staillry

—Perbincangan Di kantor

Biasanya ketika awal bulan seperti sekarang ini Cafe akan ramai di padati oleh pengunjung. Namun, berbeda dengan malam ini yang tampak sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang memojok, mungkin karena di luar hujan jadi orang-orang malas untuk datang.

Dahulu pekerjaan Naufal berdiri di depan etalase melayani para pelanggan yang bermacam-macam. Namun, kini lelaki manis itu di percayai oleh pemilik cafe untuk mengurus bagian operasional, sehingga di sinilah Naufal sekarang, mengutit keyboard laptop dengan mata yang tertuju pada file di samping kanannya.

“Hoaaam ....” Jeandra menguap dengan lebar membuat Naufal terkejut.

“Katanya mau bantuin gua. Mana buktinya? Udahlah sana pergi anjir, ganggu aja!” usir Naufal dengan perasaan kesal. Pekerjaan malam ini harus ia selesaikan segera mungkin karena deadlinenya hingga besok siang.

“Mager Nau!” tolaknya secara halus.

Naufal menggelengkan kepalanya malas menanggapi lagi ucapan Jeandra. Tapi sejurus kemudian ketika ia masih fokus dengan layar laptop di depannya, lelaki manis itu di kejutkan oleh sosok arwah yang kini tengah duduk di atas meja samping laptopnya berada.

“Nau!” panggil Jeandra.

“Hmm.” deham Naufal.

“Kenapa gua tiba-tiba kepo sama kehidupan lu, ya?” celetuk Jeandra membuat aktivitas Naufal berhenti lalu menatap kedua bola mata roh tampan itu serius.

“Buat apa lu kepo? Kehidupan gua gak ada yang spesial,” jawab Naufal tersenyum miris ketika memikirkan kehidupannya.

“Menurut otak gua, lu itu nggak asing. Kaya dejavu aja.” Jawaban Jeandra membuat bola mata Naufal membulat, kemudian melirik ke arah lelaki tersebut seolah-olah mengetahui ketidak sengajaan tentang hidupnya yang tak ada kata menariknya.

“Dejavu?”

“Iya dejavu. Buruan ceritain sambil gua temenin. Nanti gua ceritain kehidupan gua yang belum lu tahu.” Seolah-olah terpancing atas ucapan Jeandra, Naufal menganggukan kepalanya tanda setuju.

Naufal menatap lurus pada Jeandra, dirinya memang merasa seharusnya ceritakan semuanya pada roh itu sebagai seorang yang kini selalu bersamanya ketika kedua sahabatnya tak bisa selalu melulu menemaninya. Lelaki manis itu bercerita awal hidupnya yang sulit ketika ayahnya meninggal ketika masih berumur 7 tahun. Daddanya harus banting tulang untuk membiayainya sekolah hingga sampai Naufal memasuki sekolah menengah atas, ia mulai membantu Daddanya bekerja karena kondisi kesehatan sang Dadda yang kurang baik.

Selama di bangku sekolah, Naufal merupakan siswa berprestasi pararel no 1 dan dibanggakan sang guru. Terkenalnya lelaki manis itu tidak hanya di lingkungan sekolah saja, tetapi hingga keluar lingkungan termasuk pada telinga Jeandra. Namun, karena kepintaran dan keluarganya yang miskin membuat ia dijauhkan oleh teman-teman di sekolahnya. Tapi, Naufal beruntung ada Haikal dan Rezvan yang mau menemaninya tanpa memandang pintar bahkan masalah status dirinya yang sekolah karena mendapatkan beasiswa.

Jeandra terus menatap ke arah Naufal. Tiba-tiba air matanya mengalir membasahi pelipis pipinya. Hatinya terenyu mendengar cerita semua masa kecil Naufal. Awalnya mungkin tak menarik, tapi ketika mendengar nama ibunda lelaki manis itu tak asing di telinganya.

“Siapa tadi nama Dadda lu?” Tanya Jeandra penasaran.

“Tanisha Adipati Dirgantara.” Naufal menatap Jeandra heran, untuk apa roh tampan itu menanyakan nama Ibundanya. Padahal sudah di pastikan tidak saling kenal. “Buat apa lu nanyain nama nyokap gua?” lanjutnya.

“Nggak apa-apa, gua cuman nanya doang. Jujur gua nggak nyangka ternyata masih ada orang setegar lu,” ujar Jeandra dengan nada lembutnya seolah-olah begitu memprihatinkannya Naufal.

“Percuma juga nangis-nangis, nggak akan ngubah hidup gua. Lagian lu lebih beruntung, punya keluarga utuh, kerjaan enak, bahkan segala yang lu mau bisa kebeli.” Naufal mencoba membanggakan Jeandra yang hidupnya jauh lebih mapan dibandingkan dirinya.

“Tapi nyatanya sekarang gua nggak bisa apa-apa.” Perkataan Jeandra sukses membuat keheningan.

Jeandra benar, kini ia hanya seorang arwah yang tak mampu melakukan aktivitas banyak seperti Naufal. Tak selamanya menjadi orang kaya dan pembisnis muda seperti Jeandra itu menyenangkan. Banyak pelaku bisnis yang harus saling bersaing di pasaran. Semakin banyak kaum muda yang menganggumi dan menggandrumi CEO muda dan tampan seperti, Jeandra. Ada juga musuh yang licik yang tak menyukainya.

Di lain tempat, Jeandra masih terbaring lemah dengan selang oksigen sebagai alat pernapasannya terpasang di dalam mulutnya, dan alat-alat menempel pada tubuhnya. Tiba-tiba saja air mata keluar, jari tangannya bergerak perlahan membuat seseorang yang tengah menjaganya terkejut dan bergegas berlari keluar kamar.

•••••

Karena alasan jiwa kemanusiaan dan rasa menolong sesama yang tinggi. Sekarang di sinilah Naufal berada, dalam ruangan yang luas pada sebuah bangunan berlantai tiga dengan luas taman melebihi area parkiran cafe tempatnya bekerja. Si manis tak sendirian, ada Jeandra yang menemani.

Naufal sebenarnya malu untuk mempijakkan kakinya di rumah itu untuk kedua kali. Namun, Jeandra lah yang memaksanya. Lalu, bagaimana ia tak di usir Tentu dengan berbagai alasan membuatnya bisa kembali duduk di sofa panjang berwarna putih krem.

“Untuk apa kamu datang lagi kesini? Tidak puas saya usir kemarin!” marah Jeremy.

“Maaf Tuan tapi kedatangan saya kemari atas permintaan anak anda, Jeandra Radhika Abimanyu,” jawab Naufal gugup.

Mendengar nama sang anak di sebut, baik Jeremy dan Tirta langsung memutar bola matanya ke arah Naufal. Sang empu yang di tatap malah melirik ke arah Jeandra yang berada di sampingnya.

“Saya tidak pernah mengada-ngada. Jeandra ada di samping saya sekarang,” lanjut Naufal mencoba meyakinkan.

“Jangan ngaco kamu. Mana mungkin dia bisa di sini,” sanggah Jeremy tak percaya.

Naufal mengatur nafasnya perlahan sambil menatap ke arah kedua pria didepannya bergantian. “Maaf, tapi memang Jeandra ada di sini. Di rumah sakit itu adalah raganya, sedangkan jiwa dia ada di sini bersama saya.” Tirta dan Jeremy masih bungkam menatap serius ke arah Naufal yang menceritakan dari awal bagaimana ia bisa bertemu dengan roh Naufal? Bahkan si manis bercerita sebenarnya ia memiliki kemampuan yang tak semua orang miliki, yaitu melihat makhluk tak kasat mata.

“Papi, Papa jangan khawatir. Jean selalu ada di sini sama kalian.” Naufal melirik ke arah Jeandra yang menatap kedua orang tuanya dengan sendu. Sungguh hatinya melemah. “Tolongin, Jeandra, Papa. Jeandra mau di bunuh.”

“Apa buktinya jika memang benar Jean anak kami ada di sini?” tanya Tirta tak percaya.

Naufal melirik ke arah Jeandra yang mencari sesuatu yang bisa ia pegang. Bukan benda, akan tetapi roh tampan itu malah mengangkat tangan si manis yang di tunjukkan pada dua pria di depannya.

DEG

Entah kenapa jantung milik Naufal berdetak dengan kencang, darahnya ikut berdesir lebih cepat dari biasanya ketika roh tampan itu tak sengaja memegang tangannya. Tak ingin ketahuan, dengan cepat si manis mengalihkan pada Tirta dan Jeremy yang masih setia menatapnya.

“Jeandra bilang, Papi jangan minum wine terus. Papi harus makan.” Naufal bingung harus dengan apalagi meyakinkan kedua orang tua roh tampan itu. Padahal sudah segala cara ia lakukan.

Tirta melototkan matanya dengan heran, dari mana laki-laki di depannya itu tahu jika dirinya suka meminum wine. Padahal sudah jelas Tirta dan Naufal baru saja bertemu hari ini.

“Papa nggak boleh makan daging terus, nanti kolestrolnya naik lagi,” kata Naufal seraya mengikuti Jeandra.

Baik Jeremy dan Tirta sama-sama terdiam tidak dapat lagi mengucapkan sepatah kalimat. Semua yang baru saja di ucapkan Naufal benar adanya. Mengenai daging, wine dan beberapa hal yang. Padahal sebelum Jeandra koma, kedua orang tuanya tak pernah lagi menyentuh barang haram itu. Kehadiran anak lelaki tampannya merupakan anugrah yang terindah sehingga membuat keduanya lupa. Tapi apa kali ini, semuanya terbongkar sudah.

Walaupun Jeremy dan Tirta begitu sayang pada Jeandra yang merupakan anak pertamanya. Tetapi, mereka juga tak lupa pada Calvin—si bungsu—yang juga kesayangan keduanya. Calvin pun sama seperti Jeandra, pintar. Di umurnya sekarang menginjak 20 tahun sudah menjadi asisten pendamping di kampusnya. Namun, ternyata kesan itu tak cukup.

Lalu, sekarang Tirta kembali menatap Naufal sambil meraih tangan kanan lelaki manis itu. Sang empu mengerti apa yang harus dilakukan, dengan segera tangannya meraih tangan Jeandra lalu di eratkan seolah-olah sang roh yang memegangnya.

Karena ikatan batin seorang ibunda yang kuat, Tirta tak kuasa menahan tangisnya ketika mengetahui hangatnya keberadaan sang anak. Naufal yang ada di sana ikut merasakan haru. Kerinduan sang ibunda pada anaknya yang berbulan-bulan yang masih berada dalam tidur panjangnya.

“Papi, tolongin Jean. Jean mau pulang.” Jeandra bermonolog meminta bantuan orang tuanya.

Naufal merasa iba, mencoba menterjemahkan ucapan lelaki di sampingnya itu sambil memberikan sehelai tisu pada Tirta. Si manis terdiam, menunggu respon dari pria didepannya yang kini tengah menenangkan hatinya.

“Iya sayang, k.amu mau bantuan apa? Sebisa mungkin Papi dan Papa akan bantu,” ujar Tirta dengan tenang.

Naufal mulai menyampaikan semua yang diinginkan oleh sang roh yang di awali mengenai kerinduan sang anak pada keluarganya, lalu dilanjut dengan tentang kecelakaan yang sebenarnya terjadi, tidak seperti yang beredar di media massa.

Awalnya Naufal berfikir akan di tolak kembali seperti beberapa hari lalu. Namun ia salah, keluarga besar sang roh menerimanya dengan baik. Bukan hanya itu saja Naufal yang baru saja bertemu dan berbincang sudah merasakan kehangatan bisa membuat semua orang iri melihatnya.

•••••

Bagi sebagian orang di dunia kerja setelah lelah bekerja, biasanya ingin langsung pulang ke rumah. Namun, tidak bagi Naufal yang sekarang malah berdiri tepat di halaman sebuah gedung perkantoran. Kedua tangannya berkacak pada pinggang kiri dan kanan sambil memutar bola matanya.

“Serius ini kantor punya dia?” gumam Naufal takjub.

Kemudian, Naufal melangkahkan kakinya memasuki area perkantoran dengan arahan yang diberikan oleh Jeandra. Si roh bilang kalau ia ingin masuk menuju kantornya harus melewati satpam dan lift.

Namun, Naufal lihat ke segala arah jika orang-orang bisa memasuki lift harus menggunakan kartu akses. Sedangkan si lelaki manis tak memilikinya.

“Na, jangan lewat pintu utama. Lu bisa masuk dari basemant,” titah Jeandra.

“Kenapa nggak ngomong dari tadi sih lu!” ketus Naufal memukul tangan si roh. Jeandra menyunggingkan senyuman hingga matanya membentuk bulan sabit. “Sorry. Gua lupa ngasih tahu lu. Ya udah ayo ke sini!” lalu berjalan kembali keluar dari gedung.

Si roh menuntun Naufal mengikutinya yang kini sudah berjalan terlebih dahulu. Si manis di ajak berjalan menuju pintu menuju basemant yang tak ada pengawasan satpam maupun bodyguard sama sekali. Sebenarnya Naufal masih tak mengerti kenapa Jeandra memerintahnya untuk kemari. Tetapi tadi jika tidak salah dengar, si roh bilang jika ia harus menyimpan file rahasia yang kemungkinan bisa di akses oleh siapapun.

“Na, kenapa diam saja di situ ayo!” ajak Jeandra yang sudah masuk ke pintu lift yang sudah terbuka.

Naufal menurut melangkahkan kakinya ke dalam sana. “Jean, jadi gua harus ambil file di komputer lu kan? Cctv juga?” “Iya lu ambil itu di sana. Berisik gua duluan.” Jeandra menghilangkan dirinya dari sana.

“Lah anjir malah ninggalin gua. Gimana gua masuk ke sananya?” gumam Naufal lirih. “Apa gua balik lagi aja? Ah, nggak mungkin. Bisa-bisanya ganggu gua terus tuh anak. Ayo Na, lu pasti bisa!!” lanjutnya menyemangati dirinya sendiri.

Sesampainya Naufal di lantai tujuan, kedua matanya melirik kanan dan kiri lorong yang di penuhi dinding kayu dan beberapa pintu akses keluar masuk. Hingga telapak kakinya sampai tak jauh dari pintu bertuliskan 'CEO ROOM'.

Naufal bingung, harus bagaimana ia masuk ke sana. Tidak mungkin juga langsung masuk tanpa bertanya pada meja resepsionist. Lelaki manis itu masih mematung di tempat. “Gua tungguin mereka pergi aja kayanya.” Tak selang beberapa lama, Naufal melihat jika perempuan tersebut berdiri sambil menyampirkan tasnya lalu pergi dari sana membuat dirinya merasa lega. Karena merasa sudah aman, Naufal langsung berjalan memasuki ruang kerja yang tak lain milik Jeandra.

Ketika awal membuka pintu, Naufal di kejutkan dengan ruang kerja yang sangat luas. Lebih luas dari cafe milik Marsha. Menurutnya ini sangatlah besar, jarak antara pintu dan meja kerja lumayan jauh. Tak hanya itu saja yang membuatnya takjub, seluruh jendela kaca yang memperlihatkan pada gedung-gedung pencakar langit yang lebih pendek dari tempat Naufal berdiri. Sungguh beruntung para karyawan bisa bekerja di sana.

“Lama bener!” sungut Jeandra menatap Naufal dengan kesal.

“Mau masuk ke sini itu susah, lu nggak mikir apa?” balas Naufal tak kalah kesal. “Ya udah ayo cepetan, gua harus ngapain?” Naufal duduk tepat di kursi goyang yang biasa Jeandra gunakan sehari-harinya untuk bekerja. Jeandra memutar bola matanya menatap ke arah iMac sebagai tanda kode pada Naufal. Si empu yang di perintahkan langsung peka mencari tombol power untuk mengaksesnya.

Tak menunggu lama, iMac menyala. Naufal langsung melancarkan aksinya memindahkan seluruh laporan bahkan file-file penting sesuai arahan Jeandra. Walaupun terkadang dirinya kesal karena sang roh yang sama sekali tak sabaran.

“Beres. Jean ini file cctv ada di—,” ucap Naufal terpotong ketika mendengar suara berteriak mendekat ke arahnya.. Naufal lupa jika ia belum merasa lega karena masih ada satpam yang berjaga di sana.

Jeandra hanya mematung di sana ketika mendengae suara langkah kaki itu semakin mendekat kemudian ia saling melempar tatap dengan Naufal.

Naufal merasa gugup takut dirinya di sangka maling. Belum juga sempat untuk mematikan iMac. Tiba-tiba saja dua seorang pria berbadan besar berseragam putih biru tua lengkap dengan topi dan tongkat yang si sisipkan pada sabuk celana berjalan berjalan menghampirinya dengan wajah yang garang.

“Siapa kamu? Kenapa kamu ada di ruangan tuan Jeandra? Mau maling ya?” Pria berseragam itu menghujam Naufal dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

Naufal hendak menjawab, tapi pria tersebut langsung menarik si manis pergi dari sana. Ia hanya bisa pasrah tanpa perlawanan, jika melakukan itu pun percuma. Bisa-bisa Naufal di bawa ke penjara dan di anggap sebagai buronan.

Jeandra ingin menolong lelaki manis itu. Namun saja percuma, ia hanyalah roh yang tak bisa berteriak atau pun menyentuh benda. Lelaki itu hanya bisa meminta maaf walaupun tak terdengar sama sekali.

•••••

Atensi sesosok laki-laki tak berhenti memutar. Ia terkejut dengan keadaan rumah yang ada di depannya. Gerbang berwarna besar dengan tinggi sekitar 15 meter menutupi bangunan di dalamnya. Bahkan di sisinya tembok-tembok putih susu menghiasi seluruhnya yang terkesan sangat mewah.

Naufal, sesosok tadi masih mematung di sana. Ia tak seorang diri, ada seorang lelaki yang menemaninya di sana.

“Ini serius rumah orang tua lu?” Tanya Naufal ragu.

“Yuk masuk.” Jeandra menembuskan badannya pada tembok, ia lupa jika Naufal masih tak tahu cara untuk masuk ke dalam sana.

Naufal berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya heran pada Jeandra yang tak memikirkannya. Bola matanya berputar mencari sesuatu yang bisa membuat pagar terbuka. Mata lelaki manis itu menangkap benda kecil tertempel di sana, ia langsung menekannya.

“Hello, with Abiputra Family here. Can I help you?”

“Mampus, pake bahasa inggris. Hmm ... Can i meet with Jeandra Parents?” balas Naufal terbata-bata.

Tak ada lagi suara dari arah benda tersebut. Cukup lama lelaki itu menunggu, hingga akhirnya pintu gerbang terbuka dengan sendirinya. Naufal segera melangkah masuk, takut tak bisa lagi masuk jika di nanti-nanti. Itu pikirnya.

Di sisi lain, Jeandra yang sudah berada di dalam rumah. Menatap nanar ke arah kedua orang tuanya yang tampak tak berhenti bersedih. Sungguh ia menyesal tak mengindahkan ucapan sang Papi pada saat itu. Jeandra marah pada dirinya sudah membuat Papa dan Papinya sakit seperti ini. Ketukan pintu rumah memecahkan lamunan Jeandra dan kedua orang tuanya. Pelayan yang berada di sana langsung membukakan pintu yang menghubungkan menuju ruang tamu rumah tersebut. Naufal masuk lalu di sambut senyuman dari sang pemilik rumah termasuk arwah yang meminta bantuan padanya. “Permisi, maaf menganggu,” ujar Naufal sopan.

“Silahkan duduk dahulu.” Naufal duduk pada sofa tak jauh dari keduanya lalu di belakangnya terdapat Jeandra yang sedari tadi bergumam. Naufal menghela nafas merasa gugup untuk berbicara. “Kedatangan saya kemari karena atas perintah Jeandra.”

“Anda siapanya Jeandra?” Tanya pria yang tak lain Jeremy.

“Saya temannya Jeandra. Kami bertemu karena dia sering datang ke cafe tempat saya bekerja,” jawab Naufal mencoba meyakinkan kedua orang di depannya. “Jika boleh saya ingin ke kamar mandi?” Tanya Naufal balik.

“Papi bukannya temannya Jeandra itu hanya Marsha dan Lucy?” Jeremy bertanya sambil menatap ke arah pria yang berada dalam pelukannya.

“Huum ... Mungkin teman baru,” balas pria yang tak lain adalah Tirta.

“Kamu perlu uang?” Jeremy spontan mengatakan uang. Memang keluarga Abiputra adalah keluarga terkaya no 1 menurut majalah Porbes. Namun, untuk Naufal uang bukanlah segala hal. Ia juga sangat membutuhkan itu, tapi hati nuraninya berkata untuk tidak melakukan yang tidak-tidak.

“Maaf tapi saya kemari bukan untuk meminta uang!!” cicit Naufal sedikit kesal.

“Jika tidak ada lagi yang dibutuhkan, tolong kamu keluar dari rumah kami. Sudah banyak yang mengaku teman-temannya Jeandra. Kami hanya kenal Marsha dan Luca. Pergi!!” usir Jeremy dengan nada tingginya. Naufal menatap ke arah Jeremy. “Jeandra bilang dia rindu pada kalian.”

Perkataan Naufal membuat sontak keduanya berhenti, melirik ke arah Naufal dan sang istri bergantian. Namun, karena Jeremy tak merasa mengenali Naufal, ia tetap mengusir lelaki yang terasa asing di matanya itu. “Papa, Tolong bantu Jeandra,” ulang Naufal.

“Kami tidak akan mempercayai kamu. Pergi!” usir Jeremy pada Naufal. Naufal menatap sendu ke arah Jeandra yang sedari tadi menahan tangis karena tak bisa menggapai sang ayah. Lelaki manis itu ingin sekali memberi tahu jika anaknya ada di sini sekarang. Tapi, Jeremy sama sekali tak mempercayainya.

Tak apa jika hari ini Naufal di usir. Mungkin besok lelaki itu akan kembali mencoba agar orang tua percaya padanya. Bagaimana pun caranya ia akan coba demi uang dan juga rasa kemanusiaan.

Naufal berfikir, mungkin juga besok orang tua Jeandra akan percaya padanya.

•••••

Langit yang sedari tadi cerah, berubah seketika menjadi gelap ketika dua orang pasang mata saling bertatap-tatapan. Pemilik mata itu tak lain adalah Naufal, lelaki yang memiliki perawakan tak jangkung dan tak pendek, memiliki hidung bangir, kulit badannya yang putih. Kini ia tengah duduk sembari menatap sesosok lelaki di sebrangnya.

Suasana kantin rumah sakit saat itu tak begitu ramai. Pasalnya, ini sudah melewati jam malam yang berarti sudah berakhirnya masa kunjungan pada pasien. Sebelumnya Naufal menyimak cerita Jeandra jika beberapa bulan silam, lelaki itu mengalami kecelakaan. Mobil mewah milik si lelaki bermata sipit itu sulit mengendalikan pedal remnya. Padahal sudah sangat jelas jika saat itu mobil terdebut baru saja Jeandra beli dari dealer mobil.

Ceritanya tak berhenti di situ saja, sekarang jiwa Jeandra terhempas dari dalam raganya sejak ia berada di rumah sakit. Lelaki itu sangat terkejut ketika mendapati kedua orang tua bahkan adiknya bersedih.

“Jadi maksudnya, lu itu nggak bisa di lihat semua orang?” Naufal menatap lelaki di depannya dengan penuh tanda tanya. Bukannya tak percaya, tapi ia harus memastikan lagi jika memang memang Jeandra tak terlihat oleh orang lain.

Jeandra mehembuskan nafasnya. “Iya, udah gua bilangin dari tadi. Lu gak percaya?”

“Bukannya nggak percaya. Tapi—.” Sebenarnya Naufal bingung antara percaya atau tidak dengan sosok Jeandra yang katanya Tak semua orang bisa melihatnya. Pasalnya, lelaki itu tak pernah tahu bisa melihat arwah dan semacamnya. Bahkan Tanisha, sang Dadda tak pernah bercerita mengenai bisa melihat hal mistis seperti ini.

“Tapi apa?” Jeandra balik bertanya karena Naufal sedari tadi terlihat ragu untuk menjawab. Padahal sudah jelas si lelaki manis itu sudah di pastikan bisa melihatnya.

Jeandra memutarkan otak pintarnya mencari cara agar Naufal bisa percaya. Hingga sebuah ide terlintas. “Kalau memang lu masih nggak percaya, lu foto gua sekarang!” Titah Jeandra dengan matanya tak tanggal sedikit pun dari saku sang lawan.

“Buat apa?” Sanggah Naufal takut.

“Cepetan!!” seru Jeandra lagi. Naufal memutar bola matanya malas karena berani-beraninya lelaki itu memerintah dirinya. Tangannya mengeluarkan ponsel pintar itu, tak lupa juga ia membuka aplikasi kamera. “Nih, selfie aja sendiri.”

“Kok jadi gua? Kan lu yang gua suruh!” Jeandra menatap ponsel yang di ulurkan padanya.

“Astaga,” cicit Naufal dengan ekspresi kesalnya. Lelaki itu bersumpah, baru kali ini menemui sosok yang seperti sekarang ini. Ia menurut mulai membuka aplikasi kamera tanpa bersuara dengan sekali tekan.

Jeandra menautkan alisnya, menunggu aksi Naufal. Sebab sedari tadi lelaki itu hanya berkutat pada ponsel pintarnya membuat Jeandra penasaran sebenarnya apa yang di kerjakannya. “Lama sekali.”

“Bisa sabar nggak!!” sunggut Naufal.

Karena memiliki sifat tak sabaran, Jeandra mendekati Naufal sambil sebelah matany menyipit pada ponsel. Naufal yang menyadari, dengan segera menyimpannya ke dalam saku celana berlalu menatap Jeandra tak suka. “Bisa nggak, sih, sabar nungguin sambil duduk,” gerutu Naufal kesal.

Jeandra mengedingkan bahunya sambil kembali duduk pada kursi sofa di samping Naufal duduk. Kini mata lelaki itu menelisik ke segala penjuru kantin yang sudah sepi, hanya ada beberapa orang saya yang berlalu lalang.

Di antara orang-orang tak jauh dari sana, menatap keduanya aneh. Terutama pada Naufal yang terlihat mengomel seperti sedang berbicara sendiri. Seperti orang gila katanya.

•••••

Pemandangan kota Bandung pada malam hari terlihat sangat indah, lampu-lampu jalanan menghiasi berderetan. Naufal baru saja mempijakkan kakinya di lantai dasar rumah sakit Borromeus untuk membeli sedikit kudapan yang di pinta sang Dadda.

Setelah selesai membayar pada kasir, sambil menunggu lift yang lama terbuka. Naufal menatap ke arah sekitar rumah sakit yang sepi. Jelas sepi, sudah jam berapa ini. Matanya kembali menelisik ke arah aquarium kaca besar yang berisikan ikan nirwana yang panjangnya sekitar 6 meter, sungguh menarik perhatiannya.

Bosan melihat ikan, Naufal duduk tepat di kursi depan pintu lift yang akan membawanya ke lantai tujuan. Tak lupa menelisik kiri dan kanan mencari untuk di jadikan objek perhatinnya. Tiba-tiba saja bola matanya tak sengaja menangkap seorang laki-laki seusianya memperhatikan Naufal.

“Kenapa sih tuh orang liatin gua gitu amat?” gumam Naufal pelan.

TING!

Pintu lift terbuka, dengan cepat Naufal memasukinya. Di dalam sana, ia masih memikirkan cara untuk melunasi tunggakan rumah sakit yang semakin membengkak. Apa ia terima saja uang yang di kirimkan Rezvan dan Marsha, pacarnya Haikal? Nanti saja ia pikirkan lagi. Itu pikirnya. Naufal melangkahkan kakinya di lorong menuju kamar Ibundanya, tapi bulu kuduknya seperti merasakan ada yang mengikutinya. Ia membalikkan badan takut ada orang yang jahat mengikutinya. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Karena merasa hawanya sudah aneh, segera Naufal berlari.

“Upal, kenapa nafasnya kaya gitu?” Tanya Tanisha heran.

“Nggak apa-apa, Dadda. Ini pesenannya,” jawab Naufal mengalihkan pembicaraan, lalu duduk di kursi samping Tanisha.

“Makasih sayang. Upal sudah makan?” Tanya wanita itu lagi.

Naufal menganggukkan kepalanya. “Udah, Dadda nggak usah khawatir. Ini di makan dulu, keburu dingin nggak enak.” sambil membuka plastik risoles ke dalam piring. “Gimana kondisi Dadda hari ini?” Tanya Naufal.

“Kondisi Dadda baik-baik aja sekarang, udah ngerasa enakan juga,” balas Tanisha lirih.

“Syukurlah. Sehabis ini Dadda harus istirahat, biar besok badannya fit lagi.” Naufal tersenyum sambil menahan perih pada perutnya yang kelaparan. Lelaki itu tak peduli jika dirinya belum makan, ia bisa memikirkan lagi nanti. Yang jelas sekarang, Daddanya harus sehat dan itu membuatnya cukup tenang.

Naufal kini merebahkan dirinya di atas sofa kulit tak jauh dari ranjang Tanisha. Lelaki itu sangat lapar dan mencoba meronggoh sesuatu dari dalam saku celananya. Roti yang ia dapatkan dari cafe tempatnya bekerja. Ia mengunyah habis roti tersebut tanpa tersisa sedikit pun. Dari pada harus menahan lapar lagi, sebaiknya Naufal tidur saja sambil menunggu hari yang melelahkan.

Di sisi lain, ada sesosok laki-laki tak terlihat menatap Naufal yang sedang tertidur. Jean tersenyum, matanya tak lepas dari pandangan indah di depannya. Ia yakin, jika laki-laki di depannya itu bisa melihatnya tadi. Mungkin, Jean akan mencoba berinteraksi dengan Naufal besok.

•••••

007

Suasana di rumah sakit kala malam itu mulai sepi, hiruk pikuk manusia mulai menghilang. Terlihat sepasang netra sayu memandang ke arah pintu berwarna putih di depannya yang masih tertutup dengan rapat. Tak ada lagi senyuman yang ia torehkan dari wajah manisnya setibanya di sana. Tirta, pria pemilik netra itu tak berhenti berucapkan doa untuk Jeandra Radhika Abimanyu—anaknya—yang kini berada di dalam ruang operasi pasca kecelakaan beberapa jam yang lalu. Tak hanya Tirta yang ada di sana, Jeremi dan anak bungsunya setia menemani.

Tak selang beberapa lama, seorang pria berbadan tegap dengan pakaian biru muda keluar dari ruang operasi. Tirta menghampiri dokter dengan berharap mendapatkan hasil yang baik. Helaan nafas yang keluar dari mulut dokter ketika membuka masker membuat Tirta bertanya-tanya.

“Gimana keadaan Jean?” Tanya Tirta tak sabar.

“Operasi berjalan lancar, pendarahan di otaknya bisa dihentikan.” Dokter memegang bahu Jeremy. “Tapi, kondisi Jean belum bisa dikatakan stabil akibat benturan di kepalanya.” lanjut sang Dokter dengan wajah ibanya.

Darah yang berdesir tiba-tiba saja terhenti dari dalam tubuh Tirta ketika mendengar penuturan sang dokter, membuat pria itu menjatuhkan dirinya ke belakang. Jeremy yang berada tak jauh darinya, dengan cepat menahan badan pria manis itu agar tak jatuh ke lantai.

Calvin yang melihat kedua orang tuanya pergi dari sana dengan cepat mengambil alih atensinya pada dokter yang masih di sana.

“Aku mohon lakukan yang terbaik untuk Kak Jean, Paman,” pinta Calvin sambil memegang tangan dokter tersebut.

Sang dokter tersenyum ramah. “Paman akan berusaha melakukan yang terbaik untuk kakak kamu.”

“Harus Paman,” tungkas Calvin cepat.

“Kalau begitu paman permisi, mau memindahkan kakak kamu ke ICU,” pamit sang dokter meninggalkan Calvin yang menatapnya dengan haru.

Setelah kepergian dokter, Calvin baru menyadari jika orang tuanya entah di mana keberadaannya. Ia melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit. Hingga pada akhirnya pijakan kakinya terhenti di ruangan yang berukuran 12 meter.

Di sisi lain, terlihat seorang lelaki yang berjalan gontai keluar dari pintu ruang operasi. Coat dan kaos coklat senada dengan celana jeans hitam panjang membaluti badan tegapnya. Kakinya terus melangkah dengan wajah kebingungan.

Ketika sedang asyik berjalan, tiba-tiba saja atensinya tertuju pada orang-orang dengan pakaian serba putih berkerumunan mengintip pada celah pintu kamar yang tak tertutup rapat. Karena penasaran, lelaki itu langsung menghampirinya dan ikut melirik ke dalam. Hingga netranya tak sengaja melihat sesorang yang di kenalinya.

“Ada Papa di sana, kenapa Bubu di infus? Calvin juga ada di dalam. Sebenarnya ada apa ini?” Tanyanya penasaran. “Ini orang-orang ngehalangin aja, gua mau masuk.” gerutunya sambil berkacak pinggang.

“Permisi pak. Itu orang tua saya ada di dalam, saya mau lewat.” Lelaki itu mencoba menegur pria yang ada di depannya, tapi tak ada respon sama sekali.

“Woy! Awas gua mau masuk!” Teriak lelaki itu kesal karena pria didepannya sama sekali tak mengubris. “Astaga, pak saya mau lewat.” Kini suaranya melembut setelah kesekian kali orang yang ada di depannya tak juga menyingkir. Percuma mau bagaimana pun suaranya, pria tersebut tak akan terdengar.

Detik berikutnya lelaki itu bisa bernafas lega karena pintu terbuka. Betapa terkejutnya ia ketika salah seorang dari mereka bisa menembus badannya. Bukan hanya itu saja, keanehan bertambah lagi pada saat lelaki itu mencoba menempelkan tangannya ke tembok, tapi setengah badannya menembus.

“Nggak mungkinkan, ini nggak mungkin! Pak, halo pak Bapak bisa liat saya, kan?” Lelaki itu mencoba bertanya pada pria di sampingnya, berharap dugaannya salah. Bukannya menjawab, pria itu malah melenggang pergi. Lalu, lelaki itu mencoba untuk menyakinkan dirinya kembali. Ia masuk ke dalam kamar menghampiri Calvin yang duduk di sofa panjang bersama Jeremy. “Dek, ini gua. Lu bisa liat gua, kan?”

Lelaki itu mencoba menyentuh Calvin, tapi tak bisa. Gagal mendapatkan respon dari sang Adik, ia berbalik ke arah Jeremy.

“Papa, Jeandra di sini. Kalian kenapa diem aja?” Tanya Lelaki itu lagi.

Lelaki yang memanggil namanya Jeandra mehembuskan nafasnya kesal, lalu mengalihkan pandangannya pada pria yang terbaring di ranjang Rumah sakit. Lelaki itu mencoba menyentuh tangan sang empu, tapi responnya masih sama.

Jeandra bingung, sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa semua orang tidak bisa melihat dirinya? Ia melihat pada tangannya sendiri tak ada yang salah. Namun, kenapa ia tidak bisa menyentuh badan orang lain?

Tiba-tiba telinga Jeandra mendengung, kepalanya memutar 360 derajat dan matanya terpejam seraya merasakan rasa sakit. Lelaki itu mencoba mengerjapkan matanya, walaupun sangat sulit. Jeandra terkejut tangan, kaki dan menjalar ke seluruh badannya mulai menghilang secara perlahan. Lelaki itu berharap jika saat ini ada yang bisa menolongnya dari rasa sakit ini. Hanya itu harapannya.

•••••

Angin malam berhembus melewati taman perkarangan Villa milik keluarga besar Abiputra. Bunga-bunga menghiasi sekitarnya sangat cantik dan elok, tak lupa juga ornamen-ornamen lampu kecil bergantungan.

Namun, hal itu tak menghalangi semua orang untuk beraktivitas di sana. Alunan musik jazz romansa menggema mengisi kekosongan taman, tak lupa juga mc menyapa para tamu undangan yang turut hadir silih berganti.

Ginela kini duduk bersama ayah mertuanya sambil menikmati pemandangan indah di luar sana. Hari ini adalah hari pernikahan mantan pacarnya dengan sahabatnya, Laluna. Perempuan itu tak ada rasa cemburu ataupun iri. Karena bagi Ginela, Arseno sudahlah lebih dari cukup dan Ghazi hanyalah masa lalunya. “Sayang, kamu udah makan?” Tanya Arseno duduk di samping ayahnya.

“Udah sayang tadi sekalian suapin makan Arga,” jawab Ginela sambil menyuapi ayah mertuanya lagi.

Arseno mengelus rambut Ginela lega. “Syukurlah, sayang. Ayah Arseno ke depan dulu ya.” lalu berdiri menatap mata istrinya. “Kalau gitu aku ke depan lagi sambut tamunya Daddy.”

“Iya sayang,” ujar Ginela menganggukan kepalanya seraya menjawab ucapan suaminya.

Setelah selesai menyuapi ayah mertuanya, kini Ginela duduk kembali sambil bermain bersama Arga dan Raka. Senyuman tak lepas dari wajahnya ketika melihat keduanya akur.

“Ne ... La ...,” panggil ayah mertuanya.

“Iya, ayah kenapa?” sahut Ginela menghadap ayah mertuanya.

“Mana Sen .. o?” Tanya ayah mertuanya terbata-bata.

“Ayah mau ke Seno. Ginela panggilin dulu ya, tunggu sebentar.” Kemudian Ginela melangkahkan kakinya pergi mencari keberadaan sang suami yang entah di mana keberadaannya.

Sepeninggalan menantunya, pria tua yang biasa dipanggil Mang Ujang oleh sebagian orang yang di kenalinya, tersenyum ke arah Ginela dan Arseno yang berjalan memasuki bagian dalam villa.

“Ada apa ayah?” ujar Arseno jongkok di depan ayahnya.

“Pulang,” pinta Mang Ujang terbata.

Arseno menganggukan kepalanya. “Ayah mau pulang? Ya udah kita pulang, ya. Seno izin dulu sama Daddy.” Lalu melangkahkan kaki untuk mencari ayah sambungnya.

Ginela yang sedari tadi menyimak percakapan antara anak dan ayah itu hanya tersenyum. Kemudian ia kembali duduk mengajak Mang Ujang membicarakan pertemuan awalnya bersama Arseno, walaupun ia tahu jika hal itu tak mungkin ditanggapi oleh lawan bicaranya.

Tak lama dari obrolan keduanya itu terhenti ketika seseorang memanggil Ginela. “Hai, Nel,” sapa Laluna.

“Hi, selamat atas pernikahan kalian berdua,” balas Ginela mengulurkan tangannya.

Laluna menerima uluran tangan sahabatnya. “Makasih ya, udah hadir dan gua mau mi—.”

“Santai aja. Maaf, Lun, gua duluan,” balas Ginela memotong ucapan Laluna setelah netranya melihat Arseno mendekat.

Tanpa mau berbasa-basi lagi, Ginela segera mendorong kursi roda ayah mertuanya meninggalkan kedua pasangan yang mematung dan diikuti oleh babysister yang menggendong Arga.

Entah kenapa hati Ginela terasa sakit jika terus di sana, seolah-olah luka lama kembali terbuka. Walaupun ia sudah memaafkan tapi sangat sulit untuk melupakan masa lalu.

•••••

Kejutan untuk Arseno

Pesawat mendarat dengan sempurna tepat di atas sebuah gedung pencangkar langit berjulang tinggi. Pintu pesawat terbuka, seuntai kaki jenjang keluar dari sana. Pemilik kaki itu adalah Arseno, pria yang tak lain adalah pengusaha sukses yang berpengaruh di seluruh penjuru negeri.

Arseno tak seorang diri, terlihat ada seorang perempuan mengikutinya turun dari sana dengan mengenggam tangan Arseno. Perempuan itu tak lain adalah Ginela—istrinya. Keduanya baru saja mempijakkan kaki di tanah kelahiran, setelah bepergian dari luar negeri dengan cerita bertajuk bulan madu.

Hingga sampai Arseno dan Ginela duduk bersebelahan di dalam mobil tak lupa juga untuk saling bercengkrama satu sama lain. Terpancarkan binar mata keduanya yang bahagia seperti pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan kemarin.

“Aku kangen Arga yang.” Ginela merengek sambil memeluk manja Arseno.

“Iya sabar, ini kan kita lagi perjalanan ke rumah mama untuk jemput Arga, Sayang.” Arseno mengelus rambut Ginela dengan lembut, berusaha untuk menenangkan hati istrinya.

Ginela mendengus. “Lama!”

“Sabar sayang.” Mendengar dengusan sang istri, dengan cepat Arseno memeluk badan Ginela, membelai rambut panjang terutai itu. Tak lupa juga lelaki itu untuk mencium kening perempuan di sampingnya karena Arseno yakin, jika cara ini sangat ampuh untuk membuat Ginela tenang.

Setelah menghadapi drama Ginela dengan acara marahnya, akhirnya mobil yang ditumpangi keduanya sampai di tempat tujuan. Pintu mobil terbuka, baik Arseno dan Ginela bergegas keluar dari mobil dengan rasa tak sabar akan bertemu anaknya yang sudah mereka nantikan.

Ketika memasuki teras depan rumah, Arseno dan Ginela di sambut meriah oleh sanak keluarga. Hingga atensi lelaki itu tak sengaja melihat ke arah punggung seorang pria tua yang sedang duduk di kursi roda membelakanginya. Langkah kakinya keduanya memasuki ruang tamu rumah yang sudah ada beberapa orang berkumpul di dalam sana dengan kesibukan masing-masing.

“Permisi!” sapa Arseno sehingga membuat seluruh atensi tertuju padanya. Yunita yang sedang berbincang bersama langsung menolehkan kepalanya ketika mendengar suara yang tak asing di telinganya.

“Akhirnya kalian datang juga. Mommy rindu kalian,” seru Yunita bahagia.

“Mommy lebay. Aku ke LA cuman 1 mingg—,” balas Arseno sebal. “Mom, banyak juga yang dateng. Arga mana?” lanjutnya menelisik setiap sudut ruangan mencari sosok anaknya.

Yunita menatap ke arah seorang perempuan yang sedang bermain bersama kedua anak kecil yang mulai bisa berjalan. Ia tak sendiri, ada laki-laki yang menemaninya.

“Eh, Kak,” sapa Ghazi berjalan ke arah Arseno.

Arseno menerima uluran tangan Ghazi sambil tersenyum. “Apa kabar lu?” “Baik gua. Gimana bulan madunya lancar nggak?” Ghazi bertanya balik sambil menatap ke arah Ginela yang masih berbincang dengan mamanya. “Gua mau minta maaf atas kesalahan gua.”

“Ya begitulah, Arga mana?” Tanya Arseno matanya melirik ke arah Arga, mengalihkan pembicaraan Ghazi.

Ginela yang sudah selesai dengan acara menyapa sanak keluarga, langsung berjalan menghampiri Arseno tanpa mau menerima sapaan sang mantan yang tersenyum padanya.

“Nah, sekarang udah pada lengkah, kumpul semua jadi kita mulai aja acaranya.” Yunita mulai menghampiri Haris yang tak jauh dari sana, entah apa yang sedang mereka bicarakan.

“Karena kalian udah datang, ayo duduk dulu!” Ajak Yunita pada Arseno dan Ginela.

Kemudian Ginela dan Arseno duduk di sofa kosong yang tersedia di sana. Perempuan dengan balutan gaun motif bunga-bunga itu kini tak senggan-senggan mencium pipi sang anak, akibat rasa rindu yang amat sangat mendalam. Setelahnya, Ginela kembali menyimak pada sang ibu mertua dan ayah mertua yang sekarang tengah berdiri di depan para tamu.

“Sebelumnya, saya mau mengucapkan terima kasih yang sudah turut hadir di sini,” kata Harish dengan senyuman di wajahnya. “Selain itu ada tujuan lain yang ingin saya sampaikan saat ini. Ada dua hal yang akan saya sampaikan. Mungkin Mama yang pertama menyampaikannta. Silahkan, Ma!” Lanjut Haris sambil mempersilahkan istrinya untuk giliran berbicara.

Yunita tersenyum, “Kalau begitu kita langsung saja, saya dan suami turut mengundang sekeluarga untuk datang ke acara pernikahan Ghazi dan Laluna pekan depan, acaranya akan dilaksanakan di sini.”

Semua mata di sana menganggukan kepalanya sambil melirik pada Ghazi dan Laluna yang menundukan kepalanya memberikan sapaan ramah hanya dengan senyuman dari wajah keduanya.

“Lalu, saya ingin memperkenalkan seseorang yang sangat berjasa bagi hidup saya dan suami.” Yunita berjalan membantu Haris yang tengah mendorong kursi roda, hal itu membuat semua bertanya-tanya siapa pria tua itu.

“Itu bukannya mang ujang?”

“Ehh, iya. Ya Allah perasaan kemaren tuh masih nganterin Yunita sama Haris. Udah tua juga.”

“Arseno sini sayang!” titah Yunita pada Arseno.

Tak ingin membuat mamanya menunggu, Arseno segera menghampiri sang mama dengan perasaan bertanya-tanya sebenarnya siapa pria tua yang bersama kedua orang tuanya itu.

“Ada apa, Mom?” Tanya Arseno bingung.

Yunita menarik nafas sebentar. “Sekarang saat yang tepat kamu tahu hal ini,”

“Hah? Maksudnya gimana?” tanya Arseno bingung. Haris memegang bahu Arseno. “Mang Ujang itu ayah kandungmu, Sen.”

“Mommy, Daddy, please it's not funny!” bantah Arseno tak percaya.

“Do we look a joke, baby?” Yunita balik bertanya untuk meyakinkan sang anak.

Arseno merasa ucapan mamanya serius, sebab dari tadi ia sama sekali tak menemukan jika Yunita tengah berbohong. Lelaki itu beralih menatap ke arah Haris lekat untuk meminta jawaban, dan pria itu hanya memberikan anggukan sebagai jawaban atas kebingungan Arseno.

•••••

Part II

Keesokan paginya, matahari sudah menampakan keindahannya dari ufuk timur, tetapi kedua insan masih setia berada di tempat tidur tak mau saling melepaskan diri. Matanya keduanya masih asyik terpejam padahal waktu telah menunjukan pukul tujuh lewat lima belas menit. Namun pendengaran sang pria terusik karena suara ponsel terus berdering tanpa henti. Dengan mata masih terpejam sosok yang pria yang tak lain adalah Arseno itu mengambil ponsel pintar itu tanpa mengetahui siapa yang telah menganggu tidur panjangnya.

“Bu..Buu..” Mata Arseno memicing ketika mendengar suara yang tak asing menurutnya, mau tak mau ia membuka matanya untuk melihat siapa pemilik suara itu.

Nama 'Ibun' tertera di sana, Arseno menebak ternyata itu ponsel milik sang istri. Ia kembali di kejutkan dengan suara yang sama berbicara dari sebrang sana.

“Yah, yah..”

“Halo, Nela. Kamu sudah bangun? Maaf tiba-tiba Ibun manggil kamu, Ibun seneng banget Arga udah bisa bicara.. Nak kamu di situ..”

“Selamat Pagi Ibun, ini Arseno. Ginela belum bangun. Sepertinya kelelahan,”

“Ya ampun, maaf Ibun menganggu. Di sana pagi ya sekarang?”

“Iya Ibun pagi. Ibun maaf Seno mau denger lagi suara Arga,” sanggah Arseno ingin mendengar suara sang anak. Terdengar dari sebrang sang mertua yang tengah mengajarkan cucunya untuk kembali berbicara. Senyuman Arseno menggembang ketika mendengar suara familiar milik anaknya, betapa rindunya ia dengan Arga. Pria itu jarang sekali memiliki waktu untuk sang anak karena kesibukannya di kantor.

“Eughh.. Sayang..” Ginela yang baru saja terbangun, menatap ke arah sang suami tanpa melepaskan senyuman manisnya dari sang empu.

“Selamat pagi babe,”

Dikecupnya kening sang istri dengan rasa sayang. Penantian selama ini tidak sia-sia mengukuti apa kemauan sang Mama untuk menggantikan sang adik menikah. Arseno tak pernah menyesali semuanya.

“Aku kaya denger suara Arga,”

“Memang itu suara Arga, dia udah bisa manggil Ibun sama Yayah.”

Mata Ginela membulat dengan sempurna ketika mendengar ucapan Arseno. Tanpa berfikir lama lagi, ia langsung menyambar ponsel yang ada di tangan sang suami.

Arseno tersenyum sambil menatap ekspresi wajah sang istri yang begitu bahagia mendengar suara sang anak. Bagaimana tidak, seorang ibu menunggu akan hal ini. Pria itu tidak berhenti mengelua surai hitam panjang milik sang istri dengan tangan kanannya.

Hingga sampai akhirnya air mata tak lolos dari mata indah Ginela. Isakan haru tak henti-hentinya dari wajahnya. “Jangan nangis sayang,” ujar Arseno khawatir.

“Aku terharu No. Baru kali ini denger suara Arga manggil aku Ibu,” balas Ginela tak berhenti menangis.

CUP

“Ihh.. Jangan di kecup aku nya, aku lagi nangis,”

“Abisnya kamu nangis terus. Udah dong sayang. Oh iya, gimana kalau kita studio Disney?” ajak Arseno mengalihkan pembicaraan agar Ginela tak lagi menangis.

Ginela menganggukan kepalanya masih sesegukan, “Ayo, aku mau.”

“Jangan nangis lagi, hmm,”

“Ya udah aku siap-siap dulu.” Ginela bangun dari posisinya dan siap-siap untuk mengambil piyama tidurnya bergegas menuju kamar mandi.

“Gimana kalau kita mandi bareng?” usul Arseno. “Nggak, bahaya kalau mandi bareng. Nanti malah jadi nggak mandi!!!” jawab Ginela berjalan dsngan cepat masuk ke dalam kamar mandi dan menghiraukan panggilan sang suami yang semakin mendekat di pintu kamar mandi.

Takut Arseno masuk ke dalam, dengan cepat Ginela kunci pintu kamar mandi dan langsung melangsungkan aksinya untuk membersihkan dirinya.

Sementara Arseno yang diluar sana masih tertawa karena melihat sang istri yang ketakutan padanya.

Padahal kita tahu, jika semua itu tak akan kembali terjadi walaupun pikiran manusia tidak ada yang tahu. Apalagi Arseno seorang laki-laki normal memiliki rasa nafsu jika bersama Ginela.

•••••