahan juga ia mulai melepaskan pelukan. Tatapan mata Airin seolah-olah meminta untuk dirinya masuk ke dalam ruang itu, menemani Kalana.

“Boleh.” arti dari tatapan Airin sambil menganggukan kepalanya. Hati Ardan begitu bahagia, ia tak menyangka jika Airin begitu baik hati memperbolehkan untuk bertemu dengan Kalana.

Selama ini Ardan hanya berani berjaga di sana jika sudah tak ada yang menunggu Kalana. Ia akan setiap malam menunggu tanpa terlelap. Ia masih ingin menjadi orang pertama yang melihat Kalana bangun. Sangat ingin menatap mata indah milik Kalana menatapnya.

BUGH Suara pukulan yang dilayangkan oleh seseorang begitu jelas terdengar, dan hal itu membuat semua orang yang berada disana panik. Orang-orang tidak mencoba meleraikan, karena takut dengan keadaan kedua lelaki yang tengah di sulut emosi.

“Sini lu anjing!” Teriak seorang lelaki diantaranya menyeret kerah jaket lelaki didepannya menjauh dari taman yang banyak orang berlalu lalang disana. Mereka tak hanya berdua, ada ketiga temannya yang mencoba untuk menahan tahan lelaki tersebut. Akan tetapi hasilnya nihil. Bukan melerai tapi mereka malah tersungkur ke tanah.

“Narendra udah anjir nar,” ucap Harshil mencoba melerai perkelahian dua orang laki-laki yang tak lain teman-temannya.

“Lu udah bikin Kalana di tusuk. Dan sekarang Kalana kritis juga karena lu.”

“Emang gua mau Kalana begini? Gak anjing, lu kalau jadi gua, mau gimana ayo jawab hah?!!” Ardan ikut tersulut emosi dan mencoba melepaskan tarikan kedua tangan Narendra pada kerah jaketnya.

Harshil mencoba menarik tangan Ardan menjauh dari Narendra. Bukannya menjauh, tapi lelaki itu malah membuat Harshil kembali tersungkur untuk kedua kalinya.

Bukannya Ardan tak mau berhenti untuk tidak memukul Narendra. Perkataan Narendra mampu membuat dirinya emosi. Bagaimana tidak? Ia selalu disalahkan oleh laki-laki yang juga merupakan sepupu jauhnya itu.

Ardan tak salah. Ia juga tak mau kejaduan seperti ini terjadi, semua yang terjadi hari ini adalah kehendak Tuhan. Kita tak bisa memungkiri itu semua. Rajendra yang baru saja datang memasuki halaman rumah sakit, betapa terkejutnya dirinya melihat Ardan dan Narendra tengah beradu tonjok. Ia langsung menghampiri mereka berdua san berusaha untuo menahan badan Ardan yang lebih kuat dibandingkan Narendra.

“Udah anjir. Teu kieu carana, anjing! Ayeuna mah doakeun si Kalana. Lain kalahkan pasea!!”

“Heeuh bener ceuk si Harshil, pasea moal matak jadi hudang si Kalana,” ucap Rajendra yang mencoba menenangkan Ardan dan Narendra.

Ardan bungkam. Dirinya terhenti setelah mendengar perkataan Harshil dan Rajendra. Tangannya mulai terlepas dari keras kemeja yang digunakan Narendra. Hatinya tersayat oleh ucapan Harshil. Benar saja perkelahian tak akan membuat Kalana bangun, ini sama saja akan memperkeruh suasana.

Air matanya kembali keluar. Wajahnya tertunduk lemah, dirinya terisak karena menginggat Kalana yang masih dalam keadaan kritis. Narendra yang berada di hadapannya menatap penuh dengan kebencian ke arah Ardan, seolah-olah ingin membunuh lawannya. Perkataan temannya itu benar, seharusnya ia tak menghabiskan tenaga untuk hal yang percuma.

“Nggak perlu lu nangis gak jelas. Jelasin sekarang sama kita disini,” ujar Narendra dengan penuh penekanan. Harshil, Rajendra dan Raka yang berada disana ikut menatap ke arah Ardan, mereka ingin mendengar penjelasan mengapa Kalana bisa tertusuk? Apa ada hal Ardan sembunyikan dari mereka?

“Jangan diem aja!! Jelasin semuanya!!” Teriak Narendra lagi tak terima karena Ardan hanya diam saja. Narendra sedang beruntung saat ini, taman begitu sepi sehingga tak ada yang melihatnya berteriak.

Harshil menatap ke arah Narendra sambil tangannya mencoba untuk menahan tangan lelaki didepannya agar tidak ada kejadian yang tak diinginkan terjadi lagi. “Gua sama Kalana, kemaren malem lagi jalan mau balik ke rumah. Abis jalan dari alun-alun. Di tengah jalan yang gua gak tahu ada dimana. Tiba-tiba dua motor ngehadang mobil gua. Gua gak tahu siapa mereka. Dan apa tujuannya ngehadang gua?” Akhirnya Ardan membuka suaranya, ia mulai menjelaskan kejadian saat malam tahun baru bersama Kalana.

“Orang itu pake sorban dan gua gak liat matanya karena samar-samar. Tapi jelas banget suaranya bilang, dia pengen gua mati,” lanjut Ardan menjelaskan kejadian saat Kalana tertusuk.

“Terus, kenapa Kalana bisa ketusuk?” tanya Raka masih dengan rasa penasaran. Ardan menarik nafasnya pelan, “Salah satu dari mereka tiba-tiba ngeluarin pisau kecil dari sakunya, gua yang gak peka masih berantem sama yang lainnya. Kalana manggil nama gua dan reflek noleh ke arah dia yang lari ke depan gua. Sampe akhirnya dia ketusuk di pelukan gua. Gua bodoh, kenapa gak gua aja yang ketusuk.” Ardan menjelaskan dengan perasaan yang begitu prustasi. Baru kali ini dirinya begini.

“Gak, dan. Lu gak salah. Ini semua udah ditakdirkan tuhan.” Raka mengusap punggung Ardan dan berusaha menenangkannya. Tidak dapat dipungkiri Ardan bisa bersalah atau tidak karena semua hanya Ardan dan Tuhan yang tahu.

“Bener sih, kenapa gak lu aja yang ketusuk.”

“Nar, cukup anjing. Gua tau lu marah tapi gak disaat kaya gini.” sanggah Rajendra menatap ke arah Narendra yang masih tersulut emosinya.

Narendra tak ingin mendengarkan celotehan Rajendra dan yang lainnya lagi. Ia mulai berdiri dari duduknya, berlanjut pergi begitu saja berjalan meninggalkan Ardan, Harshil, Raka dan Rajendra yang masih memikirkan siapa pelaku penusukan semalam.

Kamal yang baru saja datang dengan menenteng dua kantung kresek berwarna hitam menatap ke arah Narendra yang berjalan melewati dirinya. Ia hanya menggarukkan tengkuk kepalanya yang tak gatal itu dengan rasa kebingungan atas yang terjadi pada teman-temannya.

•••••

Malam hari pada saat ini begitu cerah, kerlap kerlip bintang terlihat di mana-mana sehingga meninggalkan kesan yang sangat indah bagi siapapun yang melihatnya. Suara langkah kaki memasuki rumah yang tak begitu besar menuju taman belakang sebuah rumah.

Terdapat satu orang pria yang tengah asyik membakar daging, jagung dan bahan makanan lainnya dan ada juga yang masih sibuk menata meja kayu disana. Begitu juga Kalana yang masih asyik ikut merapihkan piring-piring.

“Teh kalau piringnya udah di tata, teteh yang nyambut Ardan sama tetehnya.” Ujar Airin pada Kalana.

“Iya ibun,”

Namun suara langkah kaki terdengar begitu jelas memasuki halamana belakang rumah. Pemilik langkah kaki itu adalah Ardan dengan penampilan wajah tampannya, tak lupa juga jaket bomber coklat yang terlihat mahal menyelimuti tubuhnya. Di belakangnya ia diikutin oleh Adena — tetehnya yang di undang oleh Kalana dan keluarganya untuk merayakan malam tahun baru bersama.

“Permisi.” Ucap Adena menghampiri Airin yang telah selesai merapihkan makanan.

“Wah ini tetehnya Ardan?” Tanya Airin penasaran.

“Iya Ibun,”

“Ayo ibu duduk aja,”

“Kok ibu. Panggil teteh aja, umur aku gak tua-tua banget kali.” Sanggah Adena yang tak terima karena Kalana memanggilnya dengan sebutan Ibu. Padahal penampilan Adena pada malam ini begitu cantik dengan pakaian berwarna cream terang dan celana kain cream terlihat begitu cantik bagi siapa saja yang melihat dirinya.

Semua yang ada disana tertawa sebelum pada akhir kembali melakukan aktivitasnya masing-masing. Ardan berjalan meninggalkan Adena menghampiri Kalana yang kini tengah memasang lampu-lampu kecil yang menggantung di atas meja.

“Perlu gua bantu?”

“Kalau mau bantu ya bantu, gak usah lu ngomong begitu.” Kalana menatap Ardan yang kini tengah membantu dirinya memasang lampu-lampu. Begitu juga dengan Ardan yang ikut menatap ke arah Kalana yang masih mengomel.

Setelah selesai, Kalana langsung berjalan menghampiri Fauzan — ayahnya yang masih membakar cumi yang sudah di tusuk dengan tusukan sate. Ardan berjalan mengikuti Kalana, ia mengambil piring yang ada di tangan Kalana.

“Biar gua aja, lu cari kerjaan lain.”

“Gak usah sok perhatian,”

“Suka-suka saya,” Kalana menggelengkan kepalanya meninggalkan Ardan yang kini sedang membantu Fauzan yang masih membakar beberapa bahan makanan yang akan di makan nanti.

Semua orang sudah berkumpul di meja makan. Adena, Kalana, Davina, Airin dan Fauzan yang sedang asyik menikmati hidangan. Namun berbeda dengan Ardan yang masih asyik membakar jagung yang ia mulai simpan di piring putih tak jauh dari tempat pembakaran.

“Ardan ayo makan!” Panggil Airin menatap ke arah Ardan.

“Ayo, Dan. Udah dulu,” Panggil Adena juga.

Ardan yang dipanggil mulai berjalan sambil membawa dua buah piring yang berisi jagung. Ia simpan piring itu di atas meja yang masih kosong. Kini dirinya sudah duduk di samping Kalana duduk.

“Duh bucin mah maunya duduk berdua terus,”

Kalana melototkan matanya pada Davina. Sang empu yang di sindir hanya diam menatap ke arah Kalana yang tengah menyiapkan daging yang telah di bumbui di atas piringnya.

“Gua minta jagung, Kal.”

“Ambil sendiri, Ardan!” Adena menberikan jagung pada Ardan yang kini menunjukan wajahnya yang nyengir.

“Jadi nak Adena ini kepala sekolah di sekolahan Ardan dan Kalana?” Tanya Fauzan mencoba membuka obrolan.

“Betul sekali, Om. Selain itu saya juga memantau Ardan yang kerjaannya bolos sekolah.” Jelas Adena menatap ke arah Ardan yang mendelik sebal pada kakaknya.

Ardan menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya tak mau menjawab perkataan Adena. Karena ia tahu jika perkataan kakaknya itu hanya candaan saja. Ia tak pernah membawanya ke dalam ranah yang serius.

Mereka semua yang ada disana masih asyik memakan hidangan yang ada di meja. Berbeda dengan Kalana dan Ardan yang kini sudah duduk menjauh dari orang-orang. Mereka berdua kini tengah asyik bermain kartu uno, wajahnya satu sama lain penuh dengan bedak tak tersisa sama sekali.

“Licik lu mah,”

“Apaan lu kalah juga,”

Kalana memajukan wajahnya sambil mendekatkan ke arah wajahnya ke arah Ardan, “Jangan kena mata!” Kalana memejamkan matanya.

Ardan mengoleskan bedak pada pipi Kalana. Ia tersenyum ketika melihat wajah perempuan didepannya sudah penuh dengan bubuk putih hampir seluruh wajahnya.

“Kal gua bosen.” Ardan menyimpan kartu yang sudah ia rapihkan di atas meja.

“Terus?” Tanya Kalana sambil mengusap wajahnya.

Ardan menghela nafas sambil menarik tangan Kalana dari kursi disana. Kalana yang terkejut melihat tangannya di genggam oleh lelaki didepannya.

Kalana mulai berjalan mengikuti Ardan melangkahkan kakinya ke arah garasi rumah Kalana. Namun, tertahan oleh panggilan suara Airin.

“Kalana mau kemana?” Teriak Airin bertanya pada Kalana.

“Pinjem dulu Kalananya, ibun.” Ardan menjawab pertanyaan Airin sebelum Kalana yang berbicara. Adena menghampiri Ardan, “Gih sana pergi berduaan. Gua tau lu mau berduaan kan.” Adena terkekeh sambil menepuk bahu adiknya.

“Ardan mau kemana sih? Udah disini aja.”

“Udah sana,”

Ardan yang mengerti kembali menarik tangan Kalana tanpa menghiraukan Kalana yang masih mengumpat akibat tarikan tangan Ardan yang tak ingin dilepaskan sama sekali hingga sampai naik mobil tak mau dilepaskan sama sekali.

“Gua susah mau naik mobilnya. Lepasin,”

Ardan melepaskan genggaman tangannya dan mulai membuka pintu mobil untuk Kalana. Setelah Kalana duduk santai di kursi samping kemudi. Dengan cepet ia berlari kecil ke arah kemudi sambil menaiki mobil dan bersiap untuk berangkat.

“Pakai sabuk pengamannya, kita berangkat.”

Kalana yang mengerti langsung memakai safety belt dengan Ardan yang langsung menjalankan mobil meninggalkan halaman rumah Kalana yang entah akan pergi kemana.

Ardan masih duduk di kursi sofa sebuah cafe bernama Dream Cafe. Dengan jari tangan yang ia usapkan pada bibirnya tak lupa juga senyuman merekah di bibirnya membuat semua orang yang ada disana terheran melihatnya. Harshil yang peka terhadap temannya itu terus menatap wajah Ardan tanpa henti. Tak seperti biasanya Ardan seperti ini, karena biasanya Ardan itu pendiam, selalu main game di ponselnya, bahkan Ardan jarang sekali tersenyum.

“Bos! Euy!”

“Hmm..”

“Rek pesen naon?” Tanya Harshil memberikan buku menu pada Ardan.

“Biasa,”

“Dan, ai maneh teh cageur? Sehat?” Tanya Raka penasaran melihat wajah Ardan yang berseri-seri. Ardan menganggukan kepalanya, “Sehat gua. Lu kira gua kenapa?” Ardan kini menatap dengan tatapan menyeramkan pada Raka. Raka yang terkejut dengan tatapan Ardan dan kini hanya bisa menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Tidak bos,”

“Lu pernah jatuh cinta?” Tanya Ardan spontan.

“Pernah,”

“Pernah.”

“Rasanya gimana?” Ardan masih fokus pada keempat orang temannya yang duduk di sisi kiri dan kanan. Harshil terdiam sejenak. Ia berfikir apa yang dipertanyakan oleh Ardan? Bagaimana rasanya jatuh cinta? Karena selama ini dirinya tidak pernah merasakan jatuh cinta pada seorang perempuan. Ia pernah menyukai seorang perempuan, namun berujungnya di tolak. Sehingga ia bingung harus menjawab apa?

“Gua gak tau rasanya gimana. Tapi gua pernah nonton di drama-drama yang nyokap gua tonton, didalam hati sini tuh katanya kaya ada kupu-kupu siah. Aing juga gak tau persis, tapi ngeunah ceunah mah.” Jelas Harshil sambil mengambil kentang goreng di meja.

“Kalo aing sih cinta monyet. Resep we mun misalkan jeung ka bogoh teh sok senyum-senyum sorangan. Jiga maneh we tadi.” Rajendra ikut menjelaskan pada Ardan perihal bagaimana rasanya jatuh cinta?

“Gua? Gimana?” tunjuk Ardan pada dirinya sendiri.

“Tadi kumaha sugan.” Kamal menyeringai sambil menatap ke arah Ardan. Ardan yang notabenya mempunyai wajah yang jutek seperti sedang marah namun aslinya tidak, hanya menggelengkan kepalanya.

“Aneh. Gua ke kamar mandi dulu.” Ardan berdiri dari duduknya, ia melangkahkan kakinya menuju kamar kecil yang ada disana.

Namun tiba-tiba ada seseorang yang tak di kenal melayangkan tinjuannya pada wajah Ardan. Darah segar mulai mengalir dari bibirnya. Ia begitu terkejut ketika merasakan perih di sekitar bibinya. Tanpa basa-basi lagi Ardan langsung kembali menghajar orang tersebut.

“HUAAA!!” Teriakan dari arah luar membuat semua didalam cafe berhenti sejenak sampai salah seorang pelayan cafe menghampiri sumber suara. Alangkah terkejutnya ia melihat dua orang tengah berkelahi dan berusaha untuk meleraikan.

Pelayan cafe berusaha untuk meleraikan Ardan dan seorang lelaki. Bukannya terpisah, namun dirinya malah ikut terpukul pada bagian pipinya sehingga mau tak mau semua yang ada disana berusaha untuk memisahkan mereka berdua.

“Eh siah hayu tinggali aya nu gelud.” ujar salah salah satu pengunjung disana mengajak temannya untuk menuju kerubunan.

Pendengaran Harshil yang begitu peka dengan sekitarnya mulai menatap ke arah kerubunan orang-orang yang tengah berkumpul.

“Hayu urang tinggali,”

“Hayu.”

Harshil, Kamal, Rajendra dan Raka yang berada disana yang menunggu Ardan tak kembali yang juga memiliki rasa penasaran ikut mendatangi kerubunan orang-orang yang tengah menyaksikan perkelahian di dalam cafe. Begitu terkejutnya Harshil melihat Ardan yang sedang menghajar orang tak di kenal. Harshil dan yang lainnya berusaha untuk melerai Ardan dan mulai membawanya jauh dari cafe.

Langit telah berubah dari terang menjadi gelap. Jalanan kota Bandung saat itu begitu ramai menunjukan masih ada aktivitas. Lampu-lampu jalanan terus menerangi jalanan dan mobil-mobil yang masih berlalu lalang.

Sepasang mata tak lepas pandangannya dari jalanan kota Bandung yang terlihat meninggalkan jentik-jentik kecil pada jok motor sport. Pemilik sepasang mata itu adalah Ardan. Masih sunyi dan diam, tak ada sepatah kata mau ia keluarkan dari dalam mulutnya. Dirinya masuh mengendarai motor miliknya berbelok arah pada perumahan rumah milik seseorang yang sudah mulai ia sukai.

Motornya sudah sampai tepat di depan pagar rumah yang bernuansa putih biru. Seorang wanita paruh baya keluar dari arah dapur rumahnya seolah-olah sudah tahu jika Ardan akan datang.

“Eh A' Ardan, silahkan masuk!” Ucapnya mempersilahkan Ardan untuk masuk.

Ardan tersenyum, “Makasih bi. Tahu saja saya mau datang bi,” Canda Ardan sambil berjalan masuk ke halaman rumah Kalana.

“Iya A' langsung masuk aja ada A' Naren,”

“Naren?”

Ardan yang terkejut perkataan wanita di depannya langsung berjalan memasuki teras rumah Kalana. Pintu berwarna biru muda itu terbuka begitu lebar, disana terlihat jelas ada Narendra yang tengah duduk dilantai dan juga Kalana yang ikut menemani lelaki di sampingnya itu.

Ardan berdeham. Kakinya melepas sepatu kets miliknya dan masuk tanpa persetujuan dari sang pemilik rumah. Tanpa wajah berdosa, dirinya langsung duduk di antara Kalana dan Ardan. Ketika melihat Narendra dan Kalana duduk berdampingan terlihat begitu jelas dirinya tak suka dan tak nyaman.

Kalana yang berada di sana langsung memindahkan dirinya agak menjauh dari Ardan. Namun dasar Ardan yang begity jahil malah menarik tangan Kalana agar berdekatan dengan dirinya.

“Ngapain pindah?”

“Suka-suka gua.”

“Asal mulu jawabnya,”

“Suka-suka si Kalana lah.” balas Narendra dibelakang Ardan yang matanya masih fokus pada buku di atas meja.

Ardan mendelik ke arah belakangnya, “Gak usah ikut campur. Kerjain aja tugasnya.”

Narendra hanya menggelengkan kepalanya tanpa mau membalas perkataan Ardan. Dirinya tak mau menjadi kekanak-kanakan. Apalagi di depan perempuan yang ia sukai, Narendra harus bisa menahan emosinya.

Kalana yang tak mau ambil pusing lagi dengan dua orang lelaki didepannya. Dirinya berjalan meninggalkan Ardan dan Narendra yang kini hanya duduk berdua.

Ardan menyenderkan badannya pada sofa di belakangnya sambil matanya terfokus pada Narendra yang sama sekali masih duduk didepannya tanpa mau menoleh kepada teman yang kini telah menjadi saingannya.

“Nih minum dulu,”

“Duh kebetulan haus gua. Thanks, Kal.” Ardan langsung menggapai gelas di tangan Kalana. Tanpa basa-basi lagi langsung meneguk habis air jeruk.

Kalana yang melihat hanya menggelengkan kepalanya dan terkejut karena hentakkan Ardan yang menaruh gelas di atas meja dengan begitu keras.

“Pelan-pelan bisa teu sih,”

“Hanteu.”

“Lu mau ngapain kesini sebenernya?” tanya Kalana kini yang telah menghadap Ardan.

“Ya mau ikut ngerjain juga,” balas Ardan mengambil kertas di dekat Narendra.

“Ya udah kalo mau ikut jangan ganggu.” perintah Kalana dengan tegas.

“Siap bu bos.”

Kalana kembali fokus pada buku didepannya sambil berpindah tempat duduk samping Narendra. Ia fokus menanyakan soal pertanyaan yang ada di buku paket miliknya. Berbeda dengan Ardan yang mengintip pada Narendra yang masih fokus mengerjakan.

Pagi itu Kalana berdiri samping mobil sedan berwarna merah milik Fauzan — ayah Kalana. Ia menatap ke arah Fauzan yang masih memeriksa mesin mobil yang mungkin ada kerusakan didalamnya.

Kalana menatap ke arah jam ditangannya bahkan ia juga melihat ke arah sekitarnya sakan-akan ada orang yang hendak membantu dirinya dan sang ayah.

“Kok ada mobil atau motor yang lewat gitu,”

“Sabar, Lanaku.”

Tiba-tiba dari arah belakang mobil jeep berwarna hitam pekat yang tepat membelakangi Kalana dan Fauzan datang menghampiri mobil yang kini masih terparkir di sisi jalanan tak jauh dari rumah Kalana tinggal.

Seorang laki-laki turun dari pintu supir mobil dengan begitu gagah. Ia mulai menghampiri Kalana dan ayahnya yang masih kebingungan.

“Permisi, Om, Kalana.”

Kalana yang merasa kenal dengan suara itu langsung menolehkan wajahnya mencari-cari siapa pemiliknya. Ia menyipitkan matanya ke arah belakang badannya karena matahari menyinari dirinya dan orang tersebut sehingga membuat wajahnya tak begitu jelas.

“Ini gua Kal, Aryandra,”

“Oh Ardan.”

“Bisa saya bantu om masalah mobilnya?” tanya Ardan pada Fauzan.

Fauzan yang memiliki sifat pendiam pada orang baru hanya menganggukan kepalanya sambil mempersilahkan Ardan untuk mencoba memperbaiki mobilnya. Ardan tersenyum dan langsung membuka jaket miliknya, kemudian menyimpannya di sisi kap mobil. Tanpa mau berlama lagi, dirinya mulai melihat-lihat kap mobil itu.

“Dia Ardan, yah, temen Kalana.” Kalana memperkenalkan temannya pada Fauzan. Karena selama ini hanya Airin — ibunnya yang bertemu dengan Ardan.

“Oh, jadi ini Ardan yang sering bikin kamu teriak-teriak sendiri kalo lagi di kamar!”

“Ayah!”

Kalana melototkan matanya pada Fauzan. Fauzan yang juga memiliki sifat jahil pada anaknya hanya terkekeh melihat wajah perempuan didepannya ini merah merona, tanpa ada rasa bersalah sama sekali.

Ardan yang sedari tadi masih memperbaiki mesin mobil Fauzan hanya tersenyum mendengarnya. Entah ada dorongan apa dari dirinya tersenyum dan bahagia ketika Fauzan menggoda Kalana. Kini di dalam hatinya begitu berbunga-bunga.

“Permisi Om, apa boleh saya mencoba mesin mobilnya?” Tanya Ardan sopan.

“Iya silahkan.”

Ardan yang merasa dipersilahkan langsung berlari kecil ke arah dalam mobil fauzan dan mulai menyalakan mesin mobilnya. Ketika ia mencoba menyalakan mesin mobilnya namun hasilnya nihil, mesin tak juga menyala. Ardan kembali keluar dari mobil.

“Om, sepertinya aki mobilnya ya?” Tanya Ardan pada Fauzan.

“Oh iya kah? Perasaan baru saya ganti.” jawab Fauzan sambil melihat jam ditangannya.

“Kebetulan saya punya temen yang bisa bantuin menggantikan aki mobilnya. Apa om bersedia diganti, om?” Ardan mencoba menawari Fauzan untuk mengganti salah satu perlengkapan mesin mobil. Fauzan tanpa ragu lagi menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Setelah mendengar jawaban dari Fauzan, Ardan langsung mengambil ponsel layar sentuh miliknya dari saku celana dan menjauhkan diri dari Kalana dan Fauzan.

Tak dari lama Ardan menghubungi, orang kenalannya pun datang dengan motor yang berhenti tepat di dekat mobil Fauzan mogok.

“Om ini teman saya. Tenang aja om dia montir bengkel langganan saya dan papa jadi pasti bisa memperbaiki masalah mobil om.” Ardan memperkenalkan montir mobil yang tak lain adalah temannya.

“Ok. Bisa kan cepat gantikan.” ucap Fauzan memberikan perintah pada teman Ardan.

“Bisa atuh, Pak, punten atuh saya mau ganti dulu.”

“Kal kayanya kita harus cepet-cepet ke sekolah.” Tunjuk Ardan memperlihatkan jam di tangannya pada Kalana.

Kalana melihat ke arah jam tangan Ardan. Ia terkejut melihatnya dan langsung panik berlari mengambil tas miliknya di dalam mobil. Ia menghampiri Fauzan yang masih melihat montir mengganti aki mesin mobilnya.

“Yah udah jam tujuh. Aku sama Ardan berangkat bareng aja.” ucap Kalana mulai menyalami tangan Fauzan.

“Ya udah sana, nanti kamu beneran kesiangan. Saya nitip Kalana ya Ardan.” Fauzan terkekeh sambil menepuk bahu Ardan dengan begitu keras.

Ardan menganggukan kepalanya, “Pasti Om.”

“Ya udah ayo,” Ajak Kalana sambil membawa jaket Ardan dan reflek langsung menarik tangan Ardan.

“Seneng banget narik tangan gua.”

“Dih siapa yang seneng,” Reflek Kalana melepaskan tangannya dari tangan Ardan. Ardan tersenyum dan mulai mendorong badan Kalana, agar perempuan itu tak mengomel. Kalana yang mengerti langsung menaiki dirinya memasuki bangku penumpang mobil Ardan.

Setelah Kalana masuk ke dalam mobilnya. Ia berlanjut menaiki mobilnya dan langsung menancapkan gas mobilnya meninggalkan tempat mobil Kalana dan ayahnya yang mogok.

Langit telah berubah dari terang menjadi gelap. Jalanan kota Bandung saat itu begitu ramai menunjukan masih ada aktivitas. Lampu-lampu jalanan terus menerangi jalanan dan mobil-mobil yang masih berlalu lalang.

Sepasang mata tak lepas pandangannya dari jalanan kota Bandung yang terlihat meninggalkan jentik-jentik kecil pada jok motor sport. Pemilik sepasang mata itu adalah Ardan. Masih sunyi dan diam, tak ada sepatah kata mau ia keluarkan dari dalam mulutnya. Dirinya masuh mengendarai motor miliknya berbelok arah pada perumahan rumah milik seseorang yang sudah mulai ia sukai.

Motornya sudah sampai tepat di depan pagar rumah yang bernuansa putih biru. Seorang wanita paruh baya keluar dari arah dapur rumahnya seolah-olah sudah tahu jika Ardan akan datang.

“Eh A' Ardan, silahkan masuk!” Ucapnya mempersilahkan Ardan untuk masuk.

Ardan tersenyum, “Makasih bi. Tahu saja saya mau datang bi,” Canda Ardan sambil berjalan masuk ke halaman rumah Kalana.

“Iya A' langsung masuk aja ada A' Naren,”

“Naren?”

Ardan yang terkejut perkataan wanita di depannya langsung berjalan memasuki teras rumah Kalana. Pintu berwarna biru muda itu terbuka begitu lebar, disana terlihat jelas ada Narendra yang tengah duduk dilantai dan juga Kalana yang ikut menemani lelaki di sampingnya itu.

Ardan berdeham. Kakinya melepas sepatu kets miliknya dan masuk tanpa persetujuan dari sang pemilik rumah. Tanpa wajah berdosa, dirinya langsung duduk di antara Kalana dan Ardan. Ketika melihat Narendra dan Kalana duduk berdampingan terlihat begitu jelas dirinya tak suka dan tak nyaman.

Kalana yang berada di sana langsung memindahkan dirinya agak menjauh dari Ardan. Namun dasar Ardan yang begity jahil malah menarik tangan Kalana agar berdekatan dengan dirinya.

“Ngapain pindah?”

“Suka-suka gua.”

“Asal mulu jawabnya,”

“Suka-suka si Kalana lah.” balas Narendra dibelakang Ardan yang matanya masih fokus pada buku di atas meja. Ardan mendelik ke arah belakangnya, “Gak usah ikut campur. Kerjain aja tugasnya.”

Narendra hanya menggelengkan kepalanya tanpa mau membalas perkataan Ardan. Dirinya tak mau menjadi kekanak-kanakan. Apalagi di depan perempuan yang ia sukai, Narendra harus bisa menahan emosinya.

Kalana yang tak mau ambil pusing lagi dengan dua orang lelaki didepannya. Dirinya berjalan meninggalkan Ardan dan Narendra yang kini hanya duduk berdua.

Ardan menyenderkan badannya pada sofa di belakangnya sambil matanya terfokus pada Narendra yang sama sekali masih duduk didepannya tanpa mau menoleh kepada teman yang kini telah menjadi saingannya.

“Nih minum dulu,”

“Duh kebetulan haus gua. Thanks, Kal.” Ardan langsung menggapai gelas di tangan Kalana. Tanpa basa-basi lagi langsung meneguk habis air jeruk.

Kalana yang melihat hanya menggelengkan kepalanya dan terkejut karena hentakkan Ardan yang menaruh gelas di atas meja dengan begitu keras.

“Pelan-pelan bisa teu sih,”

“Hanteu.”

“Lu mau ngapain kesini sebenernya?” tanya Kalana kini yang telah menghadap Ardan.

“Ya mau ikut ngerjain juga,” balas Ardan mengambil kertas di dekat Narendra.

“Ya udah kalo mau ikut jangan ganggu.” perintah Kalana dengan tegas.

“Siap bu bos.”

Kalana kembali fokus pada buku didepannya sambil berpindah tempat duduk samping Narendra. Ia fokus menanyakan soal pertanyaan yang ada di buku paket miliknya. Berbeda dengan Ardan yang mengintip pada Narendra yang masih fokus mengerjakan.