staillry

Waktu pada malam hari ini menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Semua orang sudah berkumpul di bangku taman termasuk Jevano, Matthew, Jeffrey, Kamal dan juga para asisten pribadi mereka ikut berkumpul bersama disana.

Narendra tersenyum kepada mereka semua yang sudah berkumpul bersama. Entah kenapa hatinya terenyuh ketika melihat keluarga Istana. Ia begitu bahagia. Dan berharap kebersamaan ini akan berlangsung lebih lama lagi.

Matthew datang menghampiri Narendra yang masih asyik memanggang daging. Ia tersenyum menatap ke arah menantunya yang begitu lihay dalam memasak, tidak salah pilih pikirnya.

“Papi duduk saja. Biar Narendra yang siapin ini semua.” ujar Narendra yang sibuk menata daging pada piring di tangannya.

“Iya, Na. Sepertinya enak,” balas Matthew sambil mengikuti arah piring yang dibawa Narendra.

Darren yang sudah berada disana sedari tadi hanya menggelengkan kepalanya menatap ke arah Papinya seperti tidak pernah melihat daging sedikit pun.

“No bantuin suamimu!” Perintah Jeffrey pada Jevano yang nyaman dengan posisi duduknya.

Dengan berat hati Jevano berdiri, berjalan menghampiri Narendra yang masih belum menyelesaikan aktivitas memanggangnya. Ia menatap punggung suaminya itu yang tak gagah seperti dirinya. Entah apa yang ada di pikiran Jevano. Seperti tersihir ingin memeluk badan lelaki itu, namun semua terhalang oleh gengsi yang mengatakan ia masih menyukai seorang perempuan.

Narendra sudah menyelesaikan masakannya mulai berbalik arah dari posisinya. Akan tetapi begitu terkejutnya ia yang kini mendapati Jevano yang berdiri di belakangnya.

“Ngapain lu matung disitu? Ayo makan,”

“Iya.”

Dengan telaten dan perlahan Narendra menyajikan daging dan muai memotong hingga beberapa bagian. Kemudian ia mulai tata di atas piring dan tak lupa lelaki itu memberikannya kepada Matthew dan Jeffrey.

“Silahkan dimakan Papa, Papi.” Narendra tersenyum. Dirinya duduk di bangku samping Jevano duduk. Dia tak bisa memilah kursi lain karena yang kosong hanyalah disitu.

“Uhm, Kak Nana kalau bikin makanan selalu enak.” Puji Kamal dengan mulut yang mulai terisi penuh dengan makanan.

Narendra tersenyum tipis sebagai tanda jawaban atas pujian Kamal. Lelaki itu ikut asyik memakan daging yang sudah ia buat sendiri hingga terasa begitu kenyang.

Begitu juga Jevano yang asyik ikut makan daging dengan lahap tidak mau melewatkan satu titik pun daging karena menurutnya hidangan liburan hari ini sangat lezat melebihi dari masakan Chef di Istana.

“Nana belajar masak, kah?” Tanya Matthew yang telah menyelesaikan menyantap daging.

Narendra menggelengkan kepalanya, “Tidak Papi. Nana memasak sesuai insting saja.”

“Baginda Raja dan Ratu harus tahu. Kak Nana ini setiap harinya selalu masak, cari uang untuk bayar hutang papa dan mama. Bahkan biayain sekolah Kamal.” Jelas Kamal dengan polos.

“Kak Nana selalu baik dan nggak pernah ngeluh dalam hal apapun. Dari kecil kakak udah ngalamin beban yang berat,” Lanjut Kamal menatap Narendra.

“Udah, dek. Jangan berlebihan.” Lerai Narendra sambil mengusap surai Kamal.

“Tapi Kakak harus bahagia disini. Sudah cukup mama sama papa bikin kakak menderita. Dan sekarang biar aku yang nanggung semuanya.” Balas Kamal tidak mau tahu jika kakak kesayangannya itu harus bahagia.

“Saya dengar kamu sedari kecil di adopsi dari panti asuhan?” Tanya Jeffrey.

“Betul Baginda Raja.”

“Kak Nana di adopsi Mama sama Papa biar aku hadir di dunia. Dan setelah aku hadir mereka malah mengabaikan Kak Nana.” ujar Kamal ikut menyela pembicaraan Jeffrey dan Narendra.

Jeffrey berlanjut mendengarkan perkataan Kamal. Lelaki itu penasaran apa yang selanjutnya akan dikatakannya?

“Kenapa kamu tahu semua itu?” Matthew ikut bertanya pada Kamal.

Kamal menghela nafasnya, “Kamal sudah menyadari semenjak umur 10 tahun. Karena dahulu tidak mengerti apa-apa, jadinya hanya mampu terdiam di dalam kamar,” Kamal memegang bahu Narendra yang ada di sampingnya, “Kamal nggak bisa apa-apa waktu Kak Nana di pukulin sama Papa. Makanya aku pengen lihat Kak Nana bahagia disini.” Lanjut Kamal menintihkan air matanya.

Jevano yang sedari tadi menyaksikan tidak menyadari jika air mata sudah mengalir deras dari matanya. Hatinya seperti terkikis ketika menatap ke arah mata Narendra yang selalu tersenyum, padahal ia yakin jika suaminya itu sudah menanggung banyak beban disana.

“Kak Nana disini harus bahagia. Bukannya kakak mau cari orang tua kandung kakak kan?” Seru Kamal sambil memeluk badan Narendra tanpa merasa malu di depan Baginda Raja dan Ratu.

Matthew yang ikut menangis mulai mengusap air matanya dan menatap ke arah Narendra, “Orang tua kamu masih ada Na?”

Narendra menghela nafas kemudian menatap ke arah Matthew, “Maaf Baginda Ratu harus mendengar kisah sedih saya. Yang diucapkan Kamal betul, saya tidak tahu siapa orang tua kandung saya.” Narendra masih menatap Matthew, “Sebelum meninggal, ibu panti hanya bilang jika saya masih memiliki orang tua dan beliau pun memberikan wasiat tentang perjodohan ini dan kalung. Tapi saya tidak tahu percis siapa orang tua saya.” Lanjut Narendra yang ikut meneteskan airmatanya.

“Kamu punya foto kedua orang tua kandungmu, Na?” Tanya Darren.

“Ada, Kak. Saya ambil dahulu.”

“Sudah nanti saja, sekarang kita sudahi acara menangisnya. Ayo kita kembali bersenang-senang. Bagaimana jika kita bermain saja?” Tanya Jeffrey sambil mengembalikan suasana yang awalnya banyak haru dan kembali membuat suasana menjadi ceria.

Semua orang yang ada disana menganggukan kepalanya dan ikut mengusap air matanya. Begitu juga Jevano, akan tetapi lelaki itu masih menatap ke arah Narendra yang sudah tersenyum bahagia. Hatinya begitu tersentuh ketika mendengar cerita sedih yang di alami suaminya.

Jevano tertegun dan diam sejenak ketika mendengar cerita, berbagai pertanyaan muncul di dalam otaknya. Apa sudah seharusnya ia memberikan kebahagiaan kepada Narendra? Apa ia sudah harus berhenti dengan gengsinya yang mengatakan ia masih menyukai seorang perempuan?

Semua pertanyaan itu berkecamuk di dalam otak Jevano. Mungkin saat ini ia masih harus berfikir apakah itu semua benar adanya. Atau hanya karangan Kamal dan Narendra saja agar di kasihani oleh keluarga Istana. Ia tak tahu itu dan harus mencari tahu.

Iya, Jevano harus mencari tahu lebih dalam lagi. Agar ia bisa menyakinkan dirinya jika suaminya itu layak untuk dia lindungi.

•••••

Langit pada siang hari itu tak begitu terik seperti biasanya. Awan pun tak ada bereksitensi dirinya. Udaranya begitu sejuk membuat semua orang yang melewatinya begitu menyukai untuk menghirupnya.

Begitu juga Narendra yang baru saja turun dari sebuah mobil jeep berwarna hitam milik Altaro Kingdom. Ia begitu takjub dengan udara di villa milik Altaro Kingdom begitu sejuk, mungkin udaranya sama seperti di Istana. Namun, kali ini berbeda, lelaki begitu menikmati suasana siang itu.

“Selamat datang di villa keluarga Altaro, Nana.” Ujar Matthew.

“Dengan senang hati, Baginda Ratu.” Balas Narendra sopan. Narendra melayangkan senyumannya ke arah Matthew yang kini berada di posisinya. Matanya masih takjub dengan bangunan villa yang begitu mewah seperti bangunan kuno.

“Kak Nana, Kamal boleh langsung masukkan. Waah.. Ini pertama kalinya Kamal liat rumah segede ini.” Kamal begitu takjub dengan matanya mengitari sekitar villa.

“Ya sudah ayo kita masuk semuanya.” Ajak Matthew melangkahkan kakinya masih merangkul lengan Narendra. Seolah-olah mendapat persetujuan dari sang pemilik, tanpa mau berlama lagi Kamal langsung berlari memasuki pintu villa yang telah terbuka.

“Kamal hati-hati!”

Narendra begitu malu ketika keponakannya — Kamal langsung melenggang masuk. Matthew, Jeffrey yang kini berada di samping Narendra hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah anak laki-laki itu.

Tak berbeda dengan Jevano yang tepat berada di belakang mereka tengah menatap ke arah Narendra dan Kamal secara bergantian. Tatapan matanya yang tak suka akan tingkah kedua anak lelaki itu membuatnya malas berada disana.

Mungkin, jika bukan karena perintah kedua orang tuanya. Sekarang dirinya sudah melenggang pergi bersama ketiga teman-temannya. Karena menurutnya tempat itu adalah tempat kutukan untuknya.

“Apa ada yang salah Pangeran?” Tanya Marcus heran.

“Tidak ada. Saya pergi dulu sebentar,” Jevano kembali menggunakan kacamata hitam yang bertengker di saku jaket kulit berwarna hitam miliknya melenggang pergi memasuki mobil miliknya meninggalkan Marcus dan para pengawal lainnya yang masih mematung.

Di dalam villa, sudah ada Narendra, Kamal, Matthew dan Jeffrey yang tengah bersantai di sofa ruang depan yang lumayan besar yang penuh dengan ornamen-ornamen lukisan kerajaan di dinding..

“Jadi Kamal ini keponakannya kamu, Na?”

“Betul Baginda Raja,” balas Kamal sopan.

Matthew menatap ke arah Narendra yang sedari tadi hanya menatap ke arah Kamal. Sepertinya ia tahu jika Kamal adalah kebahagiaan Narendra saat ini walaupun dia tidak mengerti apa permasalahan mereka tapi Matthew akan mencoba memberikan kebahagiaan anak itu di Istana.

Matthew yakin akan hal itu. Kamal menghela nafas sambil menatap ke arah Narendra dengan perasaan sedih seolah-olah ingin sekali memberikan kebahagiaan kepada kakak sepupunya.

“Aku udah anggap Kak Nana itu seperti kakakku sendiri. Walaupun dia bukan saudara kandungku.” Jelas Kamal sambil menatap ke arah Narendra yang duduk di samping Matthew.

“Bukan kakak kandung?” Tanya Jeffrey pura-pura tidak tahu.

Kamal menganggukan kepalanya, “Betul Baginda. Kak Nana itu di adopsi mama sama papa dari panti asuhan.” Kamal berlanjut menatap Narendra, “Kak Nana di adopsi untuk memancing agar mama bisa punya anak. Dan akhirnya Kamal lahir kedunia ini.”

“Orang tua kandung kamu kemana, Na?” Tanya Matthew menimpal penjelasan Kamal. Narendra bungkam dengan wajah ia tundukkan tanpa mau menatap ke arah Baginda Raja dan Ratu. Matthew menyadari hal itu, ia segera mengenggam tangan menantu kesayangannya.

“Kalau kamu belum mau cerita, sudah jangan dipaksakan. Lebih baik kamu ke kamar saja. Harsa ayo antar Nana ke kamarnya dan Kamal juga!” Perintah Matthew kepada Harsa yang sudah berada di belakang kursi Narendra duduk.

“Baik Baginda Ratu. Silahkan Tuan Muda, Na.” Harsa mempersilahkan Narendra untuk berjalan mengikutinya. Narendra masih terdiam menatap ke arah Matthew dan Jeffrey bergantian. Ia seperti mendapat keberuntungan kali ini bisa menjadi anggota keluarga kerajaan. Semuanya terasa seperti mimpi, namun, lelaki itu yakin ini semua nyata dan memang nyata.

Setelah selesai dengan aktivitasnya, Narendra tersenyum ke arah Matthew sambil mengeluskan tangan sang Baginda Ratu, “Kalau begitu saya permisi terlebih dahulu Baginda Raja dan Ratu.”

“Silahkan Narendra, beristirahatlah.” Setelah mendapatkan jawaban dari Baginda Raja dan Ratu. Dengan perlahan Narendra bangkit dari duduknya dengan dibantu Matthew dan Kamal. Padahal dirinya masih kuat untuk berjalan tapi kenapa seolah-olah ia diperlakukan seperti orang lemah.

“Terima Kasih Baginda,” Ketika Narendra melangkahkan kakinya mengikut Harsa yang sudah terlebih dahulu berjalan menuju kamarnya nanti. Tiba-tiba Jevano melenggang masuk tanpa ada rasa bersalah dan duduk di samping sang Baginda Ratu duduk.

“Jevano baru dari mana saja kamu?” Tanya Jeffrey menatap ke arah Jevano yang hendak duduk di samping Matthew.

Pandangan Narendra terhipnotis seolah-olah penasaran dengan apa yang dibicarakan dengan Jevano dan kedua orangtuanya. Namun seharusnya ia tidak perlu ikut campur urusan orang lain.

“Ada apa Tuan Muda, Na?” tanya Harda heran karena Narendra menghentikan langkahnya.

“Ayo Kak Nana, aku penasaran kamar Kakak!” Ajak Kamal mendorong badan Narendra.

Narendra yang terkejut langsung melangkahkan kakinya tanpa menjawab terlebih dahulu ajakan keponakannya itu. Ia tersenyum karena sifat Kamal masih sama seperti dahulu.

Sama ketika mereka berdua sedang bermain bersama ketika masih kecil. Saling melindungi dan saling memberikan kebahagiaan. Narendra berharap kebahagiaan ini akan berlangsung lama dari mulai saat ini hingga ia tua nanti.

Cw//nsfw//sex scene// anal sex//kissing//nipple play 🔞

Senyuman menggembang dari wajah kedua insan yang tengah di mabuk asmara. Bagaimana tidak, kini antara Jevano dan Narendra sudah melepas pakaian satu sama lain saat masuk ke dalam kamar yang sudah di rancang untuk mereka berdua.

Jevano menatap ke arah Narendra sambil mengecup kening suaminya itu. Lambat laun tanpa aba-aba lelaki itu mulai menghisap seluruh leher Narendra hingga tak ada yang tersisa sedikit pun bahkan sampai meninggalkan riasan berwarna merah disana.

Setelah memberikan riasan berwarna merah dari gigitan di lehernya. Jevano kembali berlanjut menjamahi dari mulai dada, hingga puting yang berwarna merah muda membuat lelaki itu tambah bersemangat.

“Nghhh jangan digigit No..” Erang Narendra sambil membusungkan dadanya. Jevano masih mengemut puting dada Narendra secara bergantian kiri dan kanan. Tangan sebelah kanannya pun tak luput meremas sambil memelintir puting kanan milik Narendra.

Seruputan mulut Jevano serasa menyedot dada Narendra seolah-olah bisa mengeluarkan susu dari sana. Karena tidak sabar, dirinya langsung berdiri bergerak membuka celananya. Ia membuangnya sembarangan, tangannya mulai menggeluarkan penis dari dalam celana boxer milik sang Pangeran Altaro yang terkenal gengsi. Jevano mengocok sebentar Penisnya agar bisa menjadi tegak.

“Saya tidak tahan, Na.” Kata Jevano sambil tangannya mencoba membuka celana tidur milik Narendra.

Narendra yang melihat suaminya kesulitan ikut membantu membuka celananya hingga mereka berdua sama-sama telanjang tanpa sehelai bening pun.

“Kamu cantik Na,” rayu Jevano sambil memasukkan jari tangannya pada lubang milik Narendra.

Tangan sebelah Kanannya pun tak tinggal diam. Jevano mengelus penis milik Narendra tanpa ada rasa jiji sedikitpun. Kembali dilepasnya jari dari dalam lubang milik suaminya dan berdiri tepat di atas wajah Narendra.

Dengan sekali tegukan penisnya sudah berada di dalam mulut Narendra. Kepalanya tak tinggal diam saja, suaminya itu dengan luhai mengulumnya. Setelah selesai dengan aksinya, Jevano kembali melepaskan dari mulut suaminya. Jari nakalnya kembali memasuki lubang milik Narendra yang membuat sang empu mengeluarkan erangan.

“nghhh..”

Narendra menutup matanya sambil giginya terus menerus menahan agar tidak mengeluarkan erangan. Namun sepertinya akan sulit melakukan hal itu. Ia kembali membuka matanya dan menggeluarkan desahan demi desahan ketika Jevano memaju mundurkan kedua jarinya pada lubang semput milik Narendra.

“Kamu suka baby, hmm?” Jevano masih mengocok lubang Narendra.

“Nghhh... No, gua mau pipiss aaahhh,” desahan Narendra mengeluarkan cairannya dari dalama penis miliknya yang malah membasahi perut Jevano dan perutnya.

Jevano menyeringai menatap ke arah Narendra, tubuhnya penuh energi malam ini. Tidak seperti biasanya mereka melakukan aktivitas sehari-hari.

Tangan Jevano dengan santai menarik paha Narendra agar mendekat lebih pada badannya. Ia mulai menggesekkan penisnya pada lubang Narendra yang terlihat kembang kempis seperti bisa memakan.

“Boleh?” Tanya Jevano menatap Narendra.

Tidak memiliki energi untuk membantah, Narendra menganggukan kepaldanya sebagai tanda jawaban. Tangannya membuka lebar lubangnya untuk meminta penis Jevano segera memasukinya. Pahanya pun mulai terbuka dengan lebar. Tanpa mau menunggu terlebih lama lagi Jevano memasukkan penis miliknya ke dalam lubang Narendra dengan sekali hentak. Narendra yang terkejut karena lubangnya sudah terisi penuh dengan sesuatu seperti berbatang dan berurat bahkan batang itu berukuran panjang.

Perlahan tapi pasti pinggulnya bergerak dengan beriringan bersama lenguhan demi lenguhan keluar dari dalam mulut kedua insan.

Lelaki itu terus menghentakkan penis miliknya pada lubang Narendra agar bisa keluar masuk dengan mudah tanpa beraturan. Kemudian Jevano memeluk badan lelaki manis didepannya tanpa mau melepaskan satu sama lain.

Pinggul Jevano terus bergerak dengan cepat sehingga seluruh seprai kasur berantakan, bantal yang mereka gunakan hanya satu. Selimut pun tak layak dari tendangan kaki Narendra.

“Aaahh..nghhh.. Saya mau keluar, Na.” Jevano menggerang di sisi telingan Narendra, tidak lupa jga ia mengecup tengkuk leher Narendra.

“Keluarin aja. Ssshh nghhmm.” Balas Narendra ikut mendesah.

“Na sayaa mauu nghhh..” Jevano masih menindih badan Narendra namun wajah keduanya begitu dekat antara satu sama lain.

Narendra tersenyum ketika melihat wajah Jevano yang memerah. Ia mengecup bibir lelaki didepannya yang masih menggerakkan pinggulnya. Narendra bergejolak, seperti rasa menggebu-gebu dengan apa yang suaminya lakukan saat ini.

Tanpa di ketahui Narendra. Ternyata suaminya itu menghentakkan penisnya pada lubang Narendra sehingga dapat mencapai kenikmatan yang didapatkan kedua insan.

“Aaaahh.. Lagi No.” pinta Narendra memelas ketika mengetahui cairannya keluar di dalam.

Jevano tersenyum lebar mendengarnya. Tanpa basa basi dirinya membalikkan badan suaminya itu menjadi posisi membelakanginya. Penis Jevano kembali menggempur dengan melanjutkan ronde-ronde seterusnya.

Di luar kamar sebenarnya sudah ada Kamal, Marcus dan Harsa yang menyaksikan suara desahan mereka terasa sampai ruang tengah tenpat mereka berkumpul.

Kamal bergedik ngeri ketika ia membayangkan bagaimana Kakaknya itu melakukan hal suami istri bersama sang Pangeran.

“Beneran mereka nggak akan curiga kan, Kak?” Tanya Kamal ragu.

Harsa mengacungkan jempol tangannya, “Tenang saja kata Ibu saya di kampung. Bakalan aman. Kalian denger kan gimana waktu kita nguping dipintu. Pake ada kata i love you segala,” Harsa menggelengkan kepalanya sambil menatap ke arah pintu kamar dua sejoli yang tengah bercumbu. “Padahal kemarin-kemarin mereka nolak.” Lanjut Harsa santai.

“Iya kan kamu yang idenya, by.”

“Sudah-sudah ayo kita tidur aja. Kamal duluan ya kak, ngantuk.” Seperkian detik Kamal telah menghilang dari pandangan Harsa dan Marcus. Kini tinggalan dua orang itu yang asyik juga saling berpangutan tanpa kita tahu apa adegan selanjutnya yang mereka lakukan.

•••••

// cw // mention of kiss //

Hari telah menjelang sore, langit berubah yang awalnya panas kini menjadi teduh menimbulkan awan-awan berwarna hitam sudah berdatangan. Setelah puas dengan bermain bersama anjing putih ras samyeod Jevano dan Narendra masing-masing berjalan menuju kamar mereka.

Namun ketika hendak memasuki kamar mereka masing-masing, baik Narendra dan Jevano terheran karena kamar mereka telah terkunci.

“Maaf Tuan Muda tapi kamar anda bukan disini lagi.” Kata Harsa ke arah Narendra.

“Loh hari ini juga pindahnya?” Tanya Narendra heran.

“Saya hanya diperintahkan Baginda Ratu, Tuan.”

Tak lain halnya Jevano, ia tak kalah terkejutnya dengan keadaan kamarnya terkunci juga. Ia menatap ke arah Marcus dan beberapa pelan yang mengekori dibelakangnya. Lelaki itu mencoba kembali kenop pintu agar bisa kembali terbuka. Namun nihil, sama saja seperti Kamar Narendra tadi. Kamar itu tetap terkunci rapat meskipun Jevano sebagaimana berusaha agar bisa membuka pintu.

“Ini sudah dua kali, kenapa saya tidak bisa masuk?” Tanya Jevano kepada lelaki disampingnya.

“Maaf Pangeran, kamar anda sekarang bukan disini,”

“Lalu?”

Marcus mengarahkan telunjuknya ke arah belakang punggung atasannya. Ternyata disana sudah ada Narendra dan asistennya yang tengah berjalan bersama memasuki kamar tersebut.

Jevano yang lupa akan mulai hari ini dirinya harus tidur bersama suaminya — Narendra. Ia mencoba menginggat lagi apa obrolan bersama Papi nya kemarin malam.

Setelah lama berfikir, Jevano ingat sekarang. Matthew — Ibundanya memerintanya untuk tidur bersama dengan Narendra yang notabenya sekarang sudah sah menjadi suaminya.

Ia tahu jika sekarang, lelaki itu sudah menjadi suaminya. Tapi tetap saja ita merasa asing jika harus tidur bersama orang asing yang belum Jevano kenal.

Tidak ingin berlama-lama lagi menunggu, Jevano kembali membalikkan badannya dan mulai melangkahkan kakinya menuju kamar yang ia tuju. Sesampainya di kamar itu, dirinya melihat ada foto pernikahan dirinya terpampang begitu jelas dan berukuran yang lumayan besar di pajang dengan figura berwarna emas yanh senada dengan cat tembok kamar. Disisi lain juga terlihat foto dirinya sama seperti foto pernikahannya terpampang dengan jelas di pajang bersama foto Narendra disampingnya.

“Sa, pegel banget badan gua.” Narendra bergumam mengeluh kepada Harsa, padahal sudah jelas asisten pribadinya itu sudah keluar sedari tadi.

Narendra masih fokus membereskan barang-barang miliknya tanpa melihat ke arah manapun kali ini.

“Seperti orang gila saja bicara sendiri.” Jevano membuka jas kerja miliknya dan mulai menggantukannya pada tempat khusus untuk menggantung pakaian.

Narendra yang merasa asing dengan suara itu langsung menatap ke arah sumber suara.

“HEY!! SEJAK KAPAN LU ADA DISITU?!” Tanya Narendra terkejut dengan kehadiran Jevano. Lelaki itu mulai menjaga jaraknya dari suaminya yang hanya memakai kaos oblong berwarna putih.

“Sejak tadi,”

“Terus kenapa bajunya gak dipake? Kenapa cuman pake kaos aja?”

“Satu-satu kalau mau bertanya. Saya bingung,”

“Protes mulu, tinggal lu jawab apa susahnya?”

Jevano mendenguskan nafasnya, “Baik, saya jawab. Sekarang ini sudah menjadi kamar saya dan kamu,” jelas Jevano terpotong karena fokus berjalan. “Jadi suka-suka saya mau buka baju kapanpun. Oh ya, saya mau menginggatkan. Saya mau mandi sekarang.” Lanjutnya yang kini sudah berada di dekat pintu kamar mandi.

“Kalau mau mandi ya mandi saja. Urusannya sama gua apa?” Tanya Narendra sarkas.

“Saya hanya memberitahu kamu.”

“Nyenyenyenye.”

“Sudah saya bilang, yang sopan jika berbicara dengan orang di Istana!” perintah Jevano membuat Narendra harus mengikuti ucapan suaminya itu.

Jevano kembali membalikan badannya menghadap Narendra yang kini tengah melipat tangannya menatap dirinya.

“Kamu meledek saya?”

“Idih, kegeeran lu. Udah sana kalau mau mandi ya mandi. Soal omongan gua yang begini. Ya suka-suka gua mau berbicara sopan kek, mau gimana kek. Memangnya lu siapa ngatur-ngantur gua?” Jelas Narendra berbicara panjang lebar sambil menghampiri Jevano.

Narendra yang terus-terusan mulutnya tak berhenti bicara, matanya masih menatap Jevano melangkahkan kakinya menuju suaminya itu hendak protes dengan ucapan suaminya.

Tapi entah bagaimana, tiba-tiba kakinya terpeleset dan malah mengenai Jevano yang berada di depannya sehingga menindih badan suaminya.

BRUUKK

Jevano yang terkejut pun reflek memegang pinggang Narendra sehingga mereka berdua jatuh saling berhadapan. Dan yang lebih terkejut lagi, baik bibir Narendra dan juga suaminya saling bertemu.

“Tuan, Pang.. Maaf saya menganggu.”

Salah seorang pengawal yang hendak masuk namun mengurungkan niatnya ketika melihat Tuan Muda dan Pangerannya yang masih terdiam tak ada yang mau bangun satu sama lain.

•••••

Baru kali ini Narendra bertemu dengan seorang lelaki yang bawelnya melebihi dirinya. Jevano tak henti-hentinya memarahi Narendra yang terlambat datang ke Gallery, padahal sudah jelas lelaki itu menjelaskan kenapa dirinya dan Harsa bisa terlambat datang.

“Gua udah bilang sama lu. Ban mobilnya pecah. Tanya aja Harsa.”

“Kamu kan bisa ngabarin saya atau Marcus terlebih dahulu.”

“Ck.. Bawel banget sih, kamu tuh cewek atau cowok sih?” delik Narendra sebal sambil berkacak pinggang didepan Jevano yang masih duduk di sofa.

“Sudah-sudah Tuan Muda, ayo sekarang kita mulai saja fitting bajunya.” lerai Marcus. Narendra yang tak menyukai ocehan Jevano akhirnya langsung terdiam. Lalu kini dirinya fokus kepada Harsa yang sudah membawakan beberapa jas pengantin untuk di coba di ruang ganti.

Begitu juga Jevano yang ikut mencoba jas untuk acara pernikahannya. Ketika dirinya telah selesai dan kembali mendudukan dirinya di sofa. Ia menatap ke arah Narendra yang sedari tadi sudah lima kali mengganti jas.

“Bagaimana, Sa udah baguskan?” Tanya Narendra pada Harsa sang asisten.

“Bagus, Tuan Muda.” Harsa mengacungkan jempol pada Narendra yang sedari tadi tersenyum ke arah lelaki itu.

“Ya sudah berarti saya juga pakai yang putih gading juga.” Ucap Jevano tiba-tiba saat melihat pakaian Narendra.

“Baik Pangeran.”

Narendra yang mendengar percakapan Jevano dengan pelayan Gallery hanya mendelik sebal. Kenapa lelaki itu malah mengikuti apa yang ia gunakan? Serasi? Tentu tidak mungkin, lelaki itu tak mau serasi dengan seorang Pangeran yang tak ia sukai itu.

“Sudahkan semuanya? Ayo kita pergi!” Ajak Jevano.

“Nggak usah teriak-teriak bisa?” Lirih Narendra dengan ketus.

Keadaan Jevano saat itu tengah menahan ucapan Narendra yang begitu ketus. Tapi lidahnya begitu terasa kelu, ia harus menahan mulutnya karena keadaan sekarang masih diluar. Jevano harus berusaha menahannya. Harsa menggelengkan kepalanya ketika mendapati atasannya yang saling adu mulut. Otaknya tak berdiam saja, ia memikirkan sesuatu agar Jevano dan Narendra bisa bersama mulai dari detik ini.

Seperti mendapatkan ide cemerlang, Harsa menatap ke arah Marcus seolah-olah memberi kode agar Jevano dan Narendra bisa satu mobil bersama. Marcus langsung mengangguk mengerti.

“Sebentar Pangeran, ini mobil kami masih lama karena ban tidak ada cadangan. Apa boleh kami menumpang?” Pinta Harsa sopan.

Jevano menganggukan kepalanya, “Iya boleh.” Matanya menatap ke arah Narendra yang sedari tadi tangannya memegang jas berwarna biru tua. “Ya udah ayo pulang.” Lanjut Jevano sambil berdiri melewati Narendra keluar dari gallery.

•••••

Kini Jevano dan Narendra sudah duduk berdampingan di mobil milik Altaro Kingdom. Lelaki itu sedari tadi tak bisa diam, matanya menatap ke arah setiap mobil yang berisi banyak minuman bahkan ada juga makanan disana.

Jevano yang notabenya menyukai keheningan, merasa terusik karena Narendra sedari tadi tidak mau diam. Dan malah mondar mandir entah apa yang ia kerjakan.

“Kamu bisa diam tidak? Bolak balik terus, saya pusing lihatnya!” Protes Jevano sambil menatap ke arah Narendra.

“Suka-suka saya. Ini kaki dan tangan saya.” Jawab Narendra dengan ketus.

“Bisa-bisanya Ratu Shalvia menjodohkan saya dengan pria seperti anda,” Jevano bergumam sambil menatap ke arah Narendra yang tengah menatap ke arah luar jendela mobil yang tertutup tirai.

Narendra mendelik ke arah Jevano, “Memang saya mau dinikahkan dengan anda?” Marcus yang sedari tadi menjadi saksi perkelahian pasangan sejoli didepannya hanya mampu menggelengkan kepalanya. Ia begitu menyesal tak mengikuti arahan Harsa untuk duduk didepan bersama pacarnya itu. Dan beginilah hasilnya sekarang.

“Itu bukan jawaban,” Narendra memberikan tatapan tajamnya pada Jevano.

Pada saat ini ia ingin sekali mencekik lelaki disampingnya pada saat itu juga. Tapi tidak bisa, Narendra harus ingat jika lelaki itu adalah Pangeran Altaro Kingdom. Seseorang yang sangat berperan penting di negeri ini. Jadi tidak mungkin juga tiba-tiba ada berita calon suami Pangeran telah membunuh calonnya sendiri.

Begitu mengerikan menurutnya.

Kini Narendra sudah berada di dalam mobil Istana. Kini tak akan ada lagi orang-orang yang menganggunya setiap hari, tidak akan ada lagi yang meminta uang setiap jamnya dan juga renternir yang selama ini selalu membayangi dirinya tak akan ada lagi.

Lelaki itu berharap jika semua awal yang akan di alaminya itu bukan hanya mimpi sesaat. Narendra berharap dirinya bisa melupakan semuanya dan memulai dengan hidup yang baru.

Tak terasa mobil yang menemani Narendra berkeluh kesah kini telah berhenti tepat di depan sebuah Lobby gedung mewah yang tak lain Istana Altaro Kingdom.

Sudah banyak para maid dan pengawal berjejeran menyambut seseorang yang akan menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Cukup bagi Narendra memikirkan masalah diluar sana, sekarang ia sudah berada di Istana. Ia hanya mengharapkan kehidupan yang layak tanpa harus berfikir bagaimana mencari uang untuk menafkahi dirinya sehari-hari.

Narendra keluar dari dalam mobil. Netra matanya tak berhenti menilik-nilik gedung Istana berwarna kuning langsat terhias begitu indah. Ia yang tak tahu menahu soal Kerajaan hanya terdiam dan malah ikut menundukan kepalanya ketika para pengawal mendapati Narendra berjalan melewati mereka.

“Salam hormat, Baginda Ratu!” Teriak salah satu pengawal membuat semua orang disana menundukkan kepalanya.

“Selamat Datang Narendra!” Salam Matthew tersenyum ramah.

Narendra masih menundukan kepalanya tak mengerti dengan semuanya. Ia berfikir, jika dirinya akan diperlakukan biasa saja. Ternyata semua tak seperti dugaannya, tak sama dengan fikirannya saat ini.

Matthew notabenya seorang yang berpengaruh sangat penting di kerajaan dengan begitu ramah dan tenang menghampiri Narendra yang sama sekali sedari tadi masih menundukkan kepalanya.

“Narendra ayo bangun, kita semua disini sudah menunggu kamu!” Ujar Matthew merangkul bahu Narendra.

“Maaf Baginda saya izin bertanya, apa betul saya berada di Istana sekarang?” Tanya Narendra polos.

“Betul Narendra. Kamu berada di Istana,” Jawab Matthew tak mampu menahan tawanya.

Narendra menghela nafas perlahan, “Syukurlah. Berarti saya nggak harus bayar hutang lagi.” Ucap Narendra lagi.

Matthew yang berada disampingnya mulai tertawa karena perkataan Narendra. “Memangnya kamu diluar sana punya hutang?”

Narendra menggigit bibir bawahnya. Lidahnya begitu kelu tak mampu menjawab pertanyaan dari baginda Ratu. Seolah-olah mengerti, Matthew dengan segera melangkahkan kakinya memasuki Istananya.

“Permisi Baginda Ratu, jamuan makan malamnya sudah siap!”

Langkah kaki kedua orang itu terhenti ketika salah seorang pelayan di Istana menghampiri mereka berdua. Narendra sedikit lega karena Matthew tidak terus menjejelkan pertanyaan yang sudah membuatnya pusing. Akan ada saatnya sia cerita, tapi tidak sekarang.

“Baik, terima kasih Pak Sugeng. Ayo Narendra saya yakin kamu pasti belum makan malam!” Ajak Matthew.

“Silahkan Baginda!”

Narendra yang tak mengerti arah dari Istana hanya mengikuti Matthew. Kini ia sangat berterima kasih kepada Ibu Panti yang sudah memberikan wasiatnya tentang perjodohan ini. Dirinya hanya berharap, kehidupan selanjutnya nanti akan menjadi lebih baik.

Dengan begitu gagah, Jevano berjalan memasuki istana yang sangatlah megah. Outfit kerja berwarna hitam membaluti seluruh badannya yang sangat mengesankan untuk ukurannya.

Kini lelaki itu berjalan menuju sebuah ruangan yang tertutup pintu besar berwarna krem terang. Tak lupa juga beberapa orang pengawal mengikuti dirinya dari belakang.

Para pengawal berdiri mendahului Jevano dan mulai membukakan pintu besar yang kini menampakan sesosok Ayahnya yang juga begitu gagah dengan balutan jubah kerajaan Altaro Kingdom tengah duduk di kursi kerjanya.

“Salam, Baginda Raja.” Jevano membungkukan badannya memberikan tanda hormat kepada Ayahnya.

“Duduk anakku,” titah Jeffrey sambil duduk di kursi kerjanya.

Jevano mengikuti titah sang ayah. Ia duduk sambil matanya menatap Jeffrey yang tengah mengeluarkan sebuah map berwarna hijau dari laci meja kerjanya.

“Kamu sudah dengar masalah kerja sama kerajaan kita dengan kerajaan dari negeri Jiran?” Tanya Jeffrey sambil mendudukan dirinya di kursi depan Jevano.

“Sudah papa. Apa benar saya ikut dengan Papa?” Jevano ikut bertanya untuk memastikan jika Jeffrey akan ikut dengannya.

Jeffrey menganggukan kepalanya, “Iya benar anakku dan aku akan turut hadir disana.” Ucap pria itu, kemudian menyimpan map di hadapan Jevano. “Lalu Papa ingin berbicara tentang perjodohan anakku.”

“Iya, Vano sudah mendengar dari Papi soal perjodohan itu.” Jawab Jevano menanggapi ucapan Jeffrey.

Jeffrey mengangguk, “Baguslah kalau kamu sudah tahu.”

“Lalu siapa yang akan dijodohkan denganku?” Tanya Jevano seolah-olah dirinya sudah pasrah.

Jeffrey tak menjawab pertanyaan Jevano. Pria itu menyerahkan amplop yang tadi ambil ke hadapan anaknya.

Jevano menatap amplop yang diberikan Ayahnya itu. Setelah itu ia kembali menatap ke hadapan Jeffrey seolah-olah bertanya, apa isi dari amplop hijau itu.

“Amplop ini berisikan wasiat dari Nenekmu yang berjanji akan menikahkan cucunya dengan cucu temannya,” jelas Jeffrey masih membuat Jevano bungkam. “Baginda Raja Andrew berpesan pada Papa jika amplop ini harus diberikan ketika kamu sudah dewasa. Dan sekaranglah waktunya kamu mengetahui itu.”

Jevano mengambil amplop hijau didepan matanya. Mengapa harus ia yang menerima perjodohan ini? Sejuta pertanyaan, ia layangkan didalam pikirannya.

“Papa tahu, kamu pasti bertanya. Kenapa kamu yang dijodohkan?” Jevano kembali menegakkan kepalanya menatap wajah Jeffrey yang tahu isi hati Anak bungsunya.

“Betul. Kenapa harus saya yang dijodohkan dengan seseorang pilihan Baginda Ratu Shilva? Kenapa bukan Kak Darren?” Tanya Jevano seperti tak terima masalah perjodohan.

“Papa sudah menawarkan pada kakakmu. Dan ternyata ia sudah memiliki pasangan sendiri, Papimu sudah bilang padamu, bukan? Dan sungguh Papa sangat amat berharap padamu, nak.”

“Jika memang itu keputusan yang terbaik. Jevano tidak bisa lagi menolak.” Jevano hanya bisa pasrah dengan ucapan Jeffrey, yang walaupun belum sepenuhnya ia menerima perjodohan ini.

“Terima kasih, nak.”

“Kalau begitu saya permisi, ada yang harus saya urus.” pamit Jevano berdiri dari duduknya. Kemudian diikuti menundukan kepalanya dengan sopan dan berlalu meninggalkan ruang kerja Ayahandanya.

22.

Cuaca sore hari itu begitu mendukung untuk seorang laki-laki bernama Narendra untuk selalu tersenyum. Bagaimana tidak, bunga-bunga yang memenuhi toko saat ini begitu indah untuk dipandang sama persis seperti wajah menawannya penjaga toko itu. Tangannya dengan cekatan menata satu tempat dan tempat lainnya.

“Selamat daa..” Ucapannya terhenti ketika pintu toko terbuka dan telah nampak seseorang yang ia benci memasuki toko bunga tempatnya bekerja. Namun apa daya, ia tak mampu untuk melakukannya. Disana ada karyawan lain yang menemani dirinya.

Narendra hanya bisa mengulas senyuman diwajahnya tanda ramah kepada pengunjung yang sudah jelas tak lain adalah Pamannya itu.

“Na, Om minta uang!” Pinta Joki.

“Narendra nggak ada uang Om,” sanggah Narendra berbohong.

“Pelit banget kamu sama Om sendiri.” Netra Narendra tak lepas dari Joki yang kini tengah berjalan mendekati meja kasir, tangannya dengan begitu cepat mengambil beberapa lembar uang kertas yang ada disana.

Narendra terkejut melihatnya, untung saja karyawan lain tengah menuju taman belakang sehingga tak melihat uang kasir yang di curi oleh Pamannya.

Dengan cepat ia berlari menghampiri dimana pamannya berada kemudian barusaha untuk menahan tangan Joki agar tidak mengambil uang lebih banyak lagi dari meja kasir.

“Om, balikin itu uang Paman Ten.” Seru Narendra berusaha untuk merebut uang yang ada di tangan Joki.

“Salah kamu sendiri nggak bisa kasih gua duit. Gua pinjem dulu, buat judi!” Joki begitu senang setelah mendapatkan uang yang ia inginkan, dan melangkahkan kakinya keluar dari toko bunga. Narendra tak kehilangan akal, sedari tadi ia mencoba berfikir agar uang dari pemilik toko bunga agar bisa kembali tanpa berkurang sedikitpun.

Tak mau berlama lagi berfikir, lelaki itu langsung berteriak maling. Semua orang yang ada disana tak terkecuali juga karyawan lain yang berada di belakang ikut menghampiri Narendra yang kini tengah mengejar Joki.

“Maling!! Maling!!” Teriak Narendra membuat semua orang disana mulai berlari mengikuti lelaki itu berlari. Namun, entah mendapatkan ilham dari mana, tiba-tiba dua orang pria dengan pakaian hitam-hitam langsung menghadang Joki dan menarik paksa pakaian Joki malah membawanya ke depan hadapan Narendra.

“Lepasin gua!!” Pinta Joki berusaha untuk melepaskan tangan pria tersebut.

“Dibawa kemana tuan?” Tanya salah seorang pria tak lain adalah Winata menyeret Joki dengan kasar.

Narendra terdiam menatap kedua pria itu. Akan tetapi ia kembali sadar ketika mendengar suara karyawan yang kini sudah berdiri di sampingnya dengan nafas yang terenggah-engah. “Nar, lu cepet banget larinya.”

“Ah, bawa dia ke toko bunga disana.”

Ia sungguh berterima kasih kepada kedua orang pria didepannya karena telah menghadang Joki. Jika tak ada orang-orang itu, entah bagaimana kini nasibnya harus menggantikan uang kasir yang telah dibawa pamannya itu?

Narendra ikut melangkahkan kakinya kembali menuju toko bunga. Di sana ia mendapati Joki sudah tak berdaya, tangannya terikat ke belakang kursi kayu dengan begitu kuat sehingga membuat Joki susah kepayang untuk melepaskannya.

“Lepasin gua!!”

“Tolong anda diam atau kami kurung kepala anda!!” Teriak Winata memprotes pada Joki. Tak mau ambil pusing lagi, pria itu langsung mengambil solatip yang ada di atas meja dan mulai menutup mulut Joki yang terus berbicara tanpa henti.

Kedua pria itu masih diam disana. Mereka berjaga di sisi kiri dan kanan agar Joki tak mampu untuk pergi dari sana. Walaupun begitu, Narendra masih memiliki hati sambil menatap ke arah pamannya dengan rasa tak tega.

“Terima kasih pak, ini ada sedikit uang untuk bapak-bapak.” Narendra mengambil beberapa lembar uang di saku celananya dan memberikannya kepada Winata dan Yuta.

“Maaf Tuan kami kesini bukan untuk meminta uang.” Sanggah Winata.

“Lalu untuk apa?” Tanya Narendra penasaran.

“Silahkan Tuan muda.” Yuta kini mengambil alih berbicara, tangannya menyerahkan sebuah map berwarna hijau dengan bercap Altaro Kingdom kepada Narendra.

“Ini apa?”

Narendra kebingungan. Pikirannya tak mampu mencerna maksud dari ini semua. Di dalam benaknya bertanya-tanya siapa dua orang pria didepannya? Dan apa tujuan mereka datang kesini menemui dirinya.

•••••

— 18.

Langit pada siang itu begitu terik menyengat terlihat dari ufuk timur. Tapi tidak menghalangi seorang pria untuk bermain bersama dengan seekor anjing samoyed miliknya. Jevano berlari dengan begitu bahagia tanpa ada rasa beban seperti biasanya ketika melakukan kegiatan. Namun, kegiatannya terhenti ketika Raja dan Ratu keluar dari gedung berwarna emas menatap Jevano anak kebanggannya. Tanpa harus dipanggil, dirinya langsung menghampiri kedua orang tuanya dengan perasaan bahagia.

“Selamat siang, Baginda Raja dan Ratu.” Sapa Jevano ramah.

“Siang juga anakku,”

“Jevano, kemari nak. Ada yang ingin pap bicarakan!” Ucap Jeffrey sambil merangkul lengan anaknya.

Jevano yang harus menuruti semua perintah kedua orang tuanya hanya mengangguk dan ikut duduk di sofa panjang depan Jeffrey dan Matthew duduk . Tatapan kedua orang tuanya membuat Jevano kebingungan dan bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya? Mengapa kedua orangtuanya begitu serius ingin berbincang dengannya. Padahal sudah jelas sekali, kegiatan mereka itu lebih padat dibandingkan kegiatannya.

“Maaf saya lancang berbicara terlebih dahulu. Sebenarnya Baginda hendak berbicara apa kepada saya?” Tanya Jevano sopan.

“Marcus tolong ambil alih Sam dahulu,” perintah Jeffrey pada Marcus yang tak lain adalah pengawal sekaligus asisten pribadi Jevano — anaknya. Marcus yang mengerti langsung mengajak Sam — anjing kesayangan keluarga kerajaan.

Jevano kembali terdiam. Ia menunggu sang Ayah ataupun Papinya untuk menjawab pertanyaan dirinya. Dengan begitu sabar dan sopan, dirinya ikut mengalihkan pandangan pada Marcus yang sedang bermain bersama Sam.

“Bahagianya jika Sam itu anakmu, No.” Matthew terus memandangi anjing yang terus mengejar Marcus seperti memberikan kode kepada Jevano.

“Maksud Baginda Ratu apa? Saya tidak mengerti.” Balas Jevano tidak mengerti atas perkataan Matthew.

“Papa dan Papi ingin kamu segera menikah,”

Ucapan Jeffrey membuat Jevano terkejut. Menikah? Tak ada sama sekali pun di dalam benaknya memikirkan tentang pernikahan. Menurutnya, masalah dirinya menjadi seorang Pangeran sudah membuatnya pusing. Apalagi jika ditambah memikirkan seperti menikah.

“Tapi maaf Baginda. Saya belum kepikiran untuk menikah.” Sanggah Jevano dengan memberikan jawaban menolak yang baik agar tidak menyinggung kedua orang tuanya.

Matthew menghampiri Jevano dan duduk disamping sang anak, “Kita harus memperbaiki keturunan, Jevano.” lalu mengenggam tangan anak laki-laki itu, “Papi harap kamu mau segera menikah.”

“Baiklah, Jevano serahkan semuanya pada Papa dan Papi.”

Tidak ingin lama berdebat masalah pernikahan, Jevano kembali memberikan jawaban apa yang sama dengan isi hatinya. Dan juga dirinya ingin segera mengakhiri obrolannya saat itu juga. Ia berharap, kedua orang tuanya tidak melakukan hal yang aneh-aneh kedepannya.

•••••

#Prolog

Kerajaan Altaro

Malam itu, petir terus menyambar langit menciptakan suasana yang begitu mencekam. Sehingga membuat siapa saja takut akan hadirnya. Di sebuah Istana nan megah pada zamannya terlihat seorang Pria dengan gagahnya duduk di kursi singgasana kursi kerajaan. Rambutnya yang berwarna putih terang terlihat ia seperti seorang kakek, dan juga tak luput jubah merah menyelimuti tubuhnya.

Tatapan tajam ia hujamkan pada sumber suara didepannya. Perasaannya begitu menggebu-gebu namun terlihat mencengkram tengah menunggu seseorang dari balik pintu. Terdengar suara dayang istana memberikan kabar jika seseorang yang ia tunggu itu datang. Entah membawa kabar baik atau kabar buruk. Pintu terbuka dengan lebar. Wajahnya yang sedari tadi terlihat begitu suram seketika berubah menjadi sumringgah bahagia. Ia berdiri sambil manik matanya tak lepas dari pandangan seorang lelaki dengan pakaian serba hitam yang kemudian berdiri tepat di depan sang pria berjubah.

“Baginda Raja Andrew,” panggilnya sambil menundukkan wajahnya memberi hormat.

“Bagaimana?” Andrew berjalan turun dari kursi singgasananya mulai menghampiri pengawalnya. Ia begitu tak sabar dengan hasil berita yang telah diperintahkan. Ia berharap mendapakan hasil yang baik kali ini, bukan jawaban yang membuatnya kembali bersedih seperti dahulu kala.

“Semua sudah beres Baginda, mereka telah menerima amplop hijau yang anda berikan,” jawab pengawalnya dengan lembut, namun menimbulkan kesan tegas di dalamnya. Tepat sekali. Itu jawaban yang Andrew inginkan.

“Bagus. Kita harus menyelamatkan anak itu. Kita harus bisa menjauhkan dia dari kejahatan di luar sana.” Andrew tersenyum sambil kembali menaiki tangga menuju kursi kebanggaannya. “Dan juga tolong ingat dan catat perkataanku ini!” lanjutnya memberikan perintah kepada pengawalnya.

“Baik, Baginda,” jawab sang pengawal sambil menundukan wajahnya sopan.

“Semua yang ada di dalam amplop harus tersampaikan pada anak itu, karena semuanya sangatlah penting. Dan juga jika nanti dia sudah dewasa, tolong perintahkan kepada bawahan untuk menjemputnya. Kau sudah tahu akan hal ini. Jadi tolong sampaikan jika aku tak ada nanti.” Perintahnya sambil tersenyum membayangkan masa depan nanti. “Bukan hanya kau yang harus tahu. Tapi juga anak-anakku, kau sudah pegang pasangannya?”

“Sudah Baginda.”

“Bagus. Kalau begitu kau boleh keluar sekarang!” Lanjut Andrew dengan bahagia.

“Baik baginda!” Balas sang pengawal mulai berjalan mundur secara perlahan meninggalkan ruangan sang baginda.

Selepas kepergian sang pengawal. Dengan wajah yang begitu bahagia, di dalam pikirannya sudah banyak hal-hal yang akan ia kerjakan di masa depan nanti. Andrew hanya berharap jika semuanya akan berjalan dengan lancar di saat waktunya telah tiba tanpa ada hambatan menghalangi rencananya.

•••••