staillry

Sarapan pagi

Senyuman Arseno mengembang ketika mendapati Mamanya, Ibu mertua dan sang Istri—Ginela tengah menunggu dirinya untuk melaksanakan sarapan bersama. Meja makan penuh dengan makanan. Cacing di perut Arseno berlomba-lomba meminta untuk diberi makan pada saat ini juga.

Ketika hendak mengambil piring yang berada di atas meja, tetapi aksinya di hentikan oleh perkataan sang ibu mertua. “Nel, ambilin dulu untuk suamimu.”

“Ibun nggak makan?” Tanya Arseno sopan.

Aira menganggukkan kepalanya, “Makan sayang. Tapi yang punya rumah dulu.”

“Atau nggak itu piringnya untuk Ibun dulu aja, Gin.” seru Arseno ramah.

“Nanti Ibun bisa ambil sendiri. Iya kan, Ibun?” sergah Yunita ikut menanggapi.

Aira menganggukan kepalanya, “Iya nanti Ibun ambil sendiri.”

“Ehem, No mau pakai apa lauknya?” Tanya Ginela akhirnya mengalihkan pembicaraan.

Mata Arseno menelisik setiap wadah makanan. “Ikan sama telor balado.”

Akhirnya Ginela mengambilkan makanan yang di minta Arseno dan meletakkan piring di atas depan Arseno duduk. Tak lupa juga ia menyiapkan gelas milik lelaki itu serta mengisinya dengan air putih. Karena Ginela tahu, jika Arseno harus selalu makan dengan lengkap. Bukan hanya itu saja, Ginela tahu segala hal tentang suami penggantinya itu.

“Oh iya, Sen kamu harus coba semua makanan ini!.” suruh Mama Yunita.

“Ginela loh yang masak semuanya.” lanjutnya dengan bangga.

“Nggak juga. Mama sama Ibun lebih handal.” sergah Ginela malu-malu.

Arseno mulai menyendokkan makanan satu persatu ke dalam mulutnya. Dan benar saja, makanan itu enak. Lidahnya mampu merasakan sama halnya seperti makanan di hotel bintang lima. Namun, kali ini berbeda.

Semuanya yang ada di sana akhirnya ikut menyantap makanan mereka masing-masing tanpa ada yang bersuara sama sekali. Baik Arseno, Ginela dan kedua ibunya masih fokus menyantap makanan.

Mata Arseno memicit ke arah Ginela yang fokus pada makanannya, sehingga tidak menyadari jika di bibirnya ada nasi tertinggal di sana saking terburu-buru makan. “Sorry ya Gin.” lalu tangannya mengambil nasi tersebut dari sisi bibir Ginela.

Ginela yang mendapatkan serangan tiba-tiba, jantungnya merasa berdegub kencang. Apalagi di tambah Ibundanya dan Mama mertuanya menyeruaki dirinya yang katanya menebar kemesraan.

“Ciee, pasangan muda-muda ini.” seru Mama Yunita bahagia.

“Arseno romantis sekali ya pada Ginela. Ibun nggak salah milih menantu.” Tambah Ibun Aira ikut bahagia.

Arseno dan Ginela yang merasakan itu sama-sama diam. Wajah keduanya memerah seketika, entah kenapa ada perasaan suka ketika di sebut sebagai pasangan muda. Akan tetapi, di sisi lain juga keduanya harus sadar. Mereka menikah hanya dalam sebuah perjanjian Suami Pengganti.

“Ibun apa sih!” Sanggah Ginela kemudian membereskan piring-piring kotor termasuk piring milik sang suami, Arseno.

“No, hari ini kamu ada kegiatan apa?”

“Mau sepeda pagi ke alun-alun sama Naufal.”

Mama Yunita mendengus, “Kamu ini nggak bisa quality time sama istri kamu.”

“Nggak apa-apa, Ma. Kan aku ada Mama sama Ibun.” cicit Ginela.

“Tuh, Ginela aja nggak protes. Sebentar kok Ma. Aku siap-siap dulu.” ujar Arseno bersiap-siap berdiri.

“Hey tunggu dulu.” Sanggah Mama Yunita.

“Apalagi, Ma?” Tanya Arseno sedikit kesal.

Mama Yunita menatap ke arah Arseno sambil memberikan kode, “Kamu itu suaminya Ginela. Salam dan cium kening jangan lupa.”

Perkataan itu membuat Arseno diam sejenak, apa Mamanya lupa jika dirinya di sini hanya sebagai suami pengganti saja yang berarti tidak ada hak untuk memberikan pelayanan sebagai seorang suami yang semestinya.

Namun, lelaki tampan itu tak ingin lagi berdebat lagi dengan Mamanya. Ia mengikuti keinginan sang Mama yang mengharuskan menjadi seorang suami yang baik.

Ginela yang tak tahu menahu apa-apa yang baru saja kembali menyelesaikan acara cuci piringnya terkejut karena Arseno—peran suami penggantinya tiba-tiba saja menghampiri dirinya yang masih mematung.

Kegugupan melanda keduanya, jantung keduanya tidak bisa berhenti berdetak. Pasalnya kini Arseno mendekatkan bibirnya pada kening Ginela dan mulai mengecupnya. Bukan hanya kening saja, perutnya pun tak luput dari kecupan bibir indah lelaki tampan itu.

“Jagain Ibun ya anak baik.” Kata Arseno sambil mengelus perut buncit Ginela.

Kemudian berpamitan kepada Mama Yunita sera Ibun Aira. Arseno melangkahkan kakinya pergi menuju lantai dua untuk bersiap-siap melakukan bersepeda pagi nya meninggalkan Ginela yang masih terpaku atas perlakuan lelaki tampan tersebut.

•••••

Mama dan Ibun nginep

Hari sabtu merupakan hari terindah bagi sebagian orang yang menganggap adalah hari libur. Namun, berbeda dengan Ginela dan Arseno. Hari sabtu kali ini merupakan hari terburuk bagi mereka berdua.

Bagaimana tidak? Mama dan sang ibunda tercintanya mendadak ingin tidur di rumah mereka. Padahal biasanya walaupun sedang liburan seperti sekarang, keduanya hanya mengikuti jejak sang suami. Tapi berbeda dengan hari ini.

“Ginelaaaa!” panggil Mama Yunita sambil membawa kantung belanjaan berisi kue macaron.

“Gimana, Ma, Ibun perjalanannya jauh ya?” Tanya Ginela menyalami tangan Mama mertua dan sang Ibundanya.

Aira tersenyum, “Nggak jauh juga. Cuman dari pasteur ke Setiabudi mah deket atuh.”

“Macet hungkul di lampu merah pasopati.” sergah Aira dengan senyuman candanya.

“Oh udah biasa ya itu mah. Eh ayo masuk dulu di luar dingin.” ajak Ginela mengandeng tangan sang Ibunda—Aira.

Di sisi lain, Yunita mengikuti mereka berjalan dengan penuh tawa yang mereka lontarkan sedari tadi. Berbeda urusannya dengan Arseno, yang hanya pasrah atas kedatangan Mama nya dan Ibunda mertuanya. Lelaki tampan itu mengangkat kedua koper dan mengikuti semua orang yang kini sedang menaiki tangga menuju lantai dua.

Ginela, Aira dan Yunita menghentikan langkak kakinya tepat di depan kamar yang sejak awal di gunakan perempuan yang tengah mengandung.

“Oh iya, Nel. Mama sama Ibun bawa macaron sama ada beberapa cemilan.” kata Aira memberikan tas jinjing yang entah berisi apa.

Ginela mengambil tas tersebut, “Makasih Ma, Ibun padahal nggak usah repot-repot. Ssshh.” Sambil mengelus perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri.

“Kamu kenapa nak?” Tanya Aira khawatir.

Ginela menggelengkan kepalanya, “Nggak apa-apa Ibun, dede seneng banget ada omanya ke rumah.”

“Senang sekali ya kedua Oma nya datang jenguk dia,”

“Maaf Mama, Ibun, Seno menyela. Apa lebih baik kita istirahat?” Sela Arseno dengan ekspresi datar.

“Tapi Ibun sama Mama udah makan?” Tanya Ginela dengan rasa khawatirnya.

Yunita menganggukan kepalanya, “Mama sama Ibun kamu sudah makan. Udah sana kamu ke kamar aja. Biarin barang-barang Mama sama Ibun yang bawa. Ayo Ibun kita istirahat, biarin mereka berduaan.” ledek Yunita menggandeng lengan Aira berlalu meninggalkan Ginela dan Arseno yang mematung.

Ginela menggelengkan kepalanya sambil melangkahkan kakinya menuju kamar Arseno. Se sampainya di kamar, Ginela bersiap-siap mengambil selimut dan bantal di dalam lemari namun dengan cepat Arseno mencegahnya.

“Biar gua yang tidur di sofa,”

“Tapi ini kamar lu.”

“Kalau lu tahu ini kamar gua, jadi tolong nurut sama gua. Dan gua cuman gak mau mama sama ibun tahu kalau cucu nya sakit karena gua biarin tidur di sofa.”

“Udah sana tidur lu!!” lanjut Arseno ketus.

“Iya ini mau.” jawab Ginela kemudian merebahkan dirinya memasuki selimut berwarna hitam milik Arseno. Matanya secara perlahan mulai terpejam. Ia berharap jika esok ketika perempuan itu bangun, Mama mertua dan sang Ibunda tidak melakukan hal yang aneh. Dan juga Ginela berharap, selain hari esok dan hari nanti-nanti lagi akan menjadi lebih baik lagi.

Berbeda halnya dengan Arseno yang sedari tadi sama sekali belum tertidur. Posisinya yang rebahan pada sofa bed kamarnya seperti sudah terlelap padahal belum sama sekali. Pikiran lelaki tampan itu banyak bercabang kemana-mana. Dari mulai urusan sang adik yang menghilang tanpa jejak, urusan teman masa kecilnya ia pikirkan dan bahkan urusan kantor pun mampu menganggu pikirannya.

Sama halnya dengan Ginela, Arseno juga berharap keesokan harinya ia mampu menjalani hari-harinya seperti biasa tanpa harus ada hambatan sama sekali. Karena sudah cukup yang lalu-lalu menganggu pikirannya.

•••••

Ikutan Yoga Ibu Hamil

Matahari pagi hari senin terlihat sudah mulai naik dari ufuk timur secara perlahan. Orang-orang kembali beraktivitas untuk bekerja, sekolah dan melakukan kegiatan lainnya. Seperti di dalam gerbang yang menjulang tinggi terdapat beberapa mobil terparkir di halaman rumah.

Ada enam orang ibu hamil yang sedang mengikuti seorang wanita menghadap ke arah mereka dan melakukan yoga. Yoga yang diperuntukkan untuk ibu hamil itu sangat baik bagi janin dan sang ibu.

“Baik, sekarang untuk para suaminya silahkan untuk ikut menyandarkan punggungnya pada punggung sang istri!” perintah instruktur yoga. Para ibu hamil dan suami yang berada di sana mengikuti arahan sang instruktur dengan baik dan benar. Berbeda hal nya dengan Arseno dan Ginela, pasangan suami istri itu begitu canggung ketika mendengarnya.

Vina berjalan mengelilingi para ibu hamil yang tengah melakukan gerakkannya. Lalu, sampai di tempat Ginela dan Arseno yang masih berdiam di tempat. “Suatu kehormatan pak Arseno, saya bisa membimbing anda dengan istrinya anda,” ucap Vina ramah.

“Terima kasih.” balas Arseno dingin.

“Pak Arseno dan Ibu Ginela silahkan untuk duduk saling membelakangi.” perintah sang instruktur.

“Baik.” jawab Ginela canggung lalu mendudukan dirinya di atas matras dengan membelakangi Arseno. Sebaliknya juga dengan lelaki itu yang ikut membelakangi sang istri.

Setelah melihat semua para muridnya pada posisi yang diperintahkan, bahkan siap untuk melakukan adegan selanjutnya. Kembali instruktur tersebut memberi arahannya untuk melakukan gaya yoga sama seperti dirinya lakukan.

“Ok, sekarang Ibu-ibu bisa menekan punggungnya pada punggung sang suami secara perlahan. Lakukan seperti yang saya lakukan ya ibu-ibu.” seru sang instruktur.

“Sorry, gua cuman ikutin arahan.” Ginela mulai melakukan sesuai dengan instruksinya. Dirinya tidak peduli dengan keadaan punggung di belakangnya seperti apa, yang jelas dirinya hanya mengikuti saja.

“Ya.”

Arseno merasa dirinya tertekan hanya bisa pasrah dengan keadaan saat ini. Dirinya ingin marah dan meronta-ronta kali ini, kan tetapi lelaki itu tak bisa melakukannya selain berdiam diri mengikutinya.

Sepasang mata memandang dirinya dengan penuh kebahagiaan. Sesosok itu begitu bahagia ketika mengetahui Arseno mengikuti arahan sang instruktur. Demi sang mama, lelaki tampan itu rela melakukannya. Walaupun tidak ingin sama sekali.

“Nghm. Pelan-pelan bisa?” erang Arseno sedikit terhentak.

“Tadikan di suruhnya di teken. Ya udah gua teken.” balas Ginela tak terima.

“Ya tapi bisa pelan-pelan.” seru Arseno tak terima Ginela menghela nafas, “Iya iya. Udah fokus lagi. Mama liatin kita.” lalu matanya kembali terfokuskan pada instruktuk yang tak lain—Kak Vina.

Hatinya tersenyum lega ketika mendapati Vina mempersilahkan untuk menyudahinya. Tetapi itu semua belum berakhir di situ saja.

Pada gerakan selanjutnya yang mengharuskan Ginela dan Arseno untuk saling bertatapan satu sama lain. Selain bertatapan, keduanya harus dengan posisi seperti push up namun lutut kakinya dilipat pada matras. Walaupun sangat malas melakukannya, akhirnya pun keduanya tetap melakukan sesuai instruksi yang ada.

Setelah para peserta melakukan gerakan tersebut. Kini para peserta di lanjutkan untuk duduk dengan kaki di sila, badan ditegapkan sambil menghirup udara pagi yang begitu sejuk. Sedangkan, sang suami diharuskan berada di belakang untuk menahan badan sang istri.

“Baik para ibu, sekarang kedua tangannya di angkat ke atas sambil tarik nafas pelan,” ujar Vina santai sambil berjalan melihat-melihat kepada para ibu-ibu muda.

“Lalu sekarang untuk para suami letakkan tangannya di pinggang dekat payudara.” perintah sang instruktur membuat kedua pasang mata itu seketika terkejut.

“Harus banget di pegang area payudara,” gumam Ginela dalam hatinya dengan membantin.

“Hah? Payudara, tuhan apalagi ini.” batin Arseno terkejut.

Vina melihat ke arah Arseno dan Ginela yang masih pada posisi masing-masing belum ada yang mau melakukan pada posisinya. Pikiran keduanya masih melayang ke mana-mana. Harus kah mereka berdua melakukannya?

“Pak Seno, ayo pegang pinggang bawah payudara istrinya!”

“Ehem, ok. Sorry Gin.” Dengan penuh keberanian akhirnya ia memegang pinggang Ginela yang terasa sangat kenyal. Jantungnya berdegub kencang, perasaannya campur sangatlah campur aduk. Selama hidupnya, baru kali ini lelaki itu menyentuh badan perempuan selain sang bunda.

Ginela tak menjawab, dirinya hanya diam tak ada bedanya sama sekali. Perempuan itu berusaha menahan nafasnya karena gugup dan geli menjadi satu melanda dirinya. Di dalam hatinya merutuki kenapa harus ada lagi saat seperti ini sama akan halnya seperti kejadian di kolam renang tempo lalu.

“Semoga cepet berlalu.” gumam Ginela di dalam hati.

•••••

Telor goreng buatan Kak Janu

Tak lama Arseno mengirimkan imess padanya, dengan langkah cepat Ginela langsung membereskan barang-barang miliknya tanpa ada salah sedikit pun ke dalam koper besar miliknya.

Setelah selesai semuanya, Ginela langsung mendorong kopernya dengan segera keluar kamarnya dan menuju kamar sang suami pengganti. Namun, di tengah jalan ia berpapasan dengan Bi Asih dan Laluna yang bingung dengan keadaan perempuan itu.

“Nel, lu mau kemana?” Tanya Laluna khawatir.

“Udah cepetan lu bantuin gua. Berat nih.” Balas Ginela dengan buru-buru.

“Tapi Nel...”

“Please, Lun nanti gua jelasin ok, lu bisa bantuin gua dulu?” Ginela menatap ke arah Laluna dengan nafas yang tersenggal-senggal. Ketika sedang hamil seperti sekarang ini lebih melelahkan dibandingkan hari-hari biasa. Bahkan emosinya tidak dapat stabil.

“Udah Neng, biar si bibi aja.” Akhirnya Bi Asih yang ada di sana membawa koper menuju kamar Arseno yang keberadaannya tak jauh dari kamar milik perempuan yanv tengah menggandung tersebut.

Tak ingin menunggu lebih lama lagi, Ginela berjalan meninggalkan Laluna yang masih berkutat dengan fikirannya sendiri. Dirinya yakin, jika sahabatnya itu bingung kenapa seluruh pakaian yang ia pakai harus dipindahkan ke kamar Arseno.

Padahal sudah jelas sekali mereka adalah sepasang suami istri. Walaupun kita tahu, jika peran Arseno di sini hanya sebagai suami pengganti saja.

“Lu nggak ngelakuin hal aneh-anehkan, Nel?”

“Nel, lu punya segudang penjelasan sama gua. Pantesan aja waktu mau ke kamar lu larang mulu.” lanjut Laluna penasaran sambil melipat kedua tangannya di dada.

Sang empu hanya nyengir tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Lalu berlanjut melangkah kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar sang suami. Ginela masih mematung di sana tak berani untuk membukanya, bahkan masuk ke sana ia pun tak berani.

“Woy!! Malah matung di situ. Buka.” teriak Laluna memecahkan keheningan, berusaha menganggetkan.

“Sabar. Sabar. Gua nggak berani masuk, Lun.” jawab Ginela.

Laluna mengernyit tak mengerti, “Masa ke kamar laki sendiri nggak berani masuk.” kemudian menyipitkan mata pada Ginela dengan penuh kecurigaan.

“Jangan-jangan kalian berdua tidur di kam..” Lanjut sahabatnya, namun sebelumnya terhenti ketika mendengar suara Januar dibawah sana.

“Ginelaaaaa, Kakak lu dateng nih. Mana tuh anak?!!” Dari arah bawah terdengar suara yang tak asing bagi Ginela. Itu adalah suara sang Kakak yang berhasil menghentikan omongan Laluna.

Dengan terburu-buru Ginela membuka pintu kamar itu dan menyuruh Bi Asih untuk segera merapihkan pakaiannya ke dalam lemari sang suami. Walaupun rasa canggung ketika memasuki kamar Arseno yang serba hitam, tapi ini keseharusan dirinya untuk menyimpan semua barang-barang miliknya ke dalam kamar itu.

“Iya Kak, Nela di atas. Sebentar.” balas Ginela dari lantai dua.

“Lama banget di atas. Ngapain sih? Gua kesana ya,”

“Mau ngapain anjir, nggak usah. Biar gua yang ke bawah.”

Sampai akhirnya Ginela buru-buru keluar dari kamar Arseno meninggalkan Bi Asih sambil menetralkan nafasnya agar tidak gugup dan salah menjawab ketika Januar bertanya. Perempuan itu tahu jika sang Kakak akan bawel semua yang menyangkut dirinya apalagi sekarang dirinya sudah memiliki suami. Januar menatap ke arah Ginela, “Akhirnya, Lu turun juga,”

“Sabar Kak. Gua kan lagi hamil harus pelan-pelan.”

“Iya deh terserah lu. Eh, Nel, lu serius mau di masakin telor sama gua?” Tanya Januar masih terheran karena keinginan Ginela.

Ginela mengangguk, “Gua serius, Kak. Dapurnya ada di ujung lorong.” Kemudian sambil menunjuk letak keberadaan dapur.

TTUK

“Yeuh, nih anak berani bener nyuruh gua. Mentang-mentang di depan suami lu.” Januar menjitak kepala sang adik yang terlalu menyebalkan untuknya.

“Sakit oy,” keluh Ginela sambil mengusap kepalanya.

“Ya udah ayo buruan, gua capek banget.” Lanjut Januar. Ginela tak menjawab ajakan sang kakak, dengan santainya dirinya malah menggandeng tangan Laluna berjalan ke arah dapur. Sudah tak aneh lagi dengan keadaan sahabatnya yang selalu bertengkar bersama sang kakak, Januar.

Arseno sedari tadi ada di sana hanya diam saja, mengulas senyumnya. Tak ada niat untuk ikut bercanda sedikit pun karena sama sekali dirinya tidak mengenali Ginela, sang istri. Bahkan Laluna pun ia tak tahu.

Kembali pada Ginela yang masih dengan santai menyimak Januar—sang kakak yang masih bergulat dengan masakan yang hanya memasak telor goreng saja demi mengabulkan acara ngidam sang adik.

“Nel, gua izin nginep di sini sampai besok,”

“Kenapa izin sama gua? Bukan gua yang punya rumahnya.”

“Lu istrinya, dek.” cicit Januar menatap Arseno dan Ginela bergantian.

Ginela yang penasaran ikut menatap sang kakak, “Kenapa lu natap gua begitu?”

“Ada belek di mata lu.” canda Januar membuat Ginela kesal.

“Sialan lu kak, cepetan mana telornya udah jadi belum?” dengus Ginela tak sabar.

“Sabar woy, makanan mulu di pikiran lu.” Ginela memeletkan lidahnya.

Januar yang menyelesaikan aktivitasnya dan memberikan piring pada sang adik. Ginela menyambut telor goreng itu tanpa berlama lagi langsung melahapnya.

“HUHAHAFUEBAAJK (Ini telor gorengnya enak, Kak).” kata Ginela sambil mulut mengangga karena kepanasan Laluna yang ada di sana menggelengkan kepalanya tak aneh lagi dengan sifat Ginela yang tidak sabaran.

“Sabar Nel. Minum dulu.” Ginela mengangguk kemudian mengambil gelas tak lupa juga ia minum walaupun hanya sedikit. Perempuan itu memfokuskan dirinya lagi untuk memakan telor goreng yang masih tersisa dengan di kelilingi oleh Laluna dan Januar.

Di dalam hati yang paling dalam, perempuan itu harus bersyukur jika masih ada orang-orang yang sayang padanya. Apapun permintaannya selalu di kabulkan. Sangat beruntung sekali bukan?

Namun ternyata, di sudut lain terlihat seorang perempuan tengah menyeringaikan bibirnya sambil menatap mata Ginela dengan tatapan yang penuh tak suka, “Ck!”

•••••

Pikiran Arseno

Fenomena menjadi seorang CEO (Chief Executive Officer) bagi sebagian orang itu sangat menyenangkan. Bagaimana tidak? Seorang atasan hanya cukup bersantai-santai saja memerintah kepada sang bawahan, bahkan hanya menerima selesai. Akan tetapi fenomena itu hanya akan melekat pada pandangan pertama orang-orang saja.

Jika kita lihat aslinya tidak menyenangkan menjadi seorang CEO. Begitulah yang dirasakan Arseno, anak pertama dari Abiputra group yang di berikan kepercayaan memegang perusahaan utama keluarga besarnya. Bahkan perusahaan yang sudah dibangun dari nol oleh David—sang ayah tersebut sudah resmi menjadi miliknya.

Lalu di sisi mana tidak menyenangkannya? Tentu pasti lelaki tampan itu setiap hari harus belajar-belajar dan belajar mengenai perusahaan.

“Silahkan pak boss di minum dulu teh nya.”

Arseno menegakkan kepalanya, “Terima kasih,” lalu meneguk sedikit teh tersebut.

“Kalau ada yang kesulitan bisa tanyakan kepada saya pak boss,”

“Hmm. Santai gua masih bisa handle ini.” kata Arseno masih membaca beberapa laporan.

“Boss, yang masalah teman masa kecil boss apa ada fotonya?” tanya Haikal sopan.

Arseno kembali menengakkan kepalanya sambil membenarkan letak kacamata yang bertengker pada hidup banggirnya. Lalu lelaki itu menjeda aktivitasnya sambil menghela nafasnya sebentar.

“Gua lupa-lupa inget apa masih ada di hp atau di macbook. Karena itu udah lama,” lanjut Arseno masih terpaku pada dokumen di tangannya.

Haikal berfikir sejenak, dan kembali ke masa lalu di saat sang sahabat yang memiliki badan gemuk, suka makan itu sering menjadi bahan bulan-bulanan teman-temannya. Dan membuat temannya—Arseno, malu untuk berangkat ke sekolah.

“Nanti gua coba untuk cari lagi identitasnya,”

Kemudian Arseno berdiri membelakangi badan Haikal yang masih berada di sana. Manik mata indahnya, fokus pada luar jendela yang menampakkan gedung-gedung pencangkar langit yang sangat jelas terlihat menjulang tinggi.

Ketika ruangan itu tengah hening, tiba-tiba terdengar dengan jelas teriakan sang atasan membuat Haikal terkejut.

“ARRRRGHHHHH!!”

Bukan hanya berteriak, dokumen yang ia pegang pun tidak luput dari remukan tangan kekar sang empu. Setelah menyelesaikan acara teriak-teriaknya, Arseno kembali duduk dan mengusap wajah tampannya dengan kasar. Terlihat dari wajahnya sangat gusar dan gelisah.

Mungkin kita juga bisa melihat perubahan wajahnya sangat ketara. Haikal tahu jika sifat, atasan yang juga sahabatnya ini memang selalu berteriak jika sedang merasa kesal dan gelisah. Sama halnya seperti kejadian saat ini.

Arseno masih sibuk dengan pikirannya hingga tak menyadari sama sekali jika sang asisten masih berada di sana. Batinnya masih bergelut dengan permasalahan pernikahannya bersama perempuan yang sama sekali tak ia sukai, bahkan ia kenali pun tidak. Dirinya hanya mendengarkan kabar dari Mamanya jika perempuan adalah pacar dari sang adik.

Pikiran itu terus menghantui Arseno saat ini. Padahal sudah jelas saat ini dirinya dan Haikal sedang membahas hal lain. Tetapi, otaknya tiba-tiba saja memikirkan Ghazi—sang adik yang tak tahu di mana kabarnya.

“Pak Boss teu ku nanaon (tidak kenapa-kenapa)?” Tanya Haikal khawatir.

Setelah tenang, Arseno mulai melepaskan tangan dari wajahnya, “Tidak apa-apa bukan hal penting,” lalu membenarkan posisi duduknya.

“Syukurlah kalau begitu. Maaf pak boss apa saya sudah boleh keluar? Ada tugas yang belum saya kerjakan,”

“Silahkan. Lu boleh keluar!” “Baik Pak Boss, saya permisi.”

Arseno tak menjawab pertanyaan perkataan Haikal dan tak memperdulikan lagi sang asisten. Kemudian kembali dengan pikirannya yang memikirkan bagaimana caranya agar menemukan sang adik yang lama tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali.

Memikirkan kelakuan adiknya itu membuat kepalanya ingin pecah. Dari sebelum sang kakak pulang dari studinya pun, Ghazi jarang sekali pulang. Bahkan, Arseno selalu mendapatkan laporan dari Mamanya selalu membangkang. Berbanding terbalik dengan dirinya.

Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Arseno harus kembali memikirkan hal-hal yang baru nantinya. Dan ia berharap tidak akan ada lagi masalah yang akan menimpa dirinya.

•••••

Telor goreng buatan Kak Janu

Tak lama Arseno mengirimkan imess padanya, dengan langkah cepat Ginela langsung membereskan barang-barang miliknya tanpa ada salah sedikit pun ke dalam koper besar miliknya.

Setelah selesai semuanya, Ginela langsung mendorong kopernya dengan segera keluar kamarnya dan menuju kamar sang suami pengganti. Namun, di tengah jalan ia berpapasan dengan Bi Asih dan Laluna yang bingung dengan keadaan perempuan itu.

“Nel, lu mau kemana?” Tanya Laluna khawatir.

“Udah cepetan lu bantuin gua. Berat nih.” Balas Ginela dengan buru-buru.

“Tapi Nel..”

“Please, Lun nanti gua jelasin ok, lu bisa bantuin gua dulu?” Ginela menatap ke arah Laluna dengan nafas yang tersenggal-senggal. Ketika sedang hamil seperti sekarang ini lebih melelahkan dibandingkan hari-hari biasa. Bahkan emosinya tidak dapat stabil.

“Udah Neng, biar si bibi aja.” Akhirnya Bi Asih yang ada di sana membawa koper menuju kamar Arseno yang keberadaannya tak jauh dari kamar milik perempuan yanv tengah menggandung tersebut.

Tak ingin menunggu lebih lama lagi, Ginela berjalan meninggalkan Laluna yang masih berkutat dengan fikirannya sendiri. Dirinya yakin, jika sahabatnya itu bingung kenapa seluruh pakaian yang ia pakai harus dipindahkan ke kamar Arseno.

Padahal sudah jelas sekali mereka adalah sepasang suami istri. Walaupun kita tahu, jika peran Arseno di sini hanya sebagai suami pengganti saja.

“Lu nggak ngelakuin hal aneh-anehkan, Nel?”

“Nel, lu punya segudang penjelasan sama gua. Pantesan aja waktu mau ke kamar lu larang mulu.” lanjut Laluna penasaran sambil melipat kedua tangannya di dada.

Sang empu hanya nyengir tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Lalu berlanjut melangkah kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar sang suami. Ginela masih mematung di sana tak berani untuk membukanya, bahkan masuk ke sana ia pun tak berani.

“Woy!! Malah matung di situ. Buka.” teriak Laluna memecahkan keheningan, berusaha menganggetkan.

“Sabar. Sabar. Gua nggak berani masuk, Lun.” jawab Ginela.

Laluna mengernyit tak mengerti, “Masa ke kamar laki sendiri nggak berani masuk.” kemudian menyipitkan mata pada Ginela dengan penuh kecurigaan.

“Jangan-jangan kalian berdua tidur di kam..” Lanjut sahabatnya, namun sebelumnya terhenti ketika mendengar suara Januar dibawah sana.

“Ginelaaaaa, Kakak lu dateng nih. Mana tuh anak?!!” Dari arah bawah terdengar suara yang tak asing bagi Ginela. Itu adalah suara sang Kakak yang berhasil menghentikan omongan Laluna.

Dengan terburu-buru Ginela membuka pintu kamar itu dan menyuruh Bi Asih untuk segera merapihkan pakaiannya ke dalam lemari sang suami. Walaupun rasa canggung ketika memasuki kamar Arseno yang serba hitam, tapi ini keseharusan dirinya untuk menyimpan semua barang-barang miliknya ke dalam kamar itu.

“Iya Kak, Nela di atas. Sebentar.” balas Ginela dari lantai dua.

“Lama banget di atas. Ngapain sih? Gua kesana ya,”

“Mau ngapain anjir, nggak usah. Biar gua yang ke bawah.”

Sampai akhirnya Ginela buru-buru keluar dari kamar Arseno meninggalkan Bi Asih sambil menetralkan nafasnya agar tidak gugup dan salah menjawab ketika Januar bertanya. Perempuan itu tahu jika sang Kakak akan bawel semua yang menyangkut dirinya apalagi sekarang dirinya sudah memiliki suami. Januar menatap ke arah Ginela, “Akhirnya, Lu turun juga,”

“Sabar Kak. Gua kan lagi hamil harus pelan-pelan.”

“Iya deh terserah lu. Eh, Nel, lu serius mau di masakin telor sama gua?” Tanya Januar masih terheran karena keinginan Ginela.

Ginela mengangguk, “Gua serius, Kak. Dapurnya ada di ujung lorong.” Kemudian sambil menunjuk letak keberadaan dapur.

TTUK

“Yeuh, nih anak berani bener nyuruh gua. Mentang-mentang di depan suami lu.” Januar menjitak kepala sang adik yang terlalu menyebalkan untuknya.

“Sakit oy,” keluh Ginela sambil mengusap kepalanya.

“Ya udah ayo buruan, gua capek banget.” Lanjut Januar. Ginela tak menjawab ajakan sang kakak, dengan santainya dirinya malah menggandeng tangan Laluna berjalan ke arah dapur. Sudah tak aneh lagi dengan keadaan sahabatnya yang selalu bertengkar bersama sang kakak, Januar.

Arseno sedari tadi ada di sana hanya diam saja, mengulas senyumnya. Tak ada niat untuk ikut bercanda sedikit pun karena sama sekali dirinya tidak mengenali Ginela, sang istri. Bahkan Laluna pun ia tak tahu.

Kembali pada Ginela yang masih dengan santai menyimak Januar—sang kakak yang masih bergulat dengan masakan yang hanya memasak telor goreng saja demi mengabulkan acara ngidam sang adik.

“Nel, gua izin nginep di sini sampai besok,”

“Kenapa izin sama gua? Bukan gua yang punya rumahnya.”

“Lu istrinya, dek.” cicit Januar menatap Arseno dan Ginela bergantian.

Ginela yang penasaran ikut menatap sang kakak, “Kenapa lu natap gua begitu?”

“Ada belek di mata lu.” canda Januar membuat Ginela kesal.

“Sialan lu kak, cepetan mana telornya udah jadi belum?” dengus Ginela tak sabar.

“Sabar woy, makanan mulu di pikiran lu.” Ginela memeletkan lidahnya.

Januar yang menyelesaikan aktivitasnya dan memberikan piring pada sang adik. Ginela menyambut telor goreng itu tanpa berlama lagi langsung melahapnya.

“HUHAHAFUEBAAJK (Ini telor gorengnya enak, Kak).” kata Ginela sambil mulut mengangga karena kepanasan Laluna yang ada di sana menggelengkan kepalanya tak aneh lagi dengan sifat Ginela yang tidak sabaran.

“Sabar Nel. Minum dulu.” Ginela mengangguk kemudian mengambil gelas tak lupa juga ia minum walaupun hanya sedikit. Perempuan itu memfokuskan dirinya lagi untuk memakan telor goreng yang masih tersisa dengan di kelilingi oleh Laluna dan Januar.

Di dalam hati yang paling dalam, perempuan itu harus bersyukur jika masih ada orang-orang yang sayang padanya. Apapun permintaannya selalu di kabulkan. Sangat beruntung sekali bukan?

Namun ternyata, di sudut lain terlihat seorang perempuan tengah menyeringaikan bibirnya sambil menatap mata Ginela dengan tatapan yang penuh tak suka, “Ck!”

•••••

Setelah acara penikahan

Langit kala malam itu begitu gelap gulita. Bintang yang biasanya kerlap kerlip tidak menampakkan keberadaannya di sana. Sama akan hal nya suasana di lokasi pernikahan yang terlihat begitu sederhana namun menawan untuk dipandang. Lampu-lampu bergantungan menyinari seluruh penjuru taman malam itu.

Lokasi di mana yang sejak sore hari menjadi tempat pasangan mengikat janji suci. Para pelayan berpakaian hitam putih berlalu lalang membereskan semua peralatan yang ada di sana satu per satu.

Seorang perempuan yang masih menggenakan gaun pengantin menelisik ke seluruh penjuru ruangan, dengan menghembuskan nafasnya lega. Semua para tamu mulai terlihat sepi dari atensinya. Bagi dirinya hari ini adalah hari yang paling melelahkan.

Dari mulai harus memikirkan masalah pacarnya yang tidak hadir di hari pernikahannya, lalu di kejutkan dengan sosok kakak sang pacar yang menggantikan sang pacar. Dirinya tak tahu lagi akan ada masalah apalagi kedepannya nanti. Yang jelas dirinya hanya ingin pulang saat ini juga.

Sejurus kemudian, Ginela sudah berganti pakaian dengan pakaian kasulnya berjalan menyusuri lokasi untuk mencari kedua orang tuanya tak terlihat sama sekali batang hidungnya. Hingga sampailah dirinya di sudut taman itu terlihat Ibunda, Ayah dan Kakaknya tengah bercengkraman tertawa bahagia.

“Rupanya kalian di sini.” Januar menoleh ke arah sumber suara, ia tersenyum lalu mengalihkan pandangan pada sang adik yang kini sudah berganti pakaian namun make up masih menghiasi wajahnya. Meski hanya cahaya lampu yang menyinari wajahnya tetapi, kesan cantik tak terlepas dari sana.

“Ada pengantin baru datang, mukanya ditekuk begitu. Bahagia dong harusnya,” Ginela mengaduh sebal menatap Januar yang terus meledeki dirinya. Tangannya bersiap-siap akan memukul lengan sang kakak namun dengan segera Pria itu menahan tangan adiknya agar tidak kena pada lengannya.

“Kak, sakit ih lepasin..” ringis Ginela.

“Ya lagian lu sok-sokan mau pukul tangan gua.”

“Januar lepasin!”

Akhirnya David meneriaki kedua anaknya yang seperti Tom and Jerry, sangat senang berkelahi. Tangan Januar terlepas mencengkram tangan Ginela. Begitu juga anak perempuan itu kemudian berlalu memeluk Aira yang sedang duduk di kursi kayu panjang berwarna coklat.

“Ibun, aku pulang sama ibun aja ya,” rengek Ginela manja.

“Kamu ini gimana, sekarang kamu udah nikah.”

Ginela menghela nafas, “Tapi bukan sama Kakaknya.” Lalu memeluk badan Aira. “Ghazi sayang nggak sih sama aku, bun. Kenapa dia nggak datang ke nikahan dia dan sekarang aku malah jadi istri kakaknya.” Lanjut Ginela dengan mata yang sudah memerah.

Hati perempuan itu masih saja memikirkan sang kekasih. Hubungan mereka tidak bisa dikatakan sebentar, lima tahun sangatlah cukup lama bagi hubungan percintaan antara perempuan pada umumnya.

Kemudian, dengan penuh kasih sayang Aira mengusap rambut anaknya perlahan. Ia mencoba menangkup wajah sang anak yang bersembunyi di balik bahu sang bunda.

“Anak ku dengar. Ibun sudah bilang sama kamu. Allah sudah menakdirkan jalan ini semua tanpa alasan. Ibun yakin jika suatu saat nanti kamu akan mengerti kenapa yang ada di pelaminan itu bukan Ghazi tapi Kakaknya, Arseno. Hmm? Ibun yakin kamu pasti paham,” Ginela tertegun masih menyimak Ibundanya.

“Kamu sudah dewasa sayang. Ibun yakin, pasti sudah tahu apakah ini jalan yang terbaik atau bukan. Karena Allah tidak akan memberikan jalan yang buruk.”

“Udah gua bilang tadi di imess. Lu pasti bisa jalanin ini.” Januar ikut menanggapi. Ginela menghembuskan nafasnya berat, “Aku percaya sama itu semua tapi kena—–,”

“Ginela ayo sayang kita pulang!”

Belum juga melanjutkan perkataannya. Yunita — Ibu mertua Ginela menghampiri anak menantunya yang tengah bersantai di taman. Matanya menyipit menatap ke arah Yunita yang terhalangi cahaya lampu yang menghalangi penglihatannya.

“Udah sana pulang, dek.” Usir Januar.

“Januar!”

“Maaf ya Mama Yunita, Januar dan Ginela memang selalu begini.” Aira meminta maaf pada Yunita yang tersenyum santai atas tingkah kakak beradik itu.

“Tidak apa-apa. Bertengkar itu tandanya mereka saling sayang.” Tanggapnya santai.

“Mulia sekali Mama Yunita.” Yunita hanya tersenyum ketika mendengar perkataan yang di lontarkan oleh Ibun Aira.

“Sepertinya kita juga harus pulang karena hari semakin malam. Kita harus segera istirahat.”

Ginela berdiri lalu melangkahkan kakinya mengikuti kedua orang tua dan Yunita berjalan menuju ruang depan untuk berpisah antara satu sama lainnya. Setelah sampai di tempat tujuan, Tiffany membalikkan badannya menghadap anaknya.

“Ya sudah kalau begitu, Ibun, ayah dan Kak Janu pulang duluan. Kamu sehat-sehat ya sayang.” Di rengkuhnya badan Ginela dengan penuh kasih sayang, lalu tak lupa juga mencium seluruh wajah sang anak. Setelah itu, dilepasnya rengkuhan pelukan dari badan sang anak berlanjut pada Januar yang berada di belakang Tiffany.

“Jaga diri baik-baik adik gua paling nyebelin,” Lanjut Januar sarkas mengacak rambut sang adik.

“Gua udah dewasa jadi bisa jaga diri. Dan gua titip ayah sama Ibun ya, Kak!”

“Hmm.. Pasti, ya udah kita pulang dulu, Nel.”

Ginela menyalami tangan kedua orang tuanya tak lupa juga kakaknya. Dan ternyata di sana terlihat Arseno yang juga berada di sana ikut menyalami mertuanya dengan begitu sopan. Entah sejak kapan lelaki itu ada di sana, membuat Ginela tidak peduli akan hal itu.

Senyuman Arseno tak pernah terlepas dari wajah tampannya, manik matanya terus menatap Ibu mertua, ayah mertua dan kakak iparnya secara bergantian.

“Tampan sekali nak Arseno,”

“Terima kasih, Tant—–.”

“Sekarang kamu sudah jadi anak Ibun. Jadi jangan sungkan untuk panggil Ibun,” pinta Aira haru.

“Baik Ibun.”

“Ibun nitip Ginela sama kamu. Anak itu diluarnya terlihat kuat. Tapi aslinya lemah.” pinta Aira menitipkan sang anak kepada suami pengganti bagi anaknya.

“Baik Ibun, saya pastikan akan baik-baik saja bersama saya.” Jawab Arseno sopan. Suasana di sana berubah menjadi haru ketika Ginela menangis merengkuh badan wanita paruh baya di depannya. Ia berharap semua ini tidak terjadi pada dirinya namun apalah daya, semuanya sudah terjadi. Perempuan itu harus menjalani semuanya. Berani mengambil resiko berarti berani juga bertanggung jawab.

“Sudah sayang, Ayo kita pulang!” David mengelus punggung anaknya berusaha untuk menenangkan anaknya yang masih terisak di dalam pelukan sang istri.

Ginela mulai melepaskan dirinya dari pelukan sang Ibunda, lalu menatap ke arah orang tua dan kakaknya yang segera memasuki mobil.

“Mari semuanya.”

“Hati-hati, Ibun.”

Ginela menatap ke arah mobil yang membawa kedua orang tua nya sudah tidak menampakkan dari pandangannya. Kini ia membalikkan dirinya berjalan mengikuti langkah Yunita, Harish dan Arseno yang berjalan menuju mobil jeep hitam milik keluarga Abiputra.

Perempuan itu mungkin sudah harus siap untuk memulai hari baru. Memulai untuk menerima semua masalah-masalah kedepannya. Memulai semuanya dari awal hidup bersama dengan seseorang yang bukan menjadi impiannya. Namun, tetap hidup harus dilalui bukan?

•••••

EPILOG

Di dalam sebuah ruangan yang tak terlalu besar dan juga tak terlalu kecil terlihat satu orang lelaki manis yang tengah hamil besar terbaring di atas krangket ranjang rumah sakit, mata nya terpejam namun tak menandakan ia tertidur.

Narendra — sang lelaki manis yang terbaring di sana. Dokter telah membiusnya secara total karena bayi yang terdapat di dalam kandungannya harus segera di keluarkan.

Di luar ruangan terdapat sanak keluarga Altaro dan juga keluarga Mahapraja dengan setia menunggu dokter selesai mengoperasi Narendra. Tak juga kita lupakan Jevano dengan tenang menunggu pintu operasi terbuka dengan lebar.

Jevano berdo'a semoga sang Suami — Narendra berserta anak yang berada di dalam kandungannya ini selamat. Hanya itu harapannya saat ini.

Setelah menunggu berjam-jam lamanya, pintu ruang operasi terbuka dengan lebar. Seorang pria dengan berpakaian biru khas operasi keluar dari sana dengan dibantu suster yang tengah mendorong trolly yang berisi dua bayi di sana.

“Pangeran Jevano!”

Mendengar namanya di sebut dengan segera Jevano berdiri dan menghampiri Dokter tersebut.

“Paman bagaimana keadaan Narendra?” Tanya Jevano penasaran.

“Selamat Pangeran, bayi kamu kembar lelaki. Untuk Narendra masih belum sadar karena terpengaruh obat bius. Kami akan memindahkan kedua nya ke ruang VVIP.” jelas Sang dokter yang tak lain adalah Paman Jevano sendiri.

Air mata nya tidak berhenti menetes. Entah kenapa ia sangat terharu melihatnya.

“Kalau begitu suaminya boleh ikut saya untuk mengurus data sang bayi.” perintah suster kepada semua orang yang ada di sana.

“Marcus kamu ikut dengan saya!”

Marcus yang selalu berada di samping Jevano menundukan kepalanya sebagai bentuk jawaban atas perintah sang Pangeran. Tanpa mau berlama lagi kedua orang lelaki itu mengikuti langkah kaki suster dan dokter yang kembali memasuki ruang operasi.

Setelah semuanya selesai, Jevano sudah beradi di dalam ruangan VVIP. Di samping kanannya dengan telaten dirinya membasuh kening sang istri yang matanya masih terpejam. Tangan itu tak pernah lepas dari genggamannya.

“Sayang, lihat anak kita kembar. Tampan menurun dari ku dan manis seperti dirimu,”

“No, sepertinya kami harus pulang. Nanti gantian berjaga di sini.”

Jevano menatap ke arah sumber suara yang tak lain adalah Matthew — papinya. Genggamannya mulai ia lepaskan dari sang empu dan menghadap ke arah kedua orang tuanya.

Di sisi lain ada sang mertua yang juga berada di sana sedari tadi, “Kita juga sepertinya ikut saja ke Altaro, sekalian bawa sedikit pakaian anakmu.”

“Silahkan Bunda. Hati-hati dijalan.” Jawab Jevano mempersilahkan kepada Naura.

Jevano mengikuti semua orang yang ada di sana untuk keluar dari ruang rawat inap. Ia menundukan kepalanya sedikit memberikan tanda hormat. Setelahnya lelaki gagah itu kembali memasuki ruang inap dengan keadaan yang masih sama, Narendra masih memejamkan matanya belum ada tanda-tanda akan bangun sama sekali.

Beberapa jam kemudian, kepala Jevano sedang terbaring tepat di sisi tempat tidur rumah sakit. Sehentai tangan bergerak dengan lemah mengusap surai pirang milik lelaki itu.

Di usapnya dengan penuh kasih sayang sambil matanya menatap ke arah lelaki itu. Ingin sekali dirinya memanggil nama sang suami akan tetapi tak bisa. Begitu lemah baginya untuk saat ini.

Akan tetapi ternyata tidur Jevano tidak begitu nyenyak sehingga masih bisa merasakan usapan telapak tangan milik Narendra.

Jevano mulai mengerjapkan matanya dan menatap ke arah tangan. Ia begitu terkejut ketika melihat istrinya, Narendra sudah bangun dari tidur panjangnya.

“No..no..” dengan Nada yang lemah karena tabung oksigen masih tepang di antara mulutnya, Narendra memanggil Jevano.

“Udah kamu jangan dulu banyak ngomong, biar saya panggilkan dokter dahulu.” Selang beberapa menit dokter dan suster yang berjaga malam datang memasuki ruang rawat inap VVIP sambil tak lupa untuk memeriksa kondisi Narendra saat ini.

“Semuanya cukup stabil, kamu sehat sekali sama seperti anak-anakmu.”

“Mereka di mana?” Tanya Narendra masih dengan nada yang lemah.

“Ada di ruang bayi sayang,”

“Nana mau lihat mereka No.” Dengan begitu antusias, Narendra meminta kepada sang suami. Ia sangat ingin menggendongnya saat ini juga karena semenjak ia di bius total baru sekarang dirinya sadar dan ingin sekali bertemu dengan anaknya.

“Kita bawa saja kesini kalau begitu biar tidur bersama ibunya.”

Hingga akhirnya dua orang suster mendorong dua box bayi sambil di taruhnya di samping kanan Narendra.

“No, mereka anak Nana?”

Jevano menganggukan kepalanya, “Ia sayang. Mereka kembar lelaki.”

“Anda boleh menggendongnya, Tuan Muda.”

Senyuman tak luput dari wajahnya. Dengan perlahan suster menyerahkan kedua bayi kembar di sisi kiri dan kanan. Di tatapnya terus menerus kedua bayi itu secara bergantian.

“Kalau begitu kami permisi dahulu.” ucap Dokter yang menangani Narendra melahirkan.

Setelah pintu kamar tertutup, pandangannya kembali menatap kedua anak kembarnya secara bergantian. Balutan kain berwarna biru muda dengan motif kepala beruang kecil melilit tubuh kedua bayi meninggalkan kesan yang begitu menggemaskan. Begitu juga dengan Jevano ikut menatap ke arah wajah anaknya yang masih tertidur. Sangatlah menenangkan baginya.

Ketika Jevano melihat sang Istri kesulitan untuk duduk, dengan sigap dirinya menaikan tempat tidur agar Narendra lebih nyaman lagi. Di rasa Narendra sudah nyaman dengan posisinya. Jevano kembali duduk di hadapan Narendra.

“Makasih sayang,”

“Sama-sama.”

“Oh iya, kamu udah kasih mereka nama sayang?” tanya Narendra.

“Sudah sayang. Tapi ingin meminta persetujuan dari kamu dahulu.” balas Jevano yang sudah berpindah di samping kiri Narendra.

“Siapa nama mereka?”

“Cale Altaro dan Gibran Altaro.”

“Nama yang bagus, No. Terima kasih sayang sudah hadir di hidup Dadda dan Daddy.”

Narendra mendekatkan kedua bayinya untuk ia kecup. Tak lupa juga dirinya menatap ke arah Jevano yang tersenyum ke arahnya. Kehadiran buah hati adalah sebuah anugrah yang selalu di idam-idamkan semua orang. Tak terkecuali juga Narendra dan Jevano yang sangat berbahagia karena kehadiran anak kembarnya. Mereka berdua berharap tidak akan ada lagi hal-hal yang menyiksa, tidak akan ada lagi orang-orang yang berniat jahat.

Jevano dan Narendra berharap kedua anaknya akan membawa berkah dan keberuntungan nantinya sampai mereka menua bersama dengan keluarga bahagianya.

Altaro, 27 May 2022 Tanggal kelahiran Cale Altaro & Gibran Altaro “Tunggu kita di au au selanjutnya ya aunty. Pay pay.”

END

Suasana di dalam ruangan yang tak begitu luas dan juga kecil. Terlihat dengan jelas di sana terdapat beberapa orang yang sedang duduk di kursi berwarna coklat.

Narendra bersama dengan Sang suami — Jevano ikut serta duduk di bangku paling depan. Selain Jevano, di belakang Narendra ada kedua orang tua Narendra dan juga adiknya ikut berada di sana. Mata sayu Narendra menatap ke arah pasangan yang berada di dalam kaca yang sering digunakan untuk para tahanan mendapatkan kunjungan. Entah kenala hati lelaki manis itu tak tega melihat Joki dan Jaenab berada di dalamnya.

Padahal sudah sangat jelas jika kedua orang tua nya itu sudah berbuat jahat kepadanya.

“Na tolong maafkan kami! Kami tahu kamu sayang sama Kamal bukan?” pinta Joki dengan wajah nya yang memelas.

“Tapi perbuatan kalian tidak dibenarkan.” Jevano yang menjawab pinta Joki. Narendra masih bungkam sambil badannya memeluk Jevano tanpa mau menatap ke arah Joki dan Jaenab. Setelah mendengar pinta Joki ingin di keluarkan dari dalam penjara, ia sungguh di dalam hati nya tidak akan ada lagi rasa iba. Jaenab menatap tak suka kepada Jevano, “Kamu tahu apa soal kami dan Narendra? Dia anak kami,”

“Saya Ayah kandungnya.”

“Sampai kapan pun jika ada yang menyakiti Narendra dan Kamal akan berurusan dengan kami!”

Manik mata Naura terlihat sangat murka kepada Joki dan Jaenab yang masih menatap ke arah Narendra. Tatapan meminta tolong untuk diselamatkan, akan tetapi sama sekali tidak ada rasa dari sang empu.

“Jika kalian orang tua kandung Narendra, kenapa kalian menelantarkannya?”

“Tidak perlu kalian tahu urusan kami.”

Mikaela menghela nafasnya menatap Jaenab dan Joki, “Ada orang tua tega memperkerjakan anak sendiri.” Tak lupa ia menggelengkan kepalanya sambil menatap kedua orang di depannya, “Orang tua yang aneh!” Lanjut nya sambil memeluk badan sang kakak.

“Jangan ikut campur anak kecil!!”

“Berani anda bentak anak saya!!”

Narendra masih menyaksikan perdebatan antara kedua orang tua angkatnya dan orang tua kandung nya yang tak terima jika anak perempuannya ada yang membentaknya.

“Paman dan Tante harus menanggung akibatnya. Kalian seperti ini tidak hanya satu kali akan tetapi berkali-kali. Apa salah Nana sama kalian?” Tanya Narendra haru.

“Sudah jelas karena uang. Kita semua bahkan Kamal mau makan apa jika kamu tidak mencari uang,” Jawab Joki dengan pembelanannya.

“Kami juga harus bayar listrik dan air.” Jaenab pun tak luput ikut menjawab.

“Lalu kenapa tidak kalian saja yang kerja?” Pertanyaan yang terucap daru mulut Jevano membuat Joki dan Jaenab terdiam sejenak.

“Kenapa tidak jawab? Jawab saya bilang!!” Jaeden sudah naik pitam, ia tidak kuasa lagi menahan amarahnya yang selama ini anak nya selalu di sakiti.

Jevano mendenguskan nafasnya, “Kami kesini atas permintaan Narendra. Dia masih memiliki hati nurani padahal sudah jelas sekali kalian menyakitinya bahkan membuat Narendra menderita. Apa kalian kurang puas?!”

Narendra mencoba menenangkan Jevano yang tengah mencondongkan badannya pada kedua pasangan didepannya. Namun tetap saja Jevano kekeh dengan pendiriannya, mata melotot dan mulut masih mengeluarkan kata-kata yang membuat seisi ruangan terkejut melihatnya.

“Sudah No. Nana mau pulang!” Ajak Narendra tenang.

“Tidak bisa Na. Saya tidak toleransi kepada mereka berdua.”

“Nono, Nana mau pulang!!!” Mendengar teriakan Narendra yang melengking di telinganya dan juga orang-orang yang berada di sana. Tidak hanya melengkingkan suaranya, tangan lelaki manis itu menarik paksa kemeja milik sang suami untuk duduk di samping dirinya.

“Sudah Jevano kalian keluar saja dan tenangkan Narendra.” titah Naura mencoba menangkan Jevano dan Narendra.

“Kak Nana sama Kak Jevano sana pulang duluan aja. Dari pada di sini mumet!” Jevano mengenggam tangan Narendra dengan begitu erat mengiyakan perintah Mikaela. Namun sebelum bergegas, ia menatap ke arah Joki dan Jaenab secara bergantian, “Saya harap kalian mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatan kalian.”

Setelah mengatakan perkataan yang membuat Joki dan Jaenab bergedig ngeri. Dengan sopan dirinya ia berjalan keluar dari ruangan yang membuatnya sesak diikuti dengan Narendra dibelakangnya.

Lelaki manis yang berada di belakangnya menatap haru kepada punggung suami nya. Tangannya melingkar pada pinggang Jevano membuat langkah mereka berdua terhenti. “Terima kasih sudah hadir di hidup saya, No.” Jevano yang merasakan lengan suami nya melingkar di perutnya dengan segera mengelusnya secara lembut, “Sudah seharusnya saya menjaga kamu.”

“Tapi kita jangan pulang dulu ya!”

“Kamu mau kemana? Bagaimana jika kita jalan-jalan dulu di sini.”

“Ok, let's gooo.”

Dengan begitu riang Narendra melepaskan pelukannya dan berakhir menarik tangan Jevano untuk segera pergi dari sana. Menuruti permintaan sang suami mereka berdua kembali melangkahkan kaki pergi untuk melepaskan penat dari semua gangguan di sekitar.

•••••

// tw // bloody //

Seunit mobil jeep berwarna putih dengan di tambah cat berwarna putih berhenti tepat di depan sekapling rumah yang di sekitarnya kosong tidak ada rumah lain menemani rumah tersebut. Narendra keluar dari pintu kemudi mobil menatap ke arah rumah yang terlihat sangat kosong. Ia menatap ke arah ponsel miliknya yang memperlihatkan aplikasi maps sedang diri nya buka “Alamatnya udah bener. Tapi kenapa sepi?” gumam Narendra heran.

Tak mau berlama lagi, lelaki manis itu melangkahkan kaki nya memasuki rumah yang gerbang berwarna hitam pekat. Setelah Narendra melewati gerbang, ia mulai mengintip dari celah jendela siapa tahu ada Kamal di dalam sana.

Dan benar saja, nampak dengan jelas Kamal tengah terduduk di atas lantai dengan tangan yang terikat. Adik kecilnya banyak di kelilingi oleh para pria berbadan tegap dan balutan pakaian serba hitam. Lebih mengejutkan lagi, kedua orang tua angkat Narendra ada di sana seperti sedang membicarakan sesuatu yang tidak terdengar jelas oleh telinga Narendra.

“Kamal, gimana caranya kakak selametin kamu?” batin Narendra.

Narendra terdiam sejenak memikirkan cara untuk menyelamatkan Kamal keluar dari sana. Akan tetapi entah kenapa otak nya kali ini hanya memikirkan satu-satu nya cara yaitu menghampiri mereka melewati pintu depan. Hanya itu cara yang ia pikirkan sekarang.

Setelah lama berdiskusi dengan dirinya sendiri, lelaki manis itu membulatkan tekadnya untuk memasuki rumah melewati pintu depan.

Ketika lelaki manis itu hendak membuka pintu. Narendra di kejutkan ada sebuah tangan menggenggam tangannya juga. Kepalanya ia tolehkan pada pemilik tangan itu yang tak lain adalah salah satu penjaga di sana yang sekarang ikut menyeret Narendra masuk ke dalam gedung tersebut.

“Boss saya menemukan lelaki yang seperti boss perintahkan.”

Pria tersebut mendorong Narendra masuk ke dalam bangunan tersebut dengan begitu kasar. Tangan lelaki manis itu terikat ke belakang oleh tambang yang entah dari mana adanya.

“Lepasin gua!!” erang Narendra meminta dilepaskan.

“Diem lu!!” Teriak pria tersebut mendorong badan Narendra ke samping Kamal.

“Boss, saya mendapati dia ada di depan.”

Orang yang Pria itu panggil boss menolehkan kepalanya pada sumber suara dan mulai menghampiri Narendra yang terkujur samping Kamal.

“Hai, Na kita ketemu lagi. Tidak sangka saya kamu sampai datang kemari demi anak bengis ini?” Ujar Joki mencengkram pipi Kamal dengan kasar.

“Om kenapa lakuin ini? Kamal itu anak om!” Narendra mencoba menyadarkan orang di depannya yang tak lain adalah Joki — Ayah kandung Kamal.

Joki tersenyum kecut sambil tangannya menarik leher Narendra dengan keras, “Karena dia membangkang sama gua, lu tahu selama ini dia hanya belajar dan belajar tanpa mau mencarikan uang untuk gua dan ibunya. Oh iya gua ingat imess yang di kirim adik lu itu gua yang kirim!!”

“Lalu, om mau apa dari Nana?” tanya Narendra tenang.

“Lu kayanya tahu banget gua mau apa,”

“Siapa juga yang tidak kenal Om!!” Joki tertawa dengan begitu lantang ketika mendengar jawaban dari anak angkatnya itu seperti sudah tahu apa yang Pria itu inginkan. Bahkan tidak perlu diberitahu pun, Narendra sudah tahu jika Joki memang tidak berniat menganggap lelaki manis itu sebagai anak.

“Gua mau lu kasih gua semua duit yang ada di kerajaan.”

“Nana nggak bisa,”

“Lu harus bisa. Karena lu, gua jadi buronan kaya gini. Lu harus tanggung jawab!! Atau gua minta sama dia aja?” tanya Jaenab yang sekarang sudah ada di sana sambil menunjukkan foto Jevano pada Narendra.

Di sisi lain, Jevano yang kini sudah berada di dalam mobil samping Marcus yang tengah menyetir dan juga di jok belakang ada Mikaela yang juga tengah melacak keberadaan mobil milik Narendra.

“Kak Jevano itu bukannya mobil Kak Nana.” tunjuk Mikaela pada mobil jeep yang terparkir di pinggir jalan.

“Alamatnya juga di sini,” Kata Marcus melihat pada maps yang ada di tangannya.

“Berhenti Marcus!”

Marcus menepikan mobil yang ia kendarai. Sebelum membuka pintu Jevano menolehkan kepalanya ke arah belakang tempat adik dari suami nya itu berada di sana. “Mika kamu tunggu di sini dan jika bisa hubungi polisi.”

Mikaela yang mendapat perintah tersebut langsung menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Diri nya langsung mengambil ponsel miliknya dan menghubungi polisi dengan segera.

Jevano yang sudah merasa tenang meninggalkan Mikaela sendirian. Ia mulai keluar dari mobil serta diikuti Marcus yang berjalan di belakang sang Pangeran berjalan.

“Marcus, kamu cek pagarnya ada yang mencurigakan atau tidak?!” Jevano menatap ke arah Marcus yang berada di belakangnya.

Tanpa berfikir panjang lagi, Marcus berjalan mendahului Jevano dan memeriksa satu per satu apakah ada alat yang membahayakan di sana atau tidak.

“AAAAAA...” suara teriakan dari dalam rumah itu membuat Jevano dan Marcus terkejut bukan main.

Dengan cepat dua orang laki-laki tersebut langsung berlari dan mendobrak pintu depan yang langsung terbuka tanpa ada nya hambatan sedikit pun.

Dari arah dalam semua orang terkejut atas kehadiran lelaki asing yang tiba-tiba sudah berada di depan mata mereka. Entah siapa yang mulai terlebih dahulu, satu persatu langsung mengerubuni Jevano dan Marcus melayangkan perkelahian dengan tangan kosong.

Narendra yang melihat Jevano dan Marcus yang tengah melawan lima belas orang berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan. Ia sungguh ingin membantu suami nya itu. Dirinya tahu jika itu tidak mungkin dilakukan, tapi setidaknya ia tidak mau melihat Jevano terluka sedikit pun.

Satu persatu pria yang ada di sana membawa senjata mereka masing-masing. Ada yang membawa celurit, pisau, kayu balok bahkan ada juga yang membawa alat rantai berbahaya.

Darah semakin bercucuran, semua orang di sana tumbang tidak ada yang bisa berkutik sama sekali. Joki dan Jaenab yang sekarang hanya tinggal berdua saja mulai mengambil alih untuk membekap Narendra dan juga Kamal secara bersamaan.

“Jangan coba deket-deket kalau nggak mau Narendra bahkan Kamal mati di tangan kami!!” Perintah Joki membuat Jevano menghentikan langkah kaki nya.

“Bagaimana jika kita buat kesepakatan?” ucap Jevano sambil mendudukan bokongnya di atas lantai yang kotor.

“Kesepakatan?”

“Saya akan transfer sejumlah uang ke rekening kamu, asal kamu lepaskan Narendra dan Kamal.”

Jevano mulai mengeluarkan ponsel miliknya dan membuka sebuah aplikasi agar dirinya dapat mentransfer sejumlah uang pada Joki dan Jaenab.

“Awas jika kamu berbohong!”

“Ada tampang saya seperti berbohong?”

Jevano menelisik ke arah sekitar ruangan yang bisa digunakan untuk mengelabui Joki dan Jaenab yang masih menyekap Narendra dan Kamal di tangan mereka masing-masing.

“Kemarikan ponselnya?” Pinta Joki ketus.

Jevano yang menurut langsung berdiri dari sana dan menghampiri Joki. Sebelumnya ia memberikan kode kepada Marcus untuk berdiam di belakang Joki berada.

Joki dan Jaenab lenggah Marcus mulai melancarkan aksinya menutupi kepala kedua pasangan itu dengan karung yang ada di tangannya. Jevano tidak diam saja ia melepaskan Narendra dan Kamal dari tangan orang tuanya itu.

Cengkraman terlepas tapi lelaki itu terlebih dahulu melepaskan tangan Narendra sebelum ikut memegang kedua tangan Jaenab yang terus meminta untuk dilepaskan.

Setelah berhasil mengikat tangan keduanya. Marcus langsung membawa Joki dan Jaenab keluar ruangan yang sudah ada polisi berjaga diluar sana.

Mikaela yang melihat Marcus keluar dari dalam rumah, dengan tergesa-gesa ia turun dari mobil dan berlari menghampiri Narendra yang tengah bersama Jevano.

“Kakak nggak apa-apakan?” dengan wajah khawatirnya Mikaela menghampiri Narendra. Matanya tidak ada henti-henti nya mengeluarkan cairan bening. Pelupuk mata nya kini memerah khawatir akan keadaan sang Kakak.

“Harusnya aku larang kakak untuk pergi,” lanjut Mikaela menyalahi dirinya sendiri.

“Sudah sayang, kakak nggak apa-apa. Ayo kita pulang. Bunda sama Ayah pasti nyariin kita di rumah.”

Dengan senyuman khasnya begitu mudah bagi Narendra untuk menyembunyikan perasaan semua. Dirinya ingin jika orang-orang terdekatnya agar tidak khawatir padanya. Karena semua masalah telah usai ia hadapi, kini lelaki manis itu berharap tidak akan ada lagi masalah-masalah baru menghampiri hidupnya.

•••••