staillry

Honey moon

Langit gelap gulita hanya di terangi oleh Bintang-bintang yang kerlap kerlip menghiasi indahnya langit kala Malam itu. Negara Australia, yang sedang dipijaki oleh kedua insan yang masih dengan santai memadu kasih lewat balkon hotel kamar vvip yang terlihat mewah.

Baik Ginela maupun Arseno, keduanya sama sekali tak ingin saling melepaskan diri. Bahkan kemana pun sang perempuan pergi. Sang lelaki tak segan-segan mengikutinya. Seperti sekarang ini, Ginela sedang meminum air putih dan bersiap untuk mengupas buah apel kesukaannya. Tapi sang suami malah memeluk dan menghentikan aksinya.

“Senoo sayaanghh aku pegang pisau ini,” erang Ginela berusaha melepaskan pelukan sang suami.

“Simpen dulu pisaunya. Temenin aku dulu.” Arseno ikut andil menyimpan pisau yang ada di tangan sang istri ke atas meja lalu kembali melanjutkan aksinya mengecup leher jenjang Ginela—sang istri.

Awalnya Ginela menolak, tetapi karena tenaga Arseno yang lebih kuat dari pada dirinya. Kini ia mengikuti alur permainan pria yang sudah menjadi suaminya selama satu tahun ini. Ginela bergerak menghadapkan badannya pada Arseno. Kedua insan itu saling memanggut bibirnya dengan penuh nafsu tanpa ada yang mau saling melepaskan diri. Tangan Ginela dengan mudahnya ia kaitkan pada leher Arseno agar lumatan bibir sang suami lebih dalam lagi.

Di angkatnya badan Ginela tanpa sedikit pun mau melepaskan pangutan. Decapan demi decapan mengisi ruangan kamar hotel itu. Hingga sampai posisi sang istri tertindih badan sang suami.

Ginela melepaskan pangutan sambil menatap ke arah Arseno, “Sen, aku sayang sama kamu,”

“Aku lebih sayang sama kamu.” balas Arseno tak mau kalah dan kembali memanggut bibir sang istri. Awalnya panggutan tersebut hanya ungkapan rasa cinta dan sayang. Namun, lama kelamaan nafsu kini meliputi keduanya. Arseno melepaskan panggutan sambil melepaskan kaos oblong yang ia kenakan, lalu kembali melumat bibir sang istri.

Setelah puas dengan bibir, Arseno mulai menurunkan lumatan sampai pada telinga yang membuat desahan dari sang empu. Tangan pria itu tak tinggal diam, satu persatu kancing piyama milik Ginela di lepas dengan tak sabar. Melihat sang suami tak sabaran, Ginela ikut andil membuka kemeja tidurnya hingga terlepas sempurna dari tubuhnya.

“Eughh.. No..”

Lenguhan telah lolos dari mulut Ginela. Entah kenapa perlakuan Arseno—sang suami sangat candu baginya hingga ia tak menyadari sudah melepaskan piyama tidurnya hingga tanpa sebelah benang pun. Arseno melepaskan lumatan kembali mensejajarkan wajahnya dengan wajah Ginela. Tangannya mengelus pipi atensi di depannya. Sudut bibirnya mengulas senyuman, matanya berbinar sambil mengecup kening sang istri.

“I love you,” ucap Arseno dengan tulus.

“I love you more Arseno,” balas Ginela tak kalah tulusnya dengan sang suami. Hingga keduanya terjun pada posisi masing-masing saling menyatukan tubuh mereka, keringat yang bercucuran memenuhi ruangan yang ukurannya sama seperti kamar yang mereka tempati di Bandung.

•••••

Ginela Sadar

Langkah kaki panjang yang terlihat gusar terus menerus menerobos semua orang yang berlalu lalang di lantai gedung rumah sakit. Terpancarkan wajah ke khawatiran di sana, langkah kaki itu milik seorang pria yang berperawakan tinggi dengan badan yang atletis.

Pria itu tak lain adalah Arseno, kali ini dirinya merasakan khawatir yang amat mendalam ketika sang Mama mengirimkan pesan singkat mengenai sang istri. Nafasnya tidak beraturan, di dalam otaknya hanya terpikirkan Ginela seorang. Pintu kamar suite terbuka dengan lebar, nafas Arseno tersendat-sendat sambil menatap ke arah tempat tidur yang terlihat sang istri tengah menggendong bayi yang terbalut bedongan kain.

“Ngapain kamu matung di situ. Sini!!” perintah Yunita yang melihat anaknya masih mematung di dekat pintu kamar mandi.

Arseno tak bergeming, ia berjalan ke arah keduanya tanpa berbicara sama sekali. Terlihat wajahnya berbinar mengetahui sang istri sudah bangun dari tidur panjangnya. Tak pernah membayangkan jika perempuan yang dicintainya itu kini ada di hadapannya, tersenyum padanya.

“Hai, ayah dari mana aja. Arga nungguin ayah,” ujar Ginela berbicara seperti anak bayi.

“Ela, ini kamu kan?” Tanya Arseno meyakinkan.

Ginela kesal karena Arseno tak percaya pada dirinya yang sudah sadar. Dengan lemah mencubit suaminya, membuat sang empu mengaduh kesakitan dan menatapnya dengan aneh.

“Aww.. Yang, sakit,”

“Sakit kan? Aku udah sadar. Kamu jangan berisik, nanti Arga bangun,”

Arseno menatap ke arah Ginela sambil berjongkok, “Kamu nggak apa-apa aku kasih namanya Arga?” Yunita yang masih ada di sana menatap ke arah sang anak yang tengah mengenggam tangan Ginela hanya menggelengkan kepalanya. Lalu tak segan-segan menjitak kepala sang anak.

“Kamu itu salam dulu sama Mommy,” ucap Yunita kesal.

“Mommy sakit.” Arseno memajukan bibirnya sambil menatap ke arah Ginela seperti mengadu, namun bukan Ginela namanya jika harus mengadahkan aduan sang suami. Perempuan itu malah tertawa, mengerjainya. “Kok malah ketawa,” lanjut Arseno mengeluh.

“Abisnya kamu tuh lucu banget, Mommy sama Daddy di anggurin.” Yunita ikut tertawa ketika melihat wajah sang anak yang terlihat masam, merah padam karena kedua orang tua dan sang istri yang menggodanya.

Arseno nyengir ke arah sang mama dan istri secara bergantian. Tiba-tiba saja matanya tertuju pada sang anak yang bangun dengan mata indahnya bergerak mengitari dengan indahnya, membuat semua orang yang ada di sana terlihat gemas.

“Anak ayah.. Ouuu..” Arseno kembali berjongkok sambil mengeluskan pipi sang anak. “Mirip kamu,”

“Kamu juga.” Ginela mengelus tangan Arseno secara tiba-tiba, membuat sang empu terkejut namun seketika membalasnya dengan lembut. Terpancarkan mata keduanya menggebu-gebu bahagia. Baik Arseno maupun Ginela sama-sama bahagia karena bisa berkumpul kembali bersama.

Terutama Arseno, ia sangat bersyukur dengan anugrah yang di berikan sang pencipta. Karena tanpa itu semua, Arseno tak tahu apa jadinya jika sang istri masih dalam kondisi belum sadarkan diri.

“Mau gendong?” Tawar Ginela karena mata Arseno tak ada hentinya menatap sang anak. Arseno menggelengkan kepalanya, “Nggak berani yang.” tolak Arseno cepat.

“Cemen, tadi daddy aja berani.” Harish menyombongkan dirinya yang berani untuk menggendong sang cucu yang baru berusia 30 hari.

“Tetep aja takut, Dad,”

“Nggak ada salahnya mencoba, Sen.”

Mata Arseno langsung tertuju pada arah pandang Ginela, dengan keberanian meminta izin kepada perempuan itu. Sang empu yang di tatap, seolah-olah mengerti, melukiskan senyumnya sambil menganggukan kepalanya sebagai jawaban.

Arseno yang belum memiliki pengalaman dalam hal menggendong bayi, dengan rasa cemas dan gelisah bersiap untuk menggendong sang anak. Senyumannya berbinar ketika sang anak yang kini ada di depan matanya.

Dengan hati-hati Arseno menerima gendongan sang anak—Arga. Iya tepuk-tepuk pantat anaknya dengan tangan sebelah kanan dan tangan sebelah kirinya bertumpu untuk menahan kepala sang anak yang masih lentur.

Arseno yang merupakan ayah sambung menatap bola matanya tak ada hentinya memutar seperti senang berada di pelukan itu.

Mungkin jika diungkapkan dengan kata-kata, sang anak sangat bahagia ketika orang yang tepat yang sekarang menggendongnya. Tak jauh berbeda dengan Arseno, ini adalah hal pertama yang menurutnya paling ia banggakan, sebab tidak ada pernah terlintas di otaknya akan menjadi seorang ayah. Arseno berjanji pada dirinya, akan selalu membahagiakan anak dan istrinya, tak akan ada sedikit pun kesalahan yang akan ia lakukan. Walaupun ia tahu jika dirinya tidaklah sempurna, tapi sebisa mungkin ia akan bertanggung jawab pada keluarga barunya.

•••••

Di kenalin ke keluarga besar

Mobil Jeep land cruisher hitam doff memasuki perkarangan villa megah milik keluarga Abiputra group. Sang supir menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk. Di dalam mobil terlihat seorang perempuan yang tengah hamil besar dan juga seorang pria berjas hitam yang sangat gagah ketika dirinya pakai.

Kedua orang itu kemudian keluar dari mobil dengan di sambut oleh para pelayan dan juga saudara-saudara mereka yang di khususkan untuk menerima tamu.

Perempuan dan pria itu tak lain adalah Ginela dan Arseno. Sepasang suami istri yang terlihat sangat sepadan dengan balutan pakaian yang elegan dan mewah. Arseno turun dari mobil terlebih dahulu, tak lupa ia buru-buru membuka pintu mobil untuk Ginela keluar dan juga tangannya Arseno tempelkan pada pintu mobil untuk melindungi kepala sang istri. Perlakuan itu membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa iri karena merupakan suami idaman.

Arseno menggandeng tangan Ginela dan berjalan secara perlahan memasuki area taman keluarga. Di sana sudah banyak sanak-sanak keluarga besar berdatangan satu persatu. Hingga salah satu anggota keluarga yang tak lain adalah Andrew, paman Arseno yang tak lain adalah orang tua Naufal.

“Ya Tuhan, ini Arseno. Apa kabar kamu?” seru Andrew sambil memeluk sang keponakan.

“Baik paman. Paman apa kabar? Mana bibi Tiffany?” Tanya Arseno basa-basi. “Ada di dalam. Ini Ginela istrimu itu?”

Ginela yang di tatap oleh Andrew hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya bersalaman dengan malu-malu. Baru kali ini dirinya di kenalkan pada keluarga besar, karena selama berpacaran dengan Ghazi, ia tidak pernah di ajak pada acara seperti ini. Mungkin hanya sebatas kedua orangtuanya saja.

“Cantik sekali istrimu, No. Ayo masuk ke dalam. Ibundamu sudah menunggu,” titah Andrew dengan ramah.

“Terima kasih Paman,” balas Arseno ramah.

“Ayo kita ke Mama. Biar kamu duduk aja.” Arseno mengusap tangan Ginela yang berada di gandengannya. Dengan perlahan ia melangkahkan kakinya menuju ruangan yang terlihat banyak orang yang tengah berkumpul di sana.

Yunita yang melihat kedatangan Ginela dan Arseno, wajahnya seketika sumringah. Ia menghampiri keduanya yang tengah berjalan memasuki ruang keluarga.

“Pelan-pelan sayang, kapan kalian sampai?” Tanya Yunita. “Baru saja, Mam,” jawab Ginela menyalami tangan Yunita, diikuti Arseno juga.

“Mama dari tadi di sini?” Arseno menatap ke arah sang Mama yang masih menggunakan daster, tak seperti biasanya.

“Mama dari kemarin di sini. Bantu-bantu juga. Ayo sini, mau mama kenalin ke yang lain,” ucap Yunita mengambil alih gandengan tangan Ginela lalu berjalan entah menghilang kemana.

Arseno yang kebingungan, langsung beranjak dari sana dan menuju taman belakang untuk berbaur bersama sanak keluarga yang lainnya.

Kini Ginela dan Yunita tengah berjalan menuju seorang wanita yang di yakini adalah Kakek dan Nenek dari Arseno. Ginela menundukan badannya sedikit, karena perutnya yang sudah besar ia sedikit kesulitan ketika akan menyalami keduanya. “Bu, kenalin ini Ginela,” ujar Yunita memperkenalkan anak menantunya.

“Nek, aku Ginela.” Ginela tersenyum sambil menyalami tangan nenek.

Nenek tersenyum, lalu memegang tangan Ginela, “Cantik sekali. Sudah berapa bulan kandunganmu, nak?” Tanya Nenek menyentuh perut Ginela yang terbalur dress coklat bermotif bunga-bunga.

“Nenek juga cantik sekali. Kandungan Nela sudah jalan 8 bulan, Nek.” balas Ginela. Ginela berjalan sedikit ke samping sang Nenek untuk menyapa Kakek yang pandangannya terus menatap ke arah cucu-cucu kecilnya yang tengah berlari di taman.

“Pah, ini ada Ginela,” bisik Yunita pada sang ayah. Sang kakek yang merasa di panggil menganggukan kepalanya lemah, “Ini Ginela ya,”

“Iya, Kakek. Saya Ginela istrinya Arseno.” Ginela menyalami lagi tangan kakek dengan senyuman tak lepas dari wajahnya. Setelah bersalaman dengan Kakek dan Nenek Arseno, Yunita mengajak Ginela untuk berkenalan dengan sanak keluarga yang sudah berkumpul di sana.

Ginela sangat bahagia hari ini dapat mengenal keluarga besar sang suami. Ia merupakan perempuan yang beruntung, bisa kenal dengan seluruh keluarga yang menyambutnya dengan begitu hangat.

Terlihat Arseno tengah berbincang dengan paman-pamannya, entah apa yang sedang mereka bahas. Ketika sedang asyik tertawa, semua atensi di sana tertuju pada seorang pria mengenakan jas berwarna hitam, namun di dalamnya dengan kaos putih polos dan celana bahan yang sepadan.

Bukan hanya pria itu saja, pria itu tidak sendiri. Ada seorang perempuan dengan gaun hitam ketat menutupi lekuk tubuhnya. Sehingga keduanya terlihat sangat serasi.

“Hai Ghazi, apa kabar kamu? Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa salah seorang paman yang tak lain Yuda. Ghazi, pria itu tersenyum dengan angkuh menjabat tangan Yuda, “Baik paman.”

Arseno yang acuh tak peduli dengan kedatangan sang adik, kembali berbincang dengan Jordan, adik dari sang ibunda yang turut hadir di sana.

“Sen, bukannya adikmu menghilang kemarin? Dia sudah kembali?” tanya Jordan bertubi-tubi dengan rasa penasarannya.

“Yaa .. Begitulah ..” jawab Arseno malas-malas. Jordan mendengus sebal.

“Tidak ada rasa tanggung jawabnya dia.” terdengar seperti tak menyukai sesosok ponakannya itu.

“Sudahlah paman. Arseno malas membahas dia. Oh iya, Seno dengar istri paman hamil lagi? Selamat paman,”

“Terima kasih, Sen.”

Mata Arseno kembali melengos tak ingin menatap ke arah sang adik dan perempuan yang mungkin adalah Laluna itu memasuki area dalam villa untuk menyapa sanak keluarga yang ada di dalam. Arseno benar-benar ingin menyeret keduanya untuk pergi dari sana. Namun tak bisa karena keluarga besarnya hadir di sana, ia harus mampu menahan semua emosinya.

Tak ingin lagi ambil pusing, Arseno berlari ke arah anak-anak yang berada di sana untuk bermain bersama. Dirinya sangat menyukai anak kecil, sehingga dengan mudah Arseno bisa langsung akrab bersama keponakan bahkan sepupu-sepupunya.

•••••

FLASHBACK ON

Terlihat dengan jelas seorang anak berumur sebelas tahun, dengan seragam putih biru yang terlihat ketat bahkan perutnya yang besar tak mencukupi kemeja sekolahnya menutu seluruhnya.

Anak itu tidak sendirian, ada beberapa anak yang mungkin umurnya di atas dirinya tengah mengerubuni anak yang berbadan besar tersebut. Anak itu tak lain adalah Arseno. Badannya yang besar, pipinya yang gembul dan juga jajanan yang tak pernah lepas dari tangannya membuat dirinya tak berhenti jadi bahan bully para teman-temannya.

Di sekolah pun tak ada yang mau menemaninya, kadang ia merengek kepada kedua orang tua nya untuk diizinkan tidak pergi ke sekolah. Tapi tetap saja hasilnya nihil.

“Sini makanan lu!!” sergap salah satu anak laki-laki didepannya merebut chiki favorite Arseno tanpa ampun.

“Jangan, kak, itu.. Punya Seno.” seru Arseno mencoba merebut kembali.

Arseno mencoba meraih chiki favoritenya yang sudah di lempari dari satu anak ke anak lainnya. Hingga kembali pada anak yang pertama mengambil chikinya. Anak laki-laki tersebut menumpahkan semua isi hingag berhamburan ke tanah. Arseno yang tak ada keberanian untuk mengambilnya hanya menatap chiku favoritenya dengan perasaan sedih.

“Hahaha.. Makan tuh chiki. Dasar gendut, pendek. Pantesan aja nggak ada yang mau temenan sama lu,”

“Eh eh, liat ini dia punya banyak uang,” ujar salah satu temannya meronggoh tas milih Arseno yang tertinggal di kursi taman.

Arseno bangkit dan mencoba meraih dompetnya, namun bukannya mendapatkannya. Dompet miliknya malah terlempar tepat berada di depan seorang anak gadis perawakannya sama seperti Arseno.

“Kayanya kalian seneng banget ngebully dia,” seru seorang perempuan berjalan ke arah taman.

“Nggak usah ikut campur, ini urusan laki-laki,” timpal salah seorang ketuanya.

Anak perempuan yang terlihat di seragamnya ada name tag 'Ginela Odelia' hanya mendelik tak suka jika ada seorang anak yang sedang membully orang lain tepat di depan matanya. “Tapi itu urusan aing!” seru Ginela dengan nada yang meninggi.

“Lu siapa, berani-beraninya ngebentak?” Tanya nya kemudian menghampiri Ginela.

“Gua temennya anak yang lu bully. Balikin uangnya sama dia.”

Anak laki-laki itu tak bergeming hanya menatap ka arah Ginela tak suka. Ginela seorang perempuan yang sedikit tomboy menghampiri Arseno yang terlihat ketakutan, hanya menundukan kepalanya.

“Kamu nggak apa-apa?” Tanya Ginela khawatir.

“Cih, sok pahlawan!” sergah anak lelaki itu.

Ginela tak mengubris perkataan anak laki-laki tersebut, dirinya membantu Arseno membereskan barang-barang ke dalam tas. “Jangan takut, ada Ela di sini.” lalu berjalan menggandeng tangan Arseno pergi.

Namun sebuah tangan mencekal tangan Arseno dengan erat, agar tidak pergi dari sana. Ginela menoleh ketika terasa tangannya lebih berat ketika dirinya menarik tangan teman barunya itu. Akhirnya menolehkan kepalanya,

“Lepasin tangannya sebelum gua teriak!”

Anak lelaki itu makin mempererat cekalannya tanpa memperdulikan Arseno yang kesakitan. Padahal di situ badan Arseno lebih besar dibandingkan anak lelaki yang membullynya. Akan tetapi, dasarnya hatinya lembek, semuanya terasa tak kuat bagi Arseno.

Ginela membaca name tag pada seragam anak lelaki itu sambil mencoba melepaskan cekalan. “Brandon lepasin!!”

“Nggak akan!”

“Lepasin atau aing teriak!!”

“Teriak aja kalau berani.” ucap Brandon membela diri.

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Ginela, ia melihat ke sekeliling taman yang banyak orang berlalu lalang di sana. Sampai ide brilian muncul di otaknya. Semoga cara ini berhasil iya gunakan dengan lancar agar terlepas dari jeratan Brandon dan teman-temannya.

“COPETTT.. COPEEETT.. TOLONG ADA COPEETT...” Akhirnya Ginela mengeluarkan idenya yanh berhasil membuat semua orang yang sedang lewat di sana langsung menghampirinya.

“Aya Naon, aya naon? Mana copet na?” Tanya orang-orang panik.

Arseno yang masih mengikuti Ginela di sana, membulatkan matanya terkejut ketika mendengar teriakan perempuan di depannya. Ia terkejut sebab sang perempuan sangat berani berhadapan dengan ketua geng yang terkenal sering membully bahkan memalak uang anak-anak sekolah yang terlihat olehnya.

“Itu, bu, budak eta nyopet duit babaturan abi, (Itu bu, anak itu mau ngambil uang temen saya)” tunjuk Ginela pada Brandon.

Brandon menggelengkan kepalanya tak mau di salahkan, “Nggak bu, kita kan temen.”

“Saya nggak kenal sama dia, Bu.”

Arseno hanya menatap ke arah Brandon dengan takut-takut karena sedari tadi anak lelaki itu menyembunyikan dirinya di belakang badan Ginela yang lebih tinggi darinya. Tatapan itu terus mengintimidasinya, seolah-olah Brandon akan terus menganggu dirinya.

“Sekarang kamu pergi dari sini, suka malakin uang orang. Sana pergi!!” usir Ibu-ibu yang ikut ada di sana. Brandon yang tak berani melawan orang dewasa hanya mengikuti perkataannya dengan pandangan tanpa melepas dari mata Ginela dan Arseno. Ginela, sang pahlawan untuk Arseno ikut melototi mata Brandon dan kawan-kawan yang mulai menghilang dari pandangannya.

Setelah semuanya bubar dari sana, akhirnya Arseno bisa bernafas dengan lega, jika Brandon dan teman-temannya sudah pergi. Lelaki itu berharap semoga tidak akan lagi bertemu dengan anak-anak smp yang suka membully dirinya.

Ginela yang masih ada di sana hanya tersenyum kepada Arseno. “Hai, nama aku Ginela Odelia. Biasa dipanggil Ela. Nama kamu Arseno Agler Abiputra?” Tanya Ginela ramah.

“Iya, nama aku Arseno,” jawab Arseno pelan.

“Jangan takut. Brandon sama temen-temennya nggak akan ganggu kamu lagi, percaya deh. Oh iya, gimana kalau kita temenan?” Ginela masih menghadap Arseno, tangannya terulur ke arah lelaki itu untuk berjabatan.

“Jangan takut, aku bukan mereka,” lanjut Ginela meyakinkan.

Setelah Arseno merasa Ginela memang membuatnya aman, Arseno dengan segera menyambar jabatan tangan perempuan yang membuat jantungnya berdegub kencang. Apalagi saat sang perempuan tersenyum, membuat jantung Arseno makin berdegub kencang.

“Jad..i mulai sekarang kita bertem..an,” ucap Arseno terbata-bata.

Ginela menganggukan kepalanya memberikan jawaban. Hingga akhirnya keduanya benar-benar berteman. Bahkan, setiap harinya keduanya selalu terlihat bersama, bahkan Arseno tak segan-segan untuk mengantarkan dan menjemput Ginela padahal rumah keduanya tidak jauh.

Namun sampai suatu saat, dirinya harus ikut bersama kedua orang tuanya pindah menuju Jerman karena sang ayah harus dinas di sana. Awalnya Arseno menolak, sebab hal itu membuat dirinya akan jauh dari Ginela. Akan tetapi setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia akan ikut bersama kedua orang tuanya menuju Jerman.

“Ini ada coklat dan bunga untuk, Ela,” ucap Arseno memberikan bingkisan. “Makasih, Arseno. Arseno hati-hati di sana, kalau ada yang jahatin tinggal pukul aja!” seru Ginela hingga membuat gelak tawa dari kedua orang tua masing-masing.

Arseno menganggukan kepalanya pelan lalu beranjak mengambil kamera miliknya dan memotret sosok Ginela untuk mengabadikan kenangan selama di sini. “Ayo kita foto bersama.” Ajak Harish yang tak lain adalah Papa Arseno.

Semua orang yang ada di sana menyanggupi, dan langsung bersiap untuk di foto. Bukan hanya keluarga saja, Arseno kini memotret sesosok perempuan yang menjadi cinta pertamanya. Senyuman tak luput dari wajah imut Arseno ketika menatap hasil foto Ginela. Anak lelaki itu tidak hanya memotret Ginela, tetapi dirinya juga memotret dirinya bersama Ginela, perempuan yang selama ini selalu membuatnya nyaman dan mau berteman dengan dirinya. Bahkan, membuat Arseno jatuh hati padanya. Hingga sampai saatnya tiba, Arseno harus berangkat saat ini juga, Ginela melambaikan tangan pada temannya yang sudah menaiki mobil untuk menuju bandara. Anak lelaki itu membalas lambaian tangan Ginela. Ia berjanji suatu saat nanti akan kembali dengan Arseno yang dewasa dan dirinya berjanji saat dewasa kelak, akan menjaga Ginela dari orang-orang yang berniat jahat.

FLASHBACK OFF •••••

Seuntai tangan dengan cekatan menata piring-piring di atas meja makan. Perutnya yang terlihat besar tak menghalangi dirinya untuk menyiapkan semuanya. Pemilik tangan itu adalah Ginela. Entah kenapa malam itu, perempuan itu sangat bersemangat menyiapkan makanan yang biasa ia kerjakan. “Ci neng meuni banyak pisan masaknya,” seru Bi Asih kagum. “Iya, Bi sekalian untuk kita makan malam.” jawab Ginela bahagia. Terpancar dari wajahnya, Ginela sangat bahagia menunggu sang suami datang. Perempuan itu terus asyik merapihkan meja makan hingga tak merasa jika sebuah tangan melingkar di perut besarnya, ia merasakan deru nafas pada bahunya. Ginela yang terkejut menghentikan aktivitasnya, ia terdiam sejenak hingga elusan perut pemilik tangan itu menyadarkan lamunannya. Perempuan itu tak menyadari jika Bi Asih sudah tak.lagi menemani dirinya. Ginela bergerak menghadap Arseno yang menatap sayu ke arahnya. Dengan rasa canggung, ia masih terpaku karena kini sang pria sudah memeluknya lagi padahal dirinya hendak berbicara. Ginela mencoba melawan, namun percuma karena Arseno lebih kuat dibandingkan dirinya. “Sen, sesek. Aku nggak bisa nafas,” eluh Ginela. “Maaf, La.” Arseno melepaskan pelukan sambil menatap mata indah itu namun masih melingkarkan tangannya pada pinggang Ginela. “Kamu beneran kan nggak akan pergi dari aku?” Tangan Arseno mengusap surai indah milik Ginela. Ia tahu jika perempuan di depannya itu tak nyaman, tapi bukannya dilepaskan. Lelaki itu malah tetap melingkarkan tangannya pada pinggang Ginela, seolah-olah tak ingin sang empu pergi darinya. “Keliatannya gimana?” Tanya Ginela ketus. Arseno menatap teduh mata Ginela seolah-olah mencari jawaban yang pasti, sebab ia tidak ingin kehilangan seorang perempuan yang berharga di hidupnya. Sudah cukup 20 tahun penantiannya menunggu cinta pertama dan terakhirnya. Ginela mencoba untuk menepis rasa canggung pada pria didepannya ini. Dengan penih keberanian, ia mengusap pipi Arseno, “Aku nggak akan kemana-mana, No.” lalu mengecup bibir suaminya itu. Arseno yang mendapat perlakuan itu tak bergeming. Ia mengerjapkan matanya bingung karena baru saja jika orang yang di cintainya itu mencium bibirnya tanpa malu-malu. “Sekarang udah ngertikan?” Tanya Ginela gemas. Saking bahagianya Arseno pada saat ini. Ia hanya terdiam dengan mata yang terus menerus menatap ke arah mata Ginela. Tangannya terurai menggenggam kembali jemari-jemari indah itu dan tak lupa untuk menciumnya. “Makasih, La,” ucap Arseno sumringah. “Makasih udah nerima aku.” lanjutnya yang kini mengeluskan tangan itu pada pipinya. Dengan wajah cemberutnya Ginela menatap ke arah Arseno. “Sen, ayo makan. Aku laper.” “Hehehe sampe lupa makan. Ya udah ayo makan, ibun sama anak ayah pasti laper,” seru Arseno membuat Ginela terkekeh. Entah kenapa hari ini datang seperti mimpi. Ginela tak menyangka jika ia akan jatuh cinta kepada kakak dari pacarnya. Padahal, dari dulu impiannya itu menikah dengan Ghazi. Tapi takdir berkata lain.

“Oh iya, aku lupa mau tanya tentang postingan tweet kamu tempo hari.” Ginela nenatap ke arah Arseno sambil menyimpan piring yang berisi nasi berserta lauk pauknya di depan pandangan sang suami.

Arseno hanya menatap Ginela dengan wajah yang kebingungan untuk menginggat perkataan sang istri tentang postingan di akun pribadinya. “Postingan twitter yang mana sayang?” Bola mata Arseno memutar, mencoba menginggat-ingat tentang apa yang terakhir ia posting. Padahal sudah jelas sekali dirinya memposting foto Ginela saat remaja. Tapi di saat ada yang bertanya seperti ini, ia malah lupa.

“Masa kamu lupa, No. Postingan yang ini.” Ginela memberikan ponsel pintar miliknya pada Arseno.

Sejurus kemudian, Arseno tersenyum tanpa berbicara. Ia menggenggam tangan dan tak lupa mengelusnya dengan lembut. Bukan hanya itu saja, kini Arseno membawa genggaman tangan Ginela untuk di elus pada pipinya.

“Kalau aku ceritain semuanya, kamu akan inget?” Ginela menghela nafas menatap Arseno. “Makanya kamu ceritain, biar aku nggak penasaran.”

“Iya aku ceritain. Tapi ada syaratnya,”

“Kenapa harus ada syarat segala? Cepetan apa syaratnya.”

“Ini.” Arseno memajukan bibirnya seolah-olah memberikan kode pada Ginela untuk menciumnya.

CUP

Ginela yang ingin Arseno segera menceritakan semuanya, tanpa basa basi lagi langsung mengecup bibir Arseno dengan malu-malu.

“Sekarang ceritain!!” pinta Ginela fokus menatap Arseno.

“Iya, iya aku ceritain.” balas Arseno bahagia.

Hingga akhirnya Arseno mulai menceritakan pada saat pertama kali mereka berdua bertemu. Di mana saat pria tampan itu jatuh cinta pada pandangan pertama pada perempuan yang sudah menyelamatkan hidupnya.

•••••

Ngungkapin perasaan

“Kalian nggak mau makan dulu sebelum pulang?” Ginela menawari ketiganya untuk makan malam di sana.

Namun dengan cepat Haikal menolaknya, “Nggak usah bu, mangga atuh bu kita pamit.”

“Ya udah hati-hati kalian,”

“Siap bu boss.”

Ginela tersenyum ketika melihat Haikal, Naufal dan Raja sangat akrab satu sama lain, bahkan membantu satu sama lain. Perempuan itu pun merasa terlindungi dengan kehadiran tiga sekawan yang juga bersahabat baik dengan sang suami.

Pandangan Ginela kini tertuju pada Arseno yang masih tertidur dengan posisi terlentang. Ia kesulitan membenarkan posisi tidur sang suami karena perutnya yang semakin membesar. Namun, perlahan Ginela mampu membenarkan posisi tidur, tak lupa juga melepas jas dan sepatu yang masih di pakai sang suami.

Ketika hendak pergi dari sana, Ginela merasa ada yang menahan mengenggam tangannya. Perempuan itu menoleh, ternyata Arseno mengenggam tangannya dengan mata memohon agar dirinya tak pergi dari sana.

“Jangan pergi,”

“Gua mau ambil susu buat lu.” Bukannya mengizinkan, Arseno malah menarik tangan Ginela hingga membuat perempuan itu menimpa badannya.

Arseno mengungkuh badan Ginela dari belakang, seolah-olah tak ingin lawannya pergi. “La, kamu nggak akan balik lagi sama Ghazi kan?” “Lepasin dulu No, nggak enak posisinya,”

“Jawab dulu.”

Ginela menghela nafas.“Lu maunya gua gimana?” mencoba melepaskan kukuhan tangan Arseno.

“Aku mau kamu jangan balik lagi sama Ghazi,” potong Arseno melepaskan tangannya dari badan Ginela. “Aku mau kamu tetap di sini.” Ginela terkekeh, dan membuat Arseno terheran lalu membalikkan badan perempuan itu untuk menghadapnya. Namun sejurus kemudian, perempuan itu dibuat kelipungan oleh perlakuan pria itu yang dengan sengaja mencium kening, hidung dan pipinya.

Keduanya kembali terdiam, saling beradu pandangan. Ginela yang merasa salah tingkah, malah mengalihkan pandangannya tak berani untuk memandang mata Arseno. Dengan cekatan, posisi keduanya berubah, kini lelaki itu menindih badan sang istri.

“No, lu mau ngapain? Perut gua ke teken!” ucap Ginela sedikit kesakitan.

Arseno tak menjawab ucapan Ginela, ia malah memegang dagu perempuan di depannya agar menghadap padanya. Sedikit demi sedikit agar tak menindih perut besar Ginela, Arseno mendekatkan wajahnya pada bibir Ginela. Ginela langsung memejamkan matanya ketika bibir Arseno mendarat dengan sempurna pada bibirnya. Tak lama kemudian, bibir pria itu bergerak dengan intens, di selangi dengan decapan menghiasi seluruh ruangan.

Arseno melepaskan lumatannya sebelum Ginela akan membalas lumatan bibir pria itu. Senyuman tidak lepas dari wajahnya ketika melihat sang istri memejamkan matanya. “I love you.” lalu kembali melumat bibir manis itu.

Ginela membalas lumatan bibir Arseno yang semulanya sangat lembut, akan tetapi berubah menjadi nafsu dan begitu kasar. Hingga tanpa terasa pakaian keduanya berserakan di mana-mana, bahkan terdengar dengan jelas suara-suara menggema di seluruh ruangan.

•••••

ketemuan

Setelah saling janji untuk bertemu di sebuah cafe bernuansa aesthetic, Ginela dan Ghazi kini duduk bersebrangan saling berbicara bukan perempuan itu yang banyak bicara. Melainkan Ghazi yang banyak membahas tentang masa lalunya. Lalu, sang lawan bicara hanya tersenyum simpul untuk menanggapinya.

“Ya kan bey, dulu kamu itu suka banget sama ice cream vanilla dan aku suka beli yang choco chips, akhirnya malah kamu minta tukeran,” Jelas Ghazi sumringah.

“Oh ya?” balas Ginela. Ghazi mengenggukan kepalanya, “Iya terus kamu itu dulu suka banget kumpulin buku diary. Benerkan?”

Ginela hanya menghela nafasnya sambil menatap ke arah Ghazi yang sangat bersemangat. Namun, lelaki di depannya itu tak menyadari jika perempuan itu sama sekali tak seperti dulu ketika pertama kalinya mereka pacaran.

Perasaan yang ada di dalam hati Ginela pudar seiring berjalannya waktu. Bukan karena kehadiran sosok Arseno di sana, melainkan karena menghilangnya Ghazi dari hidupnya.

“Zii, aku mau ngomong serius.” Akhirnya Ginela mengeluarkan ucapan yang membuat Ghazi terdiam. “Iya bey, silahkan,” seru Ghazi mempersilahkan.

Ginela menatap ke arah Ghazi sejenak lalu mengambil sebuah kotak di atas lantai dan di serahkannya pada lelaki didepannya.

“Ini apa?” Tanya Ghazi sambil membuka penutup kotak.

“Bey? Ini barang-barang yang aku kasihkan?” lanjut Ghazi melihat seluruh isi kotak. Ginela menganggukan kepalanya, “Iya.”

“Lalu kenapa kamu kasihin ke aku? Maksudnya apa?”

“Maaf Zii, sepertinya aku nggak bisa terima kamu lagi.”

“Maksud kamu?” Ghazi terus bertanya-tanya pada perempuan didepannya, apa maksud semuanya. Dirinya sama sekali tak mengerti, kenapa barang pemberian darinya di berikan kembali kepadanya?

“Sepertinya kita sudah nggak bisa. Lebih baik kita jalanin kehidupan masing-masing.” Ginela menatap sendu Ghazi, ada rasa kasihan di dalam hatinya namun ada juga rasa benci saat ini.

“Kenapa? Aku mau tanggung jawab atas semua yang udah aku perbuat bey. Tapi sekarang kamu malah tolak kaya gini,”

“Tanggung jawab? Apa arti tanggung jawab untuk kamu. Apa?!!”

“Aku mau nikahin kamu,” balas Ghazi.

“Nikahin?” Ginela tersenyum meremehkan, “Kemaren-kemaren kamu menghilang kemana? Selama 7 bulan kamu kemana? Dan sekarang mau tanggung jawab bahkan mau nikahin aku lagi, nggak salah ngomong kamu?” lanjut Ginela sedikit meninggikan notasi bicaranya.

Ghazi tak menganggapinya. Lelaki itu berjalan mengambil kursi kosong dan duduk di samping Ginela. Tak lupa juga, ia mengenggam kedua jemari tangan Ginela tanpa mau melepaskannya.

“Aku sudah bilang bey, saat itu pikiranku kalut dan aku belum siap sama sekali. Dan kenapa aku baru datang sekarang, karena aku siap untuk kembali menikahi kamu,” Jelas Ghazi dengan lembut.

Bukannya menerima perlakuan lembut sang mantan, Ginela dengan perlahan melepas genggaman tangan tersebut. “Maaf aku nggak bisa.” Lanjut Ginela menolak.

“Kasih aku alasan, kenapa kamu nolak aku?” Ghazi menatap intens ke arah Ginela.

Sang empu yang di tatap hanya terdiam, hati dan pikirannya ingin sekalu menjawab jika selama ini kakak dari mantannya yang sudah membuat dirinya menolak permohonan sang mantan untuk kembali bersamanya.

Dan di sisi luar jendela cafe, terlihat seorang pria dengan kaos lengan panjang berwarna coklat kehitaman tengah menatap kedua orang di dalam yang tengah berbincang dengan posisi duduk yang bersampingan. Pria itu adalah Arseno. Sedari Ginela mengirimkan pesan padanya untuk meminta izin keluar bersama sang supir, akhirnya ia mengikuti sang istri yang ternyata bertemu dengan sang Adik. Emosinya tak bisa lagi tertahankan, kedua tangannya sedari tadi Arseno kepalkan tanpa melepas pandangan dari Ginela.

“Anjing, ngapain gua sampe ngikutin kesini sih.” Gumamnya kemudian beranjak pergi dari sana dengan keadaan diri yang emosi. Sampai-sampai kursi yang menghalanginya jalannya pun tak luput ia tendang.

•••••

Ngasih makanan

Untuk kesekian kalinya Arseno dalam keadaan hati yang tidak baik. Apapun yang dilakukan oleh karyawan di kantornya itu tidak akan baik. Padahal sang karyawan tidak melakukan kesalahan sama sekali dalam pekerjaan. Bahkan sang asisten—Haikal pun tidak luput dari amukanya.

Seperti halnya sekarang, kini Arseno tengah berkacak pinggang sambil mengedarkan pandangannya ke arah beberapa para karyawannya yang menundukan kepala takut karena sang atasan yang sedang naik pitam. Mereka tak mengerti kesalahan apa yang mereka perbuat, sehingga membuat Arseno mengamuk.

“Mana hasil kerja kalian? Mana? Sudah lebih dua bulan, saya menunggu untuk proyek besar ini. Tapi kenapa tidak ada satu pun laporan yang saya terima??!!!” Amarah Arseno semakin memuncak ketika salah satu karyawannya menyela.

“Maaf Pak tapi mereka ingin menun ...” sela karyawan takut.

“Kenapa bisa begitu? Harusnya kalian pikirkan agar mereka mau deal. Begitu saja tidak bisa!!”

“Pokoknya saya tidak mau tahu, minggu depan kalian harus goalkan proyek ini. Jika tidak kalian tanggung akibatnya, paham??!!” lanjut Arseno final.

“Paham pak,” balas seluruh karyawannya. “Ya sudah kalian boleh keluar sekarang.”

Seluruh karyawan yang ada di dalam ruangan itu mengikuti atas arahan sang atasannya. Sampai tinggal lah Arseno dan Haikal di sana. Tetapi pintu ruangan kembali terbuka, terlihat sesosok Naufal dan Raja berjalan menghampiri kedua sahabatnya.

“Sen, makan yuk!” Ajak Naufal berusaha meleraikan suasana.

“Udahlah Sen, lu jangan marah-marah mulu sama karyawan. Kasian.” sergah Raja.

Arseno mendelikan matanya tak suka. “Kerjaan belum ada satu pun yang beres, jelas gua marah.” Kata Arseno tak terima.

“Eh kan aing lupa mau ngomong sesuatu sama si obos,” sela Haikal.

“Naon (apa)?” tanggap Naufal penasaran.

“Hmm.”

“Oboss, tadi aing lihat bu boss aya di cafe sebrang papanggih jeung lalaki tapi teuing saha. Asa apal siah, (Oboss, tadi gua lihat bu boss di cafe sebrang ketemu sama laki-laki tapi nggak tahu siapa. Kaya kenal)” Arseno mematung seketika.

Ucapan asisten pribadinya mampu membuatnya tak bergeming, selama ini yang ia tahu jika Ginela akan diam di rumah. Keluar pun hanya sekedar bertemu dengan sahabatnya.

“Aing jadi penasaran,”

“Sarua. (Sama)”

“Penasarannya nanti lagi, ayo kita makan. Jadi nggak nih makannya?” lerai Raja menahan lapar.

“Ya udah ayo.” Final Arseno membereskan semua file-file pada meja kerjanya dan beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu.

Ketika hendak menuju pintu lift, arah pandangannya menangkap seseorang yang ia kenali. Tak lain adaah supir pribadi yang selama ini ia perintah untuk menjaga Ginela.

Naufal yang penasaran kenapa atasannya itu berhenti langsung menatap ke arah mata Arseno.

“Aden, ini saya mau memberikan makan siang dari Neng Nela,” ujar sang supir yang tak lain adalah Mang Ujang.

“Waaah.. Atuh meuni kebetulan pisan, mang, kita mau makan siang.” Naufal mengambil kedua tas belanja tersebut.

“Sumuhun, Aden Naufal. Ini saya bawa makanan dari neng Nela katanya untuk aden Arseno takut belum makan,” jelas Mang Ujang memberikan tas pada Naufal.

Naufal yang merasa di beri langsung menyambarnya tanpa peduli sang majikan ada di sana saat ini.

Arseno masih terdiam di tempat menatap ke arah kedua keranjang berisi kotak makanan yang entah apa isinya. “Ginelanya dimana?”

“Neng Nela ada di bawah Aden, mau nunggu aja di mobil katanya. Punten atuh Aden, Mang Ujang pulang dulu, kasian Neng Nela kepanasan di mobil.”

Arseno menganggukan kepalanya dengan acuh. Sebenarnya ia ingin sekalu menemui Ginela saat ini, namun apa daya gengsi dan rasa cemburu yang begitu besar membuat Arseno mengurungkan niatnya untuk menemui sang istri.

“Hati-hati ya, Mang. Tolong jaga Ibu Boss.” Timpal Haikal memastikan supir majikannya mengantarkan dengan aman.

“Siap atuh, aman sama Mang mah,” canda Mang Ujang sambil berjalan pergi keluar dari kantor Arseno yang berada di lantai 10.

Naufal melambaikan tangannya pada Mang Ujang yang sudah menghilang dari pandangannya.

Setelah sang supir pergi dari sana. Arseno dengan cepat menyambar kedua kantung makanan yang ada di tangan Naufal. Ia melangkahkan kaki kembali memasuki ruangannya meninggalkan ketiga para sahabatnya mematung.

“Woy, Arseno bagi-bagi!” pinta Naufal mengikuti Arseno berjalan.

“Pak Boss, aing mau.” Haikal ikut-ikutan meminta makanan.

“Kalau mau sini ikutin gua, ngapain diem di situ!!” Teriak Arseno sambil melenggos, dan membuat Haikal, Naufal dan Raja terbirit-birit berlari untuk memakan masakan gratis tanpa harus mengeluarkan uang sedikit pun.

•••••

Langit sore hari kini telah berganti menjadi gelap gulita, menandakan hari telah berganti menjadi malam. Semua manusia yang tadi beraktivitas kini saling beramai-ramai untuk pulang serta istirahat di rumah. Begitu juga dengan Arseno dengan dasi yang sudah terbuka, rambut berantakan bahkan kedua lengan kemeja yang ia gulungkan. Terlihat wajahnya yang gusar, gelisah, entah apa yang tengah dipikirkan lelaki itu. Haikal—sang asisten pribadinya yang berada di bangku samping kemudi hanya menatap ke arah atasannya dengan penuh kekhawatiran. Manik matanya tak ada henti-hentinya menatap ke arah spion yang mengarahkan pada Arseno. “Oboss besok pagi ada rapat lagi dengan Pak Ridwan,” “Hmm. Lu atur aja, Kal.” “Siap pak boss. Oh iya Pak Boss, Pak Ridwan Kamil minta bertemu.” “Pak Ridwan Kamil gubernur kota kita?” tanya Arseno memastikan. “Sumuhun, Boss.” Jawab Haikal. Arseno menganggukan kepalanya, “Kalau bisa sebelum rapat tahunan. Lu hubungin lagi,” lalu memerintah Haikal. “Siap Oboss.” Namun, suasana mobil kembali hening. Manik mata Arseno kembali tertuju pada luar jendela yang memperlihatkan lampu-lampu yang menyoroti jalanan. Hingga akhirnya ketika lampu merah tiba, mata lelaki tampan itu menatap ke arah Toko Perlengkapan bayi. Entah kenapa batinnya seperti menarik Arseno untuk pergi kesana. “Haikal!” panggil Arseno dengan lirih. “Muhun Pak Boss, ada yang bisa saya bantu?” Sahut Haikal. Arseno tak menanggapi dan menatap ke arah toko perlengkapan bayi yang tak jauh dari lampu merah, “Kita berhenti dulu di toko perlengkapan bayi itu.” “Baik Pak Boss. Ayo mang ujang,” suruh Haikal pada pria paruh baya yang tengah mengemudikan mobil itu. Mobil terarah menuju parkiran mobil perlengkapan bayi, Arseno tersenyum bahagia ketika mendapati mobilnya sudah sampai di parkiran. Lelaki tampan itu langsung keluar dari mobil tanpa menunggu Haikal membuka kan pintu. Arseno sangat antusiah untuk melihat barang-barang lucu yang ada di dalam toko. Hingga tak mau menunggu lama lagi, ia melangkahkan kakinya masuk yang langsung di sambut dengan baik oleh pelayan. “Selamat datang Pak, ada yang bisa di bantu.” Arseno menganggukan kepalanya, “Ada.” •••••

Dua manusia tengah duduk saling berhadapan tanpa berbicara sama sekali. Yang perempuan, menatap lelaki di depannya dengan rasa malas seperti tak ingin memperlihatkan wajahnya sama sekali. Berbeda dengan lelaki, manik matanya memutar bola matanya dari kepala sampai tatapan perut besar itu. Ginela—tak percaya sama sekali jika laki-laki yang ada di depannya ini datang kembali. Di saat ia sudah bisa melupakan dan lebih memilih kehidupannya yang baru. Akan tetapi, sekarang Ghazi—lelaki itu ada di sini sekarang. “Apa kabar?” tanya Ghazi sumringah. “Baik. Kamu?” tanya Ginela balik. Ghazi menganggukan kepalanya, “Baik juga.” “Syukurlah.” “Gimana kabar anak kita? Sudah besar ya dia,” Kata Ghazi basa basi. Ginela tak bergeming. Tiba-tiba saja air matanya keluar begitu saja ketika pikirannya terlintas kejadian saat acara pernikahan tujuh bulan lalu. Hati nya begitu sakit jika menginggatnya, Ghazi sama sekali tidak hadir di sana. Padahal ia sangat menginginkan. sesosok itu. “Aku minta maaf bey.” “Minta maaf untuk?” Ginela bingung saat Ghazi mengatakan itu. Lelaki itu tiba-tiba saja meminta maaf. “Kamu nggak ada salahkan. Untuk apa minta maaf,” lanjut Ginela. Ghazi menghela nafas karena menganggap Ginela seolah-olah tidak peduli sama sekali. “Masalah pernikahan.” “Aku nggak mau bahas itu,” sanggah Ginela langsung. “Oke, kita jangan bahas itu. Tapi aku mohon izin sama kamu untuk mendengarkan penjelasan dariku.” Balas Ghazi lagi. “Silahkan.” Kata Ginela cuek. Ghazi menghelas nafas memulai pembicaraan, “Saat pernikahan kita waktu itu kenapa aku nggak hadir. Bukan tanpa alasan, aku sampai nggak hadir ke sana.” Kata Ghazi. Ginela menyimak penuturan lelaki didepannya yang terlihat sangat serius. Mencoba mencernanya. Ia harus mendengarnya hingga sampai penjelasannya selesai. “Aku malu sama diri aku. Malu karena berani bertanggung jawab, tapi belum punya pekerjaan sama sekali. Nggak lucu kan anak kita nanti nggak bisa makan yang enak. Dan sekarang aku kembali untuk memperbaiki semuanya, karena aku udah punya kerjaan.” lanjut Ghazi lagi. “Kenapa baru sekarang?” sanggah Ginela menyentak. Tangannya sibuk mengelus perut besar, berusaha agar ia bisa menahan emosinya yang bisa saja tiba-tiba keluar tanpa di sengaja. “Aku udah jelasin tadi, aku masih takut bey. Belum Mama menuntut aku harus nerusin perusahaan Daddy. Dan aku belum siap untuk ngelakuin itu.” balas Ghazi tenang. “Huh. Lalu sekarang apa mau kamu?” Ghazi menatap Ginela, “Aku mau bahas soal chat kemaren. Aku serius ingin kita kembali seperti dahulu. Apa masih bisa, bey?” lanjutnya berpindah duduk ke samping Ginela. DEG Detak jantung Ginela tiba-tiba berhenti begitu saja. Ia tidak mengerti dengan dirinya malah berekasi seperti ini. Seharusnya perempuan itu bahagia ketika Ghazi—sosok yang ia cintai ingin mencoba memperbaiki kesalahannya yang lalu. Kemudian Ginela melepas genggaman tangan Ghazi, “Maaf.” Hatinya menolak, entah kenapa sekarang Ginela malah memikirkan sesosok lain. Sesosok yang hadir selama tujuh bulan ini sudah menemani ketika dirinya kesulitan. Ghazi yang menerima perlakuan itu merasa aneh ketika perempuan yang pertama berada di hatinya malah melepaskan genggaman tangannya. Namun tak ingin memikirkan lebih jauh, kini ia hanya ingin fokus pada perempuan didepannya. Tanpa memikirkan hal lain. “Aku nggak akan maksa kamu untuk jawab sekarang. Aku akan tunggu sampai kamu siap,” seru Ghazi. Ginela mengganggukan kepalanya, “Makasih. Kasih aku waktu,” sambil meneguk habis air putih yang ada di tangannya. “Aku tahu kalau ucapan aku terlalu mendadak untuk ngajak kamu balikan sama aku.” Kata Ghazi memelas. Entah kenapa ketika Ginela menatap wajah Ghazi yang memelas seperti itu tidak tega memerintah untuk menunggu. Tetapi di jalan pikiran lain, ia seharusnya tega agar sosok itu mengerti bagaimana perjuangannya selama ini. “Bukan aku nggak mau jawab sekarang. Tolong kamu ngertiin keadaan aku,” “Iya nggak apa-apa. Aku ngerti.” “Semua sudah jelaskan? Nggak ada lagi yang harus kita omongin lagi. Aku harus pergi check up.” seru Ginela berpamitan. “Mau aku anter?” tawar Ghazi baik hati. Ginela menggelengkan kepalanya, “Nggak perlu. Ada Ibun dan supir sebentar lagi jemput aku.” lalu beranjak dari sana perlahan. Padahal sebenarnya hari ini sama sekali tidak ada jadwal check up ke dokter. Ginela hanya beralasan saja ingin cepat pergi dari sana. Melihat sosok itu membuatnya ingin marah saat itu juga, akan tetapi hal itu tak mungkin. Ginela masih memikirkan sesosok yang ada di dalam kandungannya harus ia pikirkan juga. Dirinya tidak mau stress berlebihan, sudah cukup kemarin saja. Ginela tak ingin menambahkan beban lagi pada hidupnya. •••••

Arseno membuka pintu kamar Ginela secara perlahan sambil menatap ke arah perempuan yang tengah tertidur. Sudah jadi kebiasaan lelaki itu setelah pulang kerja selalu datang ke kamar sang istri. Walaupun anak yang ada di dalam kandungan itu bukanlah anak kandungnya. Tapi Arseno tak peduli, sebab ia harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah adiknya lakukan. Arseno pun tidak akan segan-segan untuk tidur di lantai agar sang empu aman. Karena ia pernah mendapatkan laporan dari sang asisten, jika istrinya setiap malam tidak tidur hingga pagi menjelang. “Hai anak ayah, kamu lagi apa? Ayah ke sini lagi untuk nemenin kamu tidur.” Arseno mengusap perut Ginela dengan hati-hati agar tidak membangunkan. Sebab jika perempuan itu bangun tidak akan mengizinkan sama sekali. Mungkin jika Ginela tahu, ia akan di marahi habis-habisan mengelus perut perempuan itu. Karena tidak sopan katanya. Namanya sudah buta akan cinta, mau di apakan lagi. Jika sudah menyangkut jantung hatinya, mau dilarang pun akan tetap dilakukannya. “Anak ayah nakal nggak sama Ibun. Anak ayah nggak boleh nakal, harus nurut sama Ibun,” bisik Arseno bahagia. “Pasti anak ayah baikkan. Pokoknya, ayah mau kamu harus jaga baik Ibun.” lanjut Arseno seperti sedang menasehati sang anaknya. Setelah selesai berbicara yang seraya berbincang langsung dengan sang anak. Manik mata Arseno kemudian menatap ke arah wajah nan indah untuk di pandang menurutnya. Ia sungguh merindukan sosok itu. Padahal terakhir keduanya saling berkomunikasi ketika Arseno mendapati chat jika sang adik kembali menguhubungi istrinya. Arseno tahu, hal yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Tidak seharusnya ia marah ketika sang adik kembali, bukankah itu hal bagus baginya, berarti lelaki tampan itu bisa bebas menjalani hidupnya sendiri. Namun hal itu tak mungkin Arseno lakukan. Ginela adalah seseorang yang sudah ia nantikan berpuluh-puluh tahun. Maka dirinya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengambil hati Ginela kembali. Walaupun ia rasa tidak mungkin, tapi Arseno akan mencobanya. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam, mata Arseno tak kuat menahan rasa kantuknya. Karena percuma jika ia berjalan ke kamarnya akan lebih lama lagi, jadilah sekarang di sana. Arseno membaringkan kepalanya bertumpu pada kasur Ginela, ia akan menantikan keesokan harinya semoga akan menjadi hari yang lebih baik lagi. •••••

Untuk kesekian kalinya Arseno dalam hati tidak baik. Apapun yang dilakukan oleh karyawan di kantornya itu tidak akan baik. Padahal sang karyawan tidak melakukan kesalahan apapun. Bahkan sang asisten—Haikal pun tidak luput dari amukanya. Seperti halnya sekarang, Arseno tengah berkacak pinggang menatap ke arah beberapa karyawannya yang menundukan kepalanya. “Mana kerja kalian? Mana? Sudah lebih dua bulan, saya menunggu untuk proyek besar ini. Tapi kenapa tidak ada laporan lagi??!!!” Amarah Arseno semakin memuncak ketika salah satu karyawannya menyela. “Maaf Pak tapi mereka ingin menundanya.” sela karyawan. “Kalian usahakan. Begitu saja tidak bisa!!” “Pokoknya saya tidak mau tahu, minggu depan kalian harus goalkan proyek ini. Jika tidak kalian tanggung akibatnya, paham??!!” lanjut Arseno tegas. “Paham pak.” balas seluruh karyawannya. “Ya sudah kalian boleh keluar sekarang,” Seluruh karyawan yang ada di dalam ruangan itu mengikuti atas arahan sang atasannya. Sampai tinggal lah Arseno dan Haikal di sana. Tetapi pintu ruangan kembali terbuka, terlihat sesosok Naufal dan Raja berjalan menghampiri kedua sahabatnya. “Sen, makan yuk!” Ajak Naufal berusaha meleraikan suasana. “Udahlah Sen, lu jangan marah-marah mulu sama karyawan. Kasian.” sergah Raja. Arseno mendelikan matanya tak suka. “Kerjaan belum ada satu pun yang beres, jelas gua marah.” Kata Arseno tak terima. “Eh kan aing lupa mau ngomong sesuatu sama si obos,” sela Haikal. “Naon (apa)?” tanggap Naufal penasaran. “Hmm.” “Tadi gua ketemu si Ghazi ketemuan sama Ginela di cafe depan kantor.” Arseno mematung seketika. Ucapan asisten pribadinya mampu membuatnya tak bergeming, selama ini yang ia tahu jika Ginela akan diam di rumah. Keluar pun hanya sekedar bertemu dengan sahabatnya. Tapi sekarang apa? Ternyata istrinya itu pergi tanpa sepengetahuannya. Sebenarnya tidak penting juga untuk Ginela izin padanya. Tapi kali ini tidak, rasa cemburunya membuat Arseno tidak bisa lagi berdiam diri. “Lu jangan emosi dulu, Sen.” cicit Raja menenangkan Arseno. “Gak janji,” “Oboss pikirkeun Ibu Boss mun nyaho kumaha (Pak boss pikirin Ibu Boss kalau tahu gimana).” Haikal merangkul lengan Arseno. Pikiran lelaki tampan itu kalut, selain masalah di kantor, sekarang tambah lagi masalah lain yang belum terselesaikan sama sekali. Emosinya terus memuncak ketika mendengar nama sang adik—Ghazi di sebut-sebut. Apalagi jika menginggat masalah yang lalu, amarahnya tidak bisa lagi tertahan. “Udah ayo makan dulu. Emosi lu butuh tenaga,” ajak Naufal mendorong badan Arseno. Arseno tak bisa mengelak lagi, kakinya ikut melangkah kakinya keluar dari ruangannya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati sang supir datang dengan membawa dua kantung belanjaan menghampiri lelaki tampan itu. “Aden, ini saya mau memberikan makan siang dari Neng Nela,” “Waaah.. Kebetulan mang kita mau makan siang.” Naufal mengambil kedua tas belanja tersebut. “Neng Nela ada di bawah Aden. Tapi katanya nggak kuat jalan ke atas. Kalau begitu Mang Ujang pulang dulu, kasian Neng Nela.” Arseno menganggukan kepalanya. “Hati-hati.” “Hati-hati ya, Mang. Tolong jaga Ibu Boss.” cicit Haikal memastikan supir majikannya mengantarkan dengan aman. “Siap atuh, aman sama Mang mah,” Naufal mengacungkan jempolnya, “Oke mang.” Setelah sang supir pergi dari sana. Arseno dengan cepat menyambar kedua kantung makanan yang ada di tangan Naufal. Ia melangkahkan kaki kembali memasuki ruangannya meninggalkan ketiga para sahabatnya mematung. “Woy, Arseno bagi-bagi!” pinta Naufal mengikuti Arseno berjalan. “Pak Boss, aing mau.” Haikal ikut-ikutan meminta makanan. “Kalau mau sini ikutin gua, ngapain diem di situ,” perintah Arseno membuat Haikal, Naufal dan Raja terbirit-birit berlari untuk memakan masakan gratis tanpa harus mengeluarkan uang sedikit pun. •••••

Ke rumah Ibun

Mobil yang di tumpangi Ginela dan Arseno berhenti tepat di garasi rumah ber cat putih. Mata sang penumpang terus menelisik setiap jengkal rumah yang tak berubah sama sekali. Sudah lama Ginela tidak menginjakkan kakinya di sana.

Ginela turun dari arah mobil sambil melihat ke arah teras rumahnya yang sudah ada sang Ibunda menunggu untuk menyambut dirinya dan sang suami. Diikuti dengan Arseno yang turun dari mobil dan langsung menurunkan koper dari dalam garasi mobil.

“Akhirnya menantu Ibun datang juga ke rumah.” ucap Aira sumringah.

Arseno menghampiri Aira sambil menenteng kedua koper yang tak terlalu besar, “Terima kasih sudah mengundang Seno kesini. Apa kabar Ibun?” lalu menyalami tangan wanita paruh baya itu.

“Kabar ibu baik,” jawab Aira.

“Kok Arseno aja sih yang di sambut. Anak sama cucunya nggak nih.”

Aira tertawa sambil menatap wajah anaknya yang cemberut, lalu memeluk badan Ginela. “Ya ampun anak Ibun cemburuan banget.”

“Anaknya Ibun siapa sih? Aku atau Arseno,” protes Ginela tak terima.

Arseno yang melihat tingkah Ginela yang cemburu ikut tertawa. Baru kali ini dirinya melihat sisi lain dari seorang Ginela yang dikenal sebagai seorang yang mandiri. Namun jika di hadapkan dengan keluarganya akan seperti anak kecil.

“Mana mungkin ibu lupain kamu. Ya udah ayo masuk, diluar dingin.” ajak Aira sambil menuntun Ginela memasuki rumah.

“Ayah kemana, Ibun?” Tanya Arseno menelisik se isi rumah yang sepi.

“Ayahnya Ginela kalau jam segini biasanya masih di kantor,” balas Aira sambil menaiki anak tangga menuju kamar Ginela.

“Ya udah Ibun tinggal dulu ya, mau lanjutin masak lagi. Nanti Ibun panggil kalau udah selesai.”

“Nela bantu ya Ibun,”

“Nggak usah, kamu istirahat dulu aja.”

Ginela menganggukan kepalanya sebagai tanda jawaban. Ia mulai membuka pintu kamarnya dengan lebar mempersilahkan kepada Arseno untuk memasuki kamarnya.

Arseno yang merasa dipersilahkan, tanpa basa basi lagi langsung melangkahkan kakinya memasuki kamar perempuan yang sekarang menjadi istrinya. Mata nya menelisik ke arah kamar yang suasananya berbeda dengan kamar yang berada di rumahnya.

Nuansa putih biru menghiasi dinding kamar, meninggalkan kesan cerah bagi siapapun yang memasukinya.

“Gua mau mandi dulu. Lu liat-liat aja dulu.” Ginela melangkahkan kakinya menuju kamar mandi kamarnya meninggalkan Arseno sendiri di dalam kamar.

Arseno tak menjawab perkataan perempuan itu. Matanya sedari tadi menelisik se isi kamar hingga sampai atensinya menatap ke arah bingkai-bingkai foto yang ada di atas meja belajar yang menarik perhatiannya semenjak masuk kamar ini tadi.

Satu persatu ia menatap bingkai foto itu hingga sampai di salah satu bingkai foto. Seorang anak remaja yang berada di foto itu sungguh menarik minat matanya. Ia merasa tak asing, hingga sampai Arseno meronggoh ponselnya dan memastikan jika foto yang berada di dalam bingkai itu sama atau tidak. Setelah di telisik lama, foto itu seratus persen mirip dengan foto yang ada di dalam ponselnya.

“Ternyata itu kamu ela.” batinnya senang. Sangat beruntung bagi Arseno, tidak harus bersusah payah lagi untuk mencari seseorang yang berarti dalam hidupnya. Kali ini ia sudah mengetahui cinta pertama dan terakhirnya itu siapa? Semesta kembali menyatukan keduanya walupun dengan cara yang berbeda.

•••••