—Perbincangan Di kantor
Biasanya ketika awal bulan seperti sekarang ini Cafe akan ramai di padati oleh pengunjung. Namun, berbeda dengan malam ini yang tampak sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang memojok, mungkin karena di luar hujan jadi orang-orang malas untuk datang.
Dahulu pekerjaan Naufal berdiri di depan etalase melayani para pelanggan yang bermacam-macam. Namun, kini lelaki manis itu di percayai oleh pemilik cafe untuk mengurus bagian operasional, sehingga di sinilah Naufal sekarang, mengutit keyboard laptop dengan mata yang tertuju pada file di samping kanannya.
“Hoaaam ....” Jeandra menguap dengan lebar membuat Naufal terkejut.
“Katanya mau bantuin gua. Mana buktinya? Udahlah sana pergi anjir, ganggu aja!” usir Naufal dengan perasaan kesal. Pekerjaan malam ini harus ia selesaikan segera mungkin karena deadlinenya hingga besok siang.
“Mager Nau!” tolaknya secara halus.
Naufal menggelengkan kepalanya malas menanggapi lagi ucapan Jeandra. Tapi sejurus kemudian ketika ia masih fokus dengan layar laptop di depannya, lelaki manis itu di kejutkan oleh sosok arwah yang kini tengah duduk di atas meja samping laptopnya berada.
“Nau!” panggil Jeandra.
“Hmm.” deham Naufal.
“Kenapa gua tiba-tiba kepo sama kehidupan lu, ya?” celetuk Jeandra membuat aktivitas Naufal berhenti lalu menatap kedua bola mata roh tampan itu serius.
“Buat apa lu kepo? Kehidupan gua gak ada yang spesial,” jawab Naufal tersenyum miris ketika memikirkan kehidupannya.
“Menurut otak gua, lu itu nggak asing. Kaya dejavu aja.” Jawaban Jeandra membuat bola mata Naufal membulat, kemudian melirik ke arah lelaki tersebut seolah-olah mengetahui ketidak sengajaan tentang hidupnya yang tak ada kata menariknya.
“Dejavu?”
“Iya dejavu. Buruan ceritain sambil gua temenin. Nanti gua ceritain kehidupan gua yang belum lu tahu.” Seolah-olah terpancing atas ucapan Jeandra, Naufal menganggukan kepalanya tanda setuju.
Naufal menatap lurus pada Jeandra, dirinya memang merasa seharusnya ceritakan semuanya pada roh itu sebagai seorang yang kini selalu bersamanya ketika kedua sahabatnya tak bisa selalu melulu menemaninya. Lelaki manis itu bercerita awal hidupnya yang sulit ketika ayahnya meninggal ketika masih berumur 7 tahun. Daddanya harus banting tulang untuk membiayainya sekolah hingga sampai Naufal memasuki sekolah menengah atas, ia mulai membantu Daddanya bekerja karena kondisi kesehatan sang Dadda yang kurang baik.
Selama di bangku sekolah, Naufal merupakan siswa berprestasi pararel no 1 dan dibanggakan sang guru. Terkenalnya lelaki manis itu tidak hanya di lingkungan sekolah saja, tetapi hingga keluar lingkungan termasuk pada telinga Jeandra. Namun, karena kepintaran dan keluarganya yang miskin membuat ia dijauhkan oleh teman-teman di sekolahnya. Tapi, Naufal beruntung ada Haikal dan Rezvan yang mau menemaninya tanpa memandang pintar bahkan masalah status dirinya yang sekolah karena mendapatkan beasiswa.
Jeandra terus menatap ke arah Naufal. Tiba-tiba air matanya mengalir membasahi pelipis pipinya. Hatinya terenyu mendengar cerita semua masa kecil Naufal. Awalnya mungkin tak menarik, tapi ketika mendengar nama ibunda lelaki manis itu tak asing di telinganya.
“Siapa tadi nama Dadda lu?” Tanya Jeandra penasaran.
“Tanisha Adipati Dirgantara.” Naufal menatap Jeandra heran, untuk apa roh tampan itu menanyakan nama Ibundanya. Padahal sudah di pastikan tidak saling kenal. “Buat apa lu nanyain nama nyokap gua?” lanjutnya.
“Nggak apa-apa, gua cuman nanya doang. Jujur gua nggak nyangka ternyata masih ada orang setegar lu,” ujar Jeandra dengan nada lembutnya seolah-olah begitu memprihatinkannya Naufal.
“Percuma juga nangis-nangis, nggak akan ngubah hidup gua. Lagian lu lebih beruntung, punya keluarga utuh, kerjaan enak, bahkan segala yang lu mau bisa kebeli.” Naufal mencoba membanggakan Jeandra yang hidupnya jauh lebih mapan dibandingkan dirinya.
“Tapi nyatanya sekarang gua nggak bisa apa-apa.” Perkataan Jeandra sukses membuat keheningan.
Jeandra benar, kini ia hanya seorang arwah yang tak mampu melakukan aktivitas banyak seperti Naufal. Tak selamanya menjadi orang kaya dan pembisnis muda seperti Jeandra itu menyenangkan. Banyak pelaku bisnis yang harus saling bersaing di pasaran. Semakin banyak kaum muda yang menganggumi dan menggandrumi CEO muda dan tampan seperti, Jeandra. Ada juga musuh yang licik yang tak menyukainya.
Di lain tempat, Jeandra masih terbaring lemah dengan selang oksigen sebagai alat pernapasannya terpasang di dalam mulutnya, dan alat-alat menempel pada tubuhnya. Tiba-tiba saja air mata keluar, jari tangannya bergerak perlahan membuat seseorang yang tengah menjaganya terkejut dan bergegas berlari keluar kamar.
•••••